Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Sabtu, 27 Mei 2023 - 11:20 WIB
loading...
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita. Foto/SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

MASYARAKAT termasuk para ahli hukum pidana juga praktisi penegak hukum telah mengabaikan dua jenis perbuatan, Kolusi dan Nepotisme dalam penanganan perkara Korupsi. Sedangkan Kolusi dan Nepotisme telah ditetapkan sebagai tindak pidana di dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Bahkan sejatinya di dalam Desain Besar (grand design) pencegahan dan pemberantasan Korupsi memasuki era Reformasi hukum tahun 1998, UU KKN adalah merupakan “Umbrella-Act” dari seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara termasuk peraturan kode etik dan disiplin aparatur penyelenggaraan negara khususnya di kepolisian, kejaksaan, dan di jajaran Mahkamah Agung.

Dua dari ketiga jenis tindak pidana tersebut, Kolusi dan Nepotisme tidak pernah diimplementasikan terhadap perkara korupsi terutama di kalangan penyelenggara negara seperti perbuatan secara melawan hukum dalam proses lelang/tender barang dan jasa pemerintah (Kementerian/Lembaga). Sedangkan diketahui bukan rahasia umum bahwa dalam proses tender selalu terkait hubungan anak, saudara, atau kawan pejabat Kementerian/Lembaga sebagai “perantara” yang berhubungan dengan kontraktor dan kontraktor dan pejabat tersebut.

Hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap penyelenggaraan lelang barang dan atau jasa tidak ada keterlibatan sanak saudara pejabat pengguna anggaran (PA) atau kawan-kawannya misalnya kasus korupsi pengadaan proyek BTS Kemenkominfo dimana keluarga Menkominfo terlibat; kasus suap di MA; kasus korupsi eks Gubernur Papua Lukas Enembe, dan masih banyak lagi.

Tindak pidana kolusi dan nepotisme ancaman pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar tidak berbeda jauh dengan ancaman tindak pidana tipikor. Kewajiban melaporkan harta kekayaan setiap penyelenggaa negara sebelum, selama, dan setelah diangkat sebagai PNS/ASN atau pejabat struktural memudahkan aparatur penegak hukum untuk mengetahui secara pasti ada tidaknya penyimpangan harta kekayaan penyelenggara negara dan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengusut dan menelusri, jika ada kelebihan harta kekayaan yang dimiliki penyelenggara negara tersebut.

Yang penting dalam mencegah KKN di kalangan penyelenggara negara adalah bahwa setiap penyelenggara negara tidak berhak memiliki harta kekayaan yang ia peroleh di luar penghasilanya yang sah atau diperoleh secara melanggar hukum. Di dalam penelusuran harta kekayaan yang diduga berasal dari kejahatan, aparatur penegak hukum wajib meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010.

Jika terbukti ditemukan aliran dana yang berasal dari tindak pidana maka penyidikan masuk ke ranah UU Anti TPPU di mana peranan sentral berada pada PPATK di bawah koordinasi penyidik. Dalam konteks penelusuran dan pembuktian tindak pencucian uang dapat dilakukan dua cara yaitu melalui prosedur penuntutan pidana dengan metoda pembalikan beban pembuktian (reversal of burden of proof) yang akan diakhiri dengan perampasan aset (criminal based forfeiture).

Cara kedua melalui perampasan aset asal kejahatan dengan perampasan melalui gugatan keperdataan (civil based forfeiture). Kejaksaan mengajukan tuntutan perdata ke pengadilan negeri dan majelis hakim meminta terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya adalah berasal dari penghasilan yang sah. Jika terdakwa tidak dapat membuktikan maka majelis hakim memerintahkan jaksa untuk merampas harta kekayaannya.

Prosedur perampasan aset dengan kedua cara tersebut telah diatur lebih rinci dan spesifik di dalam UU Perampasan Aset Tindak Pidana (UU PA) yang telah diajukan pemerintah kepada DPR RI. Pencegahan dan pemberantasan KKN dengan UU PA akan lebih efisien dan efektif karena perampasan aset tindak pidana berada atau terletak di hilir pemberantasan korupsi yaitu yang dijadikan target hanya aliran dana yang berasal dari KKN apa pun bentuknya termasuk suap, gratifikasi, dan kerugian negara yang timbul dari KKN.

Satu-satunya objek KKN yang sering terjadi adalah proses pengadaan barang/jasa pemerintah, sekalipun telah dilandaskan pada e-katalog tetap saja bisa ditembus oleh perilaku KKN. Seluruh dana APBN dalam pengadaan barang/jasa pemerintah mencapai kurang lebih 75% dana APBN/APBD sehingga dapat diperkirakan nilai dan kuantitas KKN dan efek negatif yang ditimbulkannya secara diametral memiskinkan kehidupan 268 juta penduduk Indonesia.

KKN pasca era Reformasi dan setelahnya sampai saat ini bukanya menurun tetapi bertambah meningkat sehingga sepatutnya ancaman pidana UU Tipikor dan UU TPPU perlu ditingkatkan secara maksimal diperkuat UU PA sehingga mencapai zero tolerance against KKN dan pidana mati sebagai efek jera dan menyurutkan langkah bagi siapa pun lain yang berkehendak melakukan KKN.

Gagasan menetapkan Pulau Nusakambangan dan pulau-pulau terluar lain dijadikan tempat narapidana KKN menjalani hukumannya merupakan gagasan yang cocok dengan karakteristik dan kualitas serta budaya KKN di kalangan besar masyarakat kita. Namun harus dipertimbangkan efek samping dari penempatan di pulau-pulau karena memerlukan biaya tinggi baik dari transportasi dan keamanan sekitarnya.

Keterasingan narapidana dari masyarakat luar antitesa terhadap gagasan memasyarakatkan narapidana dengan lingkungan masyarakat agar sudah beradaptasi dengan pedoman perilaku bermasyarakat. Sampai saat ini belum ada sejarah sukses Pemasyarakatan mencapai tujuannya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0907 seconds (0.1#10.140)