Jenderal Polisi Pembantu Kaburnya Djoko Tjandra Berujung Pidana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah itu tepat dialamatkan kepada Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Setelah dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri , jenderal bintang satu itu kini dijerat pidana setelah terbukti mengeluarkan surat jalan Djoko Tjandra pada Juni 2020.
Prasetijo memang harus menanggung risiko atas perbuatannya. Yang sangat menyedihkan, ancaman status tersangka itu dikeluarkan saat yang bersangkutan sedang terbaring lemas di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Saat itu, Prasetijo baru dua hari menjalani pemeriksaan internal Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Namun, dia mendadak mengalami darah tinggi sehingga harus menjalani perawatan. (Baca juga: Mahfud Tak Perlu Repot Hidupkan TPK, Cukup Agresif Desak Aparat Tangkap Djoko Tjandra)
Ancaman status tersangka ini diketahui setelah Bareskrim Polri menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat yang diterbitkan untuk membantu Djoko.
Dalam SPDP itu terungkap bahwa Prasetijo membantu buronan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali itu sejak 1 hingga 19 Juli di Jakarta dan Pontianak.
SPDP bernomor B/106.4a/VII/2020/Ditipidum itu ditujukan kepada Jaksa Agung dan ditandatangani oleh Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Ferdy Sambo pada 20 Juli 2020.
Pada surat itu, Dirtipidum Bareskrim Polri menyebutkan sejumlah bantuan Prasetijo kepada Djoko. Pertama, diduga menerbitkan surat palsu. Kedua, sengaja membiarkan orang yang dirampas kemerdekaannya melarikan diri atau melepaskannya, atau memberi pertolongan pada waktu melarikan diri.
Ketiga, sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, dan/atau memberikan pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan. (Baca juga: Copot Tiga Jenderal, Langkah Kapolri Jaga Kepercayaan Mayarakat)
"Sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 KUHP, 421 KUHP dan atau 221 KUHP, yang diduga dilakukan oleh terlapor Brigjen Pol Prasetijo Utomo, dkk yang terjadi pada 1 Juni hingga 19 Juni 2020 di Jakarta dan Pontianak," tertulis dalam SPDP tersebut.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan menjelaskan, SPDP ini merujuk dari Laporan Polisi (LP) bernomor LP/A/397/VII/2020/Bareskrim tertanggal 20 Juli 2020 dengan pelapor Iwan Purwanto.
Kemudian juga setelah terbitnya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) bernomor Sp.Sidik/854.2a/VII/Ditipidum tertanggal 20 Juli 2020.
Kaburnya Djoko Tjandra menyasar tiga jenderal Polri. Mereka harus rela melepas jabatan karena diduga ikut andil dalam melancarkan aksi kaburnya buronan yang sudah divonis 11 tahun penjara tersebut.
Tiga jenderal itu adalah Brigjen Pol Prasetijo Utomo, Irjen Pol Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Pol Nugroho Slamet Widodo. Ketiganya diduga memiliki peran masing-masing dalam mengurus kaburnya Djoko Tjandra.
Brigjen Prasetijo diduga ikut melancarkan kaburnya Djoko Tjandra dengan menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra bernomor SJ/82/VI/2020/Rokowas pada 18 Juni 2020. Dalam surat itu menyebutkan, Djoko Tjandra bakal melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Pontianak pada 19 Juni dan kembali 22 Juni 2020. Surat sakti itu juga menuliskan pekerjaan Djoko Tjandra sebagai konsultan Bareskrim.
Tak cukup itu, Prasetijo juga terlibat mengawal Djoko Tjandra menggunakan jet pribadi dari Jakarta menuju Pontianak. Pengawalan ini dilakukan untuk memperlancar perjalanan buronan tersebut.
Prasetijo harus merelakan jabatannya sebagai Kepala Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri. Dia dimutasi sebagai Pati Yanma Polri.
Nasib serupa juga dialami dua jenderal lainnya, yakni Nugroho Slamet Widodo dan Napoleon Bonaparte. Keduanya diduga berperan dalam kaburnya Djoko Tjandra dengan menghapus status red notice Djoko Tjandra oleh Interpol.
Surat penghapusan red notice dengan nomor B/186/V/2020/NCB.Div.HI diteken Nugroho dan dikirimkannya kepada pihak Imigrasi pada 5 Mei 2020. Surat itu berisi pemberitahuan status red notice atas nama Djoko Tjandra telah dihapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 karena tidak ada permohonan perpanjangan red notice dari Kejagung.
