DPR: Penerapan Masa Percobaan terhadap Terpidana Mati KUHP Baru Bersifat Otomatis

Jum'at, 26 Mei 2023 - 16:44 WIB
loading...
DPR: Penerapan Masa...
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan bahwa masa percobaan dalam Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang bersifat otomatis. Foto/Ilustrasi/Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan bahwa masa percobaan dalam Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang bersifat otomatis. Hal itu dikatakannya dalam focus group discussion (FGD) bertajuk Pekerjaan Rumah Pemerintah dan Pengadilan untuk Pidana Mati dalam KUHP Baru di Yogyakarta.

“Original intent dari rumusan Pasal 100 ayat (1) KUHP baru adalah seluruh pidana mati wajib disertai dengan masa percobaan. Hal ini juga konsisten dengan penjelasan Pasal 98 KUHP baru,” ujar Taufik dikutip Jumat (26/5/2023).

Penjelasan Pasal 98 UU 1/2023 menekankan bahwa salah satu sifat khusus dari pidana mati adalah ia dijatuhkan dengan masa percobaan sebagai upaya untuk memperbaiki diri agar eksekusi tidak perlu dilaksanakan dan diganti menjadi pidana penjara seumur hidup.



Taufik Basari menjelaskan, selain mewajibkan masa percobaan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023 juga mengatur syarat bagi hakim dalam penjatuhan pidana mati, yaitu “penyesalan dan peran terdakwa merupakan syarat bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati. Jika pidana mati dijatuhkan, maka harus dicantumkan juga masa percobaannya.”

Kedua perbedaan tafsir ini dinilai menunjukkan sumirnya pengaturan pidana mati dengan masa percobaan dalam Pasal 100 UU 1/2023. Hal ini juga disetujui oleh Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta Muh. Djauhar Setyadi yang mengkhawatirkan potensi permasalahan dalam rumusan UU 1/2023.

“Pasal 100 ayat (1) KUHP baru menimbulkan kebingungan, khususnya frasa ‘dengan memperhatikan’. Hal ini justru akan menimbulkan keraguan bagi hakim jika hendak menerapkannya,.” kata Djauhar dalam kesempatan sama.

Djauhar pun menilai bahwa penilaian sikap dan kelakuan terpidana mati yang diatur pada Pasal 100 ayat (4) UU 1/2023 perlu melibatkan peran dari lembaga yudikatif, khususnya hakim pengawas dan pengamat.

“Perlu ada checks and balances di dalam format baru ini. Misalnya saja dengan melibatkan Hakim wasmat (pengawas dan pengamat) dalam penyusunan pertimbangan Mahkamah Agung. Namun perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai Hakim wasmat tersebut, bukan sebagaimana pengaturan saat ini,” ujar Djauhar.

Praktisi Hukum Todung Mulya Lubis mengapresiasi kehadiran masa percobaan sembari menegaskan perlunya penghapusan penuh pidana mati. “Walaupun pidana mati harus dihapus, kita tetap harus mengamankan hak-hak terpidana mati yang sudah tertulis dalam KUHP baru,” ujar pengacara dan pegiat HAM senior ini dalam FGD yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan dan akademisi.

Menurut Todung, mestinya ketentuan tersebut dapat diterapkan dari dulu sehingga ada kesempatan kedua bagi terpidana mati. “Seandainya ketentuan masa percobaan ini sudah ada dari dulu, saya cukup yakin akan ada kesempatan kedua bagi terpidana mati," tutur Todung.

Dia menilai harus diakui sampai saat ini belum ada satu suara mengenai bagaimana “masa percobaan” ini akan diterapkan dan apakah sifatnya wajib.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Prof. Marcus Priyo Gunarto menyampaikan, rumusan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023 tidak mewajibkan hakim untuk memberikan masa percobaan jika menjatuhkan pidana mati.

“Pasal 100 ayat (1) menekankan kondisi yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan masa percobaan, yaitu ada tidaknya penyesalan atau signifikan tidaknya peran dari terdakwa. Selain itu, masa percobaan ini harus dicantumkan dalam putusan pengadilan,” ujarnya yang juga Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Dia menambahkan, pidana mati dengan masa percobaan itu bukan jenis pidana atau strafsoort, tetapi merupakan pelaksanaan pidana atau strafmodus. Artinya, jenis pidana yang dikenal adalah pidana khusus yaitu pidana mati bukan pidana mati dengan masa percobaan.

Pandangan Prof. Marcus berbeda dengan penjelasan dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI yang menyepakati bahwa masa percobaan wajib disertakan dalam vonis pidana mati dalam rumusan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023.

Sementara itu, Adnan Pambudi dari Ikatan Advokat Indonesia Cabang Yogyakarta menilai permasalahan tersebut lahir karena Indonesia belum menghapus pidana mati secara total. “Problem ini lahir karena ketidaktegasan politik hukum pidana mati di Indonesia. Karena masih setengah-setengah malah menjadi masalah dalam sistem hukum kita,” kata Adnan.

Penghapusan pidana mati secara total juga disuarakan oleh Eko Riyadi dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia. Menurut dia, masyarakat internasional sudah beranjak dari paradigma yang masih memperbolehkan pidana mati.

Eko merujuk pada Pasal 6 ayat (2) dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol) yang telah diratifikasi oleh Indonesia di tahun 2005yang memperbolehkan negara untuk menerapkan pidana mati pada kejahatan paling serius (most serious crime) berdasarkan putusan pengadilan.

Menurut Eko, ketentuan Kovenan Hak Sipol adalah traktat internasional yang dibentuk dengan iklim politik tahun 1966. Dia melanjutkan, seandainya Kovenan Hak Sipol disusun sekarang, sudah pasti ICCPR (Terjemahan Kovenan Hak Sipol) tidak akan memperbolehkan pidana mati dengan alasan apa pun.

Dirinya pun mendorong Indonesia untuk segera meratifikasi Protokol Pilihan Kedua dari Kovenan Hak Sipol mengenai penghapusan total pidana mati.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1117 seconds (0.1#10.140)