Asas Praduga Tak Bersalah dan Sila Kemanusiaan Pancasila
loading...
A
A
A
Di sinilah letak sila kemanusiaan yang adil dan beradab dihadapkan kepada kenyataan praktik hukum yang bertentangan. Bahkan melanggar APTB dan digantikan dengan asas praduga bersalah (presumption of guilt/APB).
Tiga pilar penyangga nilai kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam sistem peradilan pidana, penyidik, penuntut dan hakim sangat menentukan ada tidaknya kemuliaan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di dalam sistem peradilan Indonesia sebagai negara hukum Pancasila.
Namun ketiga pilar sistem peradilan pidana tersebut bukan satu jaminan tunggal keberadaan nilai kemanusiaan tersebut. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya.
Faktor yang dimaksud dan terpenting adalah sistem birokrasi di dalam proses bekerjanya sistem peradilan pidana sehingga secara individual dan secara organisatoris, lembaga penyidikan, penuntutan dan bahkan lembaga peradilan menjadi tidak lagi independen bebas dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Salah satu upaya pemerintah di Era Reformasi berkaitan dengan hal tersebut adalah dilepaskannya direktorat jenderal badan peradilan dari struktur organisasi Kementerian Kehakiman (Hukum dan HAM) yang kemudian ditempatkan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Upaya pemerintah tersebut terbukti tidak mampu mengatasi bahkan mencegah timbulnya intervensi kekuasaan, kolusi, dan nepotisme ke dalam sistem kekuasaan yudikatif.
Pemberlakuan UU No 28/1999 mengenai Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas KKN dilengkapi perubahan UU No 3/1971 dengan UU No 31/1999 yang telah diubah UU No 20/2001 terbukti tidak mengurangi atau menghentikan perbuatan koruptif, bahkan sebaliknya. Korupsi sejak 50 tahun lebih telah menjadi monster yang mencederai ketertiban, keamanan, kesejahteraan rakyat 260 juta penduduk Indonesia.
Contoh kasus Sengkon dan Karta, Misnah, dan masih banyak kasus lainnya mencerminkan bahwa hukum tidak berpihak kepada mereka yang miskin secara sosial ekonomi. Hukum tumpul kepada mereka yang berpunya.
Suatu fakta tentang kehidupan hukum yang telah diakui secara universal tetapi tidak ada resep khusus untuk mengatasinya sampai saat ini. Masyarakat Indonesia adalah umat beragama sehingga setidak-tidaknya nilai kemanusiaan yang adil dan beradab seharusnya dilengkapi dan diperkuat akan keyakinan manusia Indonesia kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab terbukti tidak lahir dari produk hukum/undang-undang dari pemegang kekuasaan dalam alam demokrasi modern sekalipun. Dia justru lahir dari lubuk hati terdalam setiap manusia akan kewajiban luhur sesama umat manusia sekalipun dalam dan terhadap status tersangka, terdakwa, atau terpidana.
Tiga pilar penyangga nilai kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam sistem peradilan pidana, penyidik, penuntut dan hakim sangat menentukan ada tidaknya kemuliaan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di dalam sistem peradilan Indonesia sebagai negara hukum Pancasila.
Namun ketiga pilar sistem peradilan pidana tersebut bukan satu jaminan tunggal keberadaan nilai kemanusiaan tersebut. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya.
Faktor yang dimaksud dan terpenting adalah sistem birokrasi di dalam proses bekerjanya sistem peradilan pidana sehingga secara individual dan secara organisatoris, lembaga penyidikan, penuntutan dan bahkan lembaga peradilan menjadi tidak lagi independen bebas dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Salah satu upaya pemerintah di Era Reformasi berkaitan dengan hal tersebut adalah dilepaskannya direktorat jenderal badan peradilan dari struktur organisasi Kementerian Kehakiman (Hukum dan HAM) yang kemudian ditempatkan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Upaya pemerintah tersebut terbukti tidak mampu mengatasi bahkan mencegah timbulnya intervensi kekuasaan, kolusi, dan nepotisme ke dalam sistem kekuasaan yudikatif.
Pemberlakuan UU No 28/1999 mengenai Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas KKN dilengkapi perubahan UU No 3/1971 dengan UU No 31/1999 yang telah diubah UU No 20/2001 terbukti tidak mengurangi atau menghentikan perbuatan koruptif, bahkan sebaliknya. Korupsi sejak 50 tahun lebih telah menjadi monster yang mencederai ketertiban, keamanan, kesejahteraan rakyat 260 juta penduduk Indonesia.
Contoh kasus Sengkon dan Karta, Misnah, dan masih banyak kasus lainnya mencerminkan bahwa hukum tidak berpihak kepada mereka yang miskin secara sosial ekonomi. Hukum tumpul kepada mereka yang berpunya.
Suatu fakta tentang kehidupan hukum yang telah diakui secara universal tetapi tidak ada resep khusus untuk mengatasinya sampai saat ini. Masyarakat Indonesia adalah umat beragama sehingga setidak-tidaknya nilai kemanusiaan yang adil dan beradab seharusnya dilengkapi dan diperkuat akan keyakinan manusia Indonesia kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab terbukti tidak lahir dari produk hukum/undang-undang dari pemegang kekuasaan dalam alam demokrasi modern sekalipun. Dia justru lahir dari lubuk hati terdalam setiap manusia akan kewajiban luhur sesama umat manusia sekalipun dalam dan terhadap status tersangka, terdakwa, atau terpidana.
(poe)