Dengan dasar surat itu, pihak Imigrasi lantas menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Akibat status red notice dihapus, Djoko Tjandra bebas mondar mandir masuk Tanah Air.
Nugroho dicopot dari jabatan sebagai Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divisi Hubungan Internasional Polri dan dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama bidang Jianbang Lemdiklat Polri.
Di waktu yang bersamaan, Polri mencopot Napoleon Bonaparte dari jabatan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Dia dimutasi sebagai Analisis Kebijakan Utama Itwasum Polri. Napoleon dianggap lalai mengawasi bawahan sehingga muncul surat penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, pihaknya akan terus mengusut dan menindaklanjuti kasus kaburnya Djoko Tjandra yang melibatnya sejumlah petinggi polri.
"Sekarang kita masih terhadap saksi-saksi dulu. Kita akan melihat kondisi kesehatan Prasetijo. Tentunya tidak mungkin tidak dilakukan pemeriksaan," ujarnya.
Menurut dia, sejumlah saksi yang diperiksa tersebut, di antaranya dokter di Pusdokkes, staf di Bareskrim internalnya. Eksternalnya pengacara Anita Kolopaking selaku kuasa hukum buronan Djoko Tjandra. Ini dilakukan untuk menentukan sejauh mana penyidikan ini dilangsungkan. “Apakah yang bersangkutan bisa ditetapkan sebagai tersangka atau tidak," ujarnya.
Ramadhan menyatakan, penetapan tersangka mengacu pada peraturan Kapolri 12 tahun 2009. "Status tersangka ditetapkan penyidik setelah hasil penyidikan memperoleh 2 alat bukti yang cukup. Untuk memperoleh dua alat bukti tersebut dilakukan melalui tahapan gelar perkara. Tahapan sedang berlangung," ujarnya.
Janji tegas usut tuntas kasus ini juga disampaikan Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo. Dia memastikan pihaknya akan tidak akan pandang bulu mengejar pihak-pihak yang terlibat dalam pelarian buronan Djoko Tjandra. Meskipun itu merupakan teman satu angkatan di institusi Polri.
"Biar pun teman satu angkatan, kami tidak pernah ragu untuk menindak tegas tanpa pandang bulu," tandas Listyo.
Menurut dia, menjaga kepercayaan, marwah, dan institusi Polri jauh lebih penting dari apa pun. Salah satunya dengan mengejar pihak di luar instansi kepolisian yang diduga turut andil membantu Djoko Tjandra. "Siapa pun yang terlibat akan kita proses, itu juga merupakan komitmen kami untuk menindak dan usut tuntas masalah ini," ujarnya.
Listyo pun berjanji akan melakukan pengusutan secara transparan dan terbuka agar masyarakat mengetahui sepenuhnya dengan sebenar-benarnya. Dia pun mengimbau kepada pihak mana pun untuk tidak memperkeruh suasana dan situasi.
"Kami pastikan akan transparan dalam melakukan pengusutan perkara ini. Kami meminta agar masyarakat percaya dan ikut membantu mengawasi hal ini," tegas mantan Kapolda Banten ini.
Selain tindakan tegas terhadap jajaran internal yang terlibat, upaya penangkapan kembali Djoko Tjandra juga terus dilakukan. Komunikasi dan koordinasi dengan Kepolisian Diraja Malaysia juga telah dilakukan. Berdasarkan surat dalam sidang yang dibacakan pengacaranya, Djoko Tjandra tengah berada di Kuala Lumpur, Malaysia. "Kita sudah berupaya melakukan penangkapan kembali, memulangkan yang bersangkutan," ungkap Kadiv Humas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono.
Argo menegaskan bahwa Polri tidak memiliki kewenangan menghapus status red notice, termasuk yang telah disematkan ke buronan Djoko Tjandra. "Jangan salah. Yang ngapus interpol di Lyon, Prancis sana," tutur Argo.
Menurutnya, pihak kepolisian bertugas hanya menyampaikan surat pemberitahuan hilangnya status red notice Djoko Tjandra ke imigrasi. "Yang kemarin itu surat kan Ses NCB menyampaikan ke imigrasi, ini loh red notice sudah terhapus. Jadi polisi bukan ngapus, nggak bisa. Yang ngapus wilayah sana, interpol sana, kita hanya menyampaikan pemberitahuan itu," jelasnya.
