Tak Ada Capres Dominan di Pilpres 2024, Salah Pilih Cawapres Bisa Tergelincir
loading...
A
A
A
Dia melanjutkan, berbeda dengan Anies yang satu sisi telah dikucilkan kekuasaan. Dia menuturkan, Anies juga harus hadapi dua kelompok pro pemerintah, Ganjar dan Prabowo.
“Untuk itu Anies patut menimbang cawapres yang punya potensi meredam suara rival. Situasi bagi Anies memungkinkan cawapres yang dianggap sebagai tokoh atau elite, yang saat ini pro pemerintah, tokoh semisal Erick Thohir, Mahfud MD, atau bahkan Andika Perkasa, ini bisa menjadi pilihan yang baik di sisi mereka sudah siapkan AHY,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan figur bakal cawapres juga tidak ada yang dominan. “Lima besar hampir merata elektabilitasnya: Emil, Sandi, AHY, Erick, Khofifah. Nama lain potensial Wapres Mahfud, Cak Imin, Airlangga. Kalau nama-nama itu dipasangkan dengan tiga nama capres teratas (Anies, Ganjar, Prabowo) semuanya bisa kompetitif,” ujar Djayadi Hanan dihubungi SINDOnews secara terpisah.
Maka itu, kata dia, menentukan cawapres harus menggunakan juga pertimbangan-pertimbangan lain selain elektabilitas individu. Pertama, komplementaritas.
“Apakah capres cawapres saling melengkapi, misal secara ideologis (nasionalis dan religius/santri, secara wilayah (Jawa luar Jawa, Jatim/Jateng vs Jabar/Banten), dan lain-lain,” tuturnya.
Kedua, kata dia, pertimbangan logistik atau kemampuan mendatangkan logistik untuk pemenangan. Ketiga, kecukupan syarat presidential threshold.
“Keempat, siapa yang duluan menjadi anggota koalisi, kalau datang belakangan tapi minta wapres tentu kurang prioritas dibanding yang duluan,” katanya.
Kelima, kecocokan kompetensi jika nanti menang dan memerintah. Keenam, faktor subyektif apakah capres cawapres saling cocok secara pribadi.
“Apakah pimpinan partai cocok dengan pribadi cawapres yang diusung. Jadi memang harus hati-hati milih cawapres. Juga harus mempertimbangkan siapa pasangan lawan,” pungkasnya.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengakui tidak ada capres yang memiliki elektabilitas dominan saat ini. “Semua masih bisa susul menyusul atau saling mengungguli satu sama lain,” kata Ujang.
“Untuk itu Anies patut menimbang cawapres yang punya potensi meredam suara rival. Situasi bagi Anies memungkinkan cawapres yang dianggap sebagai tokoh atau elite, yang saat ini pro pemerintah, tokoh semisal Erick Thohir, Mahfud MD, atau bahkan Andika Perkasa, ini bisa menjadi pilihan yang baik di sisi mereka sudah siapkan AHY,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan figur bakal cawapres juga tidak ada yang dominan. “Lima besar hampir merata elektabilitasnya: Emil, Sandi, AHY, Erick, Khofifah. Nama lain potensial Wapres Mahfud, Cak Imin, Airlangga. Kalau nama-nama itu dipasangkan dengan tiga nama capres teratas (Anies, Ganjar, Prabowo) semuanya bisa kompetitif,” ujar Djayadi Hanan dihubungi SINDOnews secara terpisah.
Maka itu, kata dia, menentukan cawapres harus menggunakan juga pertimbangan-pertimbangan lain selain elektabilitas individu. Pertama, komplementaritas.
“Apakah capres cawapres saling melengkapi, misal secara ideologis (nasionalis dan religius/santri, secara wilayah (Jawa luar Jawa, Jatim/Jateng vs Jabar/Banten), dan lain-lain,” tuturnya.
Kedua, kata dia, pertimbangan logistik atau kemampuan mendatangkan logistik untuk pemenangan. Ketiga, kecukupan syarat presidential threshold.
“Keempat, siapa yang duluan menjadi anggota koalisi, kalau datang belakangan tapi minta wapres tentu kurang prioritas dibanding yang duluan,” katanya.
Kelima, kecocokan kompetensi jika nanti menang dan memerintah. Keenam, faktor subyektif apakah capres cawapres saling cocok secara pribadi.
“Apakah pimpinan partai cocok dengan pribadi cawapres yang diusung. Jadi memang harus hati-hati milih cawapres. Juga harus mempertimbangkan siapa pasangan lawan,” pungkasnya.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengakui tidak ada capres yang memiliki elektabilitas dominan saat ini. “Semua masih bisa susul menyusul atau saling mengungguli satu sama lain,” kata Ujang.