DPR: Penerapan Masa Percobaan terhadap Terpidana Mati KUHP Baru Bersifat Otomatis
loading...
A
A
A
Menurut Todung, mestinya ketentuan tersebut dapat diterapkan dari dulu sehingga ada kesempatan kedua bagi terpidana mati. “Seandainya ketentuan masa percobaan ini sudah ada dari dulu, saya cukup yakin akan ada kesempatan kedua bagi terpidana mati," tutur Todung.
Dia menilai harus diakui sampai saat ini belum ada satu suara mengenai bagaimana “masa percobaan” ini akan diterapkan dan apakah sifatnya wajib.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Prof. Marcus Priyo Gunarto menyampaikan, rumusan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023 tidak mewajibkan hakim untuk memberikan masa percobaan jika menjatuhkan pidana mati.
“Pasal 100 ayat (1) menekankan kondisi yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan masa percobaan, yaitu ada tidaknya penyesalan atau signifikan tidaknya peran dari terdakwa. Selain itu, masa percobaan ini harus dicantumkan dalam putusan pengadilan,” ujarnya yang juga Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Dia menambahkan, pidana mati dengan masa percobaan itu bukan jenis pidana atau strafsoort, tetapi merupakan pelaksanaan pidana atau strafmodus. Artinya, jenis pidana yang dikenal adalah pidana khusus yaitu pidana mati bukan pidana mati dengan masa percobaan.
Pandangan Prof. Marcus berbeda dengan penjelasan dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI yang menyepakati bahwa masa percobaan wajib disertakan dalam vonis pidana mati dalam rumusan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023.
Sementara itu, Adnan Pambudi dari Ikatan Advokat Indonesia Cabang Yogyakarta menilai permasalahan tersebut lahir karena Indonesia belum menghapus pidana mati secara total. “Problem ini lahir karena ketidaktegasan politik hukum pidana mati di Indonesia. Karena masih setengah-setengah malah menjadi masalah dalam sistem hukum kita,” kata Adnan.
Penghapusan pidana mati secara total juga disuarakan oleh Eko Riyadi dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia. Menurut dia, masyarakat internasional sudah beranjak dari paradigma yang masih memperbolehkan pidana mati.
Eko merujuk pada Pasal 6 ayat (2) dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol) yang telah diratifikasi oleh Indonesia di tahun 2005yang memperbolehkan negara untuk menerapkan pidana mati pada kejahatan paling serius (most serious crime) berdasarkan putusan pengadilan.
Menurut Eko, ketentuan Kovenan Hak Sipol adalah traktat internasional yang dibentuk dengan iklim politik tahun 1966. Dia melanjutkan, seandainya Kovenan Hak Sipol disusun sekarang, sudah pasti ICCPR (Terjemahan Kovenan Hak Sipol) tidak akan memperbolehkan pidana mati dengan alasan apa pun.
Dia menilai harus diakui sampai saat ini belum ada satu suara mengenai bagaimana “masa percobaan” ini akan diterapkan dan apakah sifatnya wajib.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Prof. Marcus Priyo Gunarto menyampaikan, rumusan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023 tidak mewajibkan hakim untuk memberikan masa percobaan jika menjatuhkan pidana mati.
“Pasal 100 ayat (1) menekankan kondisi yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan masa percobaan, yaitu ada tidaknya penyesalan atau signifikan tidaknya peran dari terdakwa. Selain itu, masa percobaan ini harus dicantumkan dalam putusan pengadilan,” ujarnya yang juga Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Dia menambahkan, pidana mati dengan masa percobaan itu bukan jenis pidana atau strafsoort, tetapi merupakan pelaksanaan pidana atau strafmodus. Artinya, jenis pidana yang dikenal adalah pidana khusus yaitu pidana mati bukan pidana mati dengan masa percobaan.
Pandangan Prof. Marcus berbeda dengan penjelasan dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI yang menyepakati bahwa masa percobaan wajib disertakan dalam vonis pidana mati dalam rumusan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023.
Sementara itu, Adnan Pambudi dari Ikatan Advokat Indonesia Cabang Yogyakarta menilai permasalahan tersebut lahir karena Indonesia belum menghapus pidana mati secara total. “Problem ini lahir karena ketidaktegasan politik hukum pidana mati di Indonesia. Karena masih setengah-setengah malah menjadi masalah dalam sistem hukum kita,” kata Adnan.
Penghapusan pidana mati secara total juga disuarakan oleh Eko Riyadi dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia. Menurut dia, masyarakat internasional sudah beranjak dari paradigma yang masih memperbolehkan pidana mati.
Eko merujuk pada Pasal 6 ayat (2) dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol) yang telah diratifikasi oleh Indonesia di tahun 2005yang memperbolehkan negara untuk menerapkan pidana mati pada kejahatan paling serius (most serious crime) berdasarkan putusan pengadilan.
Menurut Eko, ketentuan Kovenan Hak Sipol adalah traktat internasional yang dibentuk dengan iklim politik tahun 1966. Dia melanjutkan, seandainya Kovenan Hak Sipol disusun sekarang, sudah pasti ICCPR (Terjemahan Kovenan Hak Sipol) tidak akan memperbolehkan pidana mati dengan alasan apa pun.