Prasetijo memang harus menanggung risiko atas perbuatannya. Yang sangat menyedihkan, ancaman status tersangka itu dikeluarkan saat yang bersangkutan sedang terbaring lemas di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Saat itu, Prasetijo baru dua hari menjalani pemeriksaan internal Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Namun, dia mendadak mengalami darah tinggi sehingga harus menjalani perawatan. (Baca juga: Mahfud Tak Perlu Repot Hidupkan TPK, Cukup Agresif Desak Aparat Tangkap Djoko Tjandra)
Ancaman status tersangka ini diketahui setelah Bareskrim Polri menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat yang diterbitkan untuk membantu Djoko.
Dalam SPDP itu terungkap bahwa Prasetijo membantu buronan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali itu sejak 1 hingga 19 Juli di Jakarta dan Pontianak.
SPDP bernomor B/106.4a/VII/2020/Ditipidum itu ditujukan kepada Jaksa Agung dan ditandatangani oleh Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Ferdy Sambo pada 20 Juli 2020.
Pada surat itu, Dirtipidum Bareskrim Polri menyebutkan sejumlah bantuan Prasetijo kepada Djoko. Pertama, diduga menerbitkan surat palsu. Kedua, sengaja membiarkan orang yang dirampas kemerdekaannya melarikan diri atau melepaskannya, atau memberi pertolongan pada waktu melarikan diri.
Ketiga, sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, dan/atau memberikan pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan. (Baca juga: Copot Tiga Jenderal, Langkah Kapolri Jaga Kepercayaan Mayarakat)
"Sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 KUHP, 421 KUHP dan atau 221 KUHP, yang diduga dilakukan oleh terlapor Brigjen Pol Prasetijo Utomo, dkk yang terjadi pada 1 Juni hingga 19 Juni 2020 di Jakarta dan Pontianak," tertulis dalam SPDP tersebut.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan menjelaskan, SPDP ini merujuk dari Laporan Polisi (LP) bernomor LP/A/397/VII/2020/Bareskrim tertanggal 20 Juli 2020 dengan pelapor Iwan Purwanto.
Kemudian juga setelah terbitnya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) bernomor Sp.Sidik/854.2a/VII/Ditipidum tertanggal 20 Juli 2020.
Kaburnya Djoko Tjandra menyasar tiga jenderal Polri. Mereka harus rela melepas jabatan karena diduga ikut andil dalam melancarkan aksi kaburnya buronan yang sudah divonis 11 tahun penjara tersebut.
Tiga jenderal itu adalah Brigjen Pol Prasetijo Utomo, Irjen Pol Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Pol Nugroho Slamet Widodo. Ketiganya diduga memiliki peran masing-masing dalam mengurus kaburnya Djoko Tjandra.
Brigjen Prasetijo diduga ikut melancarkan kaburnya Djoko Tjandra dengan menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra bernomor SJ/82/VI/2020/Rokowas pada 18 Juni 2020. Dalam surat itu menyebutkan, Djoko Tjandra bakal melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Pontianak pada 19 Juni dan kembali 22 Juni 2020. Surat sakti itu juga menuliskan pekerjaan Djoko Tjandra sebagai konsultan Bareskrim.
Tak cukup itu, Prasetijo juga terlibat mengawal Djoko Tjandra menggunakan jet pribadi dari Jakarta menuju Pontianak. Pengawalan ini dilakukan untuk memperlancar perjalanan buronan tersebut.
Prasetijo harus merelakan jabatannya sebagai Kepala Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri. Dia dimutasi sebagai Pati Yanma Polri.
Nasib serupa juga dialami dua jenderal lainnya, yakni Nugroho Slamet Widodo dan Napoleon Bonaparte. Keduanya diduga berperan dalam kaburnya Djoko Tjandra dengan menghapus status red notice Djoko Tjandra oleh Interpol.
Surat penghapusan red notice dengan nomor B/186/V/2020/NCB.Div.HI diteken Nugroho dan dikirimkannya kepada pihak Imigrasi pada 5 Mei 2020. Surat itu berisi pemberitahuan status red notice atas nama Djoko Tjandra telah dihapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 karena tidak ada permohonan perpanjangan red notice dari Kejagung.
Dengan dasar surat itu, pihak Imigrasi lantas menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Akibat status red notice dihapus, Djoko Tjandra bebas mondar mandir masuk Tanah Air.
Nugroho dicopot dari jabatan sebagai Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divisi Hubungan Internasional Polri dan dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama bidang Jianbang Lemdiklat Polri.
Di waktu yang bersamaan, Polri mencopot Napoleon Bonaparte dari jabatan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Dia dimutasi sebagai Analisis Kebijakan Utama Itwasum Polri. Napoleon dianggap lalai mengawasi bawahan sehingga muncul surat penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, pihaknya akan terus mengusut dan menindaklanjuti kasus kaburnya Djoko Tjandra yang melibatnya sejumlah petinggi polri.
"Sekarang kita masih terhadap saksi-saksi dulu. Kita akan melihat kondisi kesehatan Prasetijo. Tentunya tidak mungkin tidak dilakukan pemeriksaan," ujarnya.
Menurut dia, sejumlah saksi yang diperiksa tersebut, di antaranya dokter di Pusdokkes, staf di Bareskrim internalnya. Eksternalnya pengacara Anita Kolopaking selaku kuasa hukum buronan Djoko Tjandra. Ini dilakukan untuk menentukan sejauh mana penyidikan ini dilangsungkan. “Apakah yang bersangkutan bisa ditetapkan sebagai tersangka atau tidak," ujarnya.
Ramadhan menyatakan, penetapan tersangka mengacu pada peraturan Kapolri 12 tahun 2009. "Status tersangka ditetapkan penyidik setelah hasil penyidikan memperoleh 2 alat bukti yang cukup. Untuk memperoleh dua alat bukti tersebut dilakukan melalui tahapan gelar perkara. Tahapan sedang berlangung," ujarnya.
Janji tegas usut tuntas kasus ini juga disampaikan Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo. Dia memastikan pihaknya akan tidak akan pandang bulu mengejar pihak-pihak yang terlibat dalam pelarian buronan Djoko Tjandra. Meskipun itu merupakan teman satu angkatan di institusi Polri.
"Biar pun teman satu angkatan, kami tidak pernah ragu untuk menindak tegas tanpa pandang bulu," tandas Listyo.
Menurut dia, menjaga kepercayaan, marwah, dan institusi Polri jauh lebih penting dari apa pun. Salah satunya dengan mengejar pihak di luar instansi kepolisian yang diduga turut andil membantu Djoko Tjandra. "Siapa pun yang terlibat akan kita proses, itu juga merupakan komitmen kami untuk menindak dan usut tuntas masalah ini," ujarnya.
Listyo pun berjanji akan melakukan pengusutan secara transparan dan terbuka agar masyarakat mengetahui sepenuhnya dengan sebenar-benarnya. Dia pun mengimbau kepada pihak mana pun untuk tidak memperkeruh suasana dan situasi.
"Kami pastikan akan transparan dalam melakukan pengusutan perkara ini. Kami meminta agar masyarakat percaya dan ikut membantu mengawasi hal ini," tegas mantan Kapolda Banten ini.
Selain tindakan tegas terhadap jajaran internal yang terlibat, upaya penangkapan kembali Djoko Tjandra juga terus dilakukan. Komunikasi dan koordinasi dengan Kepolisian Diraja Malaysia juga telah dilakukan. Berdasarkan surat dalam sidang yang dibacakan pengacaranya, Djoko Tjandra tengah berada di Kuala Lumpur, Malaysia. "Kita sudah berupaya melakukan penangkapan kembali, memulangkan yang bersangkutan," ungkap Kadiv Humas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono.
Argo menegaskan bahwa Polri tidak memiliki kewenangan menghapus status red notice, termasuk yang telah disematkan ke buronan Djoko Tjandra. "Jangan salah. Yang ngapus interpol di Lyon, Prancis sana," tutur Argo.
Menurutnya, pihak kepolisian bertugas hanya menyampaikan surat pemberitahuan hilangnya status red notice Djoko Tjandra ke imigrasi. "Yang kemarin itu surat kan Ses NCB menyampaikan ke imigrasi, ini loh red notice sudah terhapus. Jadi polisi bukan ngapus, nggak bisa. Yang ngapus wilayah sana, interpol sana, kita hanya menyampaikan pemberitahuan itu," jelasnya.
(nbs)