Tak Ada Capres Dominan di Pilpres 2024, Salah Pilih Cawapres Bisa Tergelincir
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ( Pilpres ) 2024 tinggal beberapa bulan lagi. Sejumlah partai politik (parpol) sudah mengumumkan sejumlah kandidat yang bakal bertarung sebagai calon presiden ( capres ).
Salah satunya adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi partai politik (parpol) yang pertama mengumumkan mengusung pria kelahiran 28 Oktober 1968, Karanganyar, Jawa Tengah itu sebagai calon RI 1.
Beberapa hari kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mengumumkan untuk mengusung Ganjar. Selain itu, Partai Hanura dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga menyatakan sikap yang sama, mendukung pria identik rambut putih tersebut.
Sebelumnya, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) telah menyatakan mengusung Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai capres 2024. Koalisi ini terdiri dari Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Adapun nama lain yang berpotensi maju sebagai capres 2024 adalah Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang kini menjabat Menteri Pertahanan. Dorongan internal Gerindra kepada ketua umum mereka sudah dilakukan jauh sebelum pengumuman Ganjar dan Anies.
Baru-baru ini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyatakan mengusung Prabowo sebagai capres 2024. PKB dan Gerindra tergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Nah, ketiga nama itu sering kali berada di posisi tiga besar di berbagai lembaga survei belakangan ini. Namun, tidak ada capres dengan elektabilitas yang dominan berdasarkan hasil survei tersebut.
Misalnya, hasil survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC). Dalam survei itu, tren elektabilitas Anies Baswedan mengalami penurunan, sedangkan Prabowo Subianto cenderung stagnan.
Direktur Riset SMRC Deni Irvani menjelaskan dukungan kepada Ganjar naik dari 25,5 persen menjadi 39,2 persen dalam dua tahun terakhir, dari Mei 2021 ke Mei 2023. Sedangkan Anies cenderung menurun dari 23,5 persen manjadi 19,7 persen. Adapun Prabowo cenderung stagnan dari 34,1 persen menjadi 32,1 persen.
Sementara itu, hasil berbeda dari survei terbaru lembaga Survei dan Polling Indonesia (SPIN). Elektabilitas Prabowo Subianto unggul dalam survei terbaru lembaga Survei dan Polling Indonesia (SPIN) secara head to head melawan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
SPIN membeberkan tiga alasan Prabowo keluar sebagai pemenang jika dihadapkan dengan Ganjar atau Anies. “Jika terjadi head to head antara Prabowo vs Ganjar, pemilih Jokowi akan terbelah antara Ganjar dan Prabowo. Sementara, pemilih Anies akan bermigrasi ke Prabowo ketimbang Ganjar,” kata Direktur SPIN Igor Dirgantara, Senin (8/5/2023).
Adapun, jika head to head terjadi antara Prabowo dan Anies, mantan Danjen Kopassus tersebut juga akan keluar sebagai pemenang lantaran pemilih Prabowo pada Pilpres 2019 ditambah dengan pemilih Jokowi dan Ganjar cenderung berpihak pada Prabowo ketimbang Anies.
Sedangkan berdasarkan hasil survei lembaga Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 11-17 April 2023 menunjukkan ada tiga tokoh yang memperoleh elektabilitas tertinggi. Posisi pertama ditempati oleh Ganjar Pranowo dengan perolehan suara sebanyak 27,5 persen.
Kemudian di posisi kedua adalah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan perolehan suara sebanyak 25,1 persen. Sedangkan di posisi ketiga ditempati oleh Anies Baswedan dengan suara 18,8 persen.
"Jadi saya mengatakan meskipun ada dinamika di bulan April, tapi ketiga calon masih memiliki potensi unggul artinya tiga nama ini tidak ada yang menang satu putaran," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi lewat channel YouTube Indikator Politik, Minggu (30/4/2023)
Elektabilitas Prabowo sebagai capres 2024 juga menempati posisi teratas berdasar hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang pada 12-17 April 2023 itu. Sementara Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan membuntuti di belakangnya.
Direktur Eksekutif LSI Dyajadi Hanan menyampaikan, pihaknya mencoba melakukan sejumlah simulasi pertanyaan tertutup kepada responden terkait siapa tokoh yang akan dipilih menjadi Capres di 2024 mendatang. "Simulasi tertutup 10 nama, tiga besarnya tetap sama dengan selisih yang cenderung juga ketat. 28,3% Pak Prabowo, 27,3% Ganjar, 21% Anies Baswedan," kata Djayadi Hanan saat memaparkan hasil surveinya secara daring, Rabu (3/5/2023).
Di sisi lain, belum ada yang mengumumkan figur calon wakil presiden (cawapres) masing-masing. Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 11-17 April 2023, nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil masih menjadi calon wakil presiden (cawapres) dengan elektabilitas tertinggi dibandingkan dengan lainnya.
Elektabilitas pria yang akrab disapa Kang Emil dalam survei itu sebesar 17,3 persen. Sementara itu, Menparekraf Sandiaga Uno, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Menteri BUMN Erick Thohir sama-sama bersaing memperoleh suara yang tidak kalah jauh.
Sandiaga Uno mendapat suara 14,2 persen. Kemudian AHY mendapatkan suara sebanyak 12,4 persen, dan Erick Thohir 12,2 persen. "Peringkat pertama masih ditempati Ridwan Kamil, kemudian peringkat kedua, ketiga, keempat, kurang lebih margin of error antara Sandi, AHY, dan Erick Thohir," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi lewat channel YouTube Indikator Politik, Minggu (30/4/2023).
Sedangkan hasil survei lembaga Poltracking Indonesia pada April 2023, elektabilitas Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dalam bursa cawapres 2024 teratas. Dalam survei itu, Erick Thohir berada di posisi pertama dalam 10 nama bursa cawapres.
Pemimpin andalan dan kepercayaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini terekam memiliki elektabilitas tertinggi di angka 17,1 persen. Angka ini mengungguli para pesaingnya yakni Menparekraf Sandiaga Uno dan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil.
Sandiaga Uno berada di posisi ke-2 dengan elektabilitas sebesar 15,5 persen. Sedangkan Ridwan Kamil berada di posisi ketiga dengan angka elektabilitas 13,5 persen. Di samping nama-nama tiga teratas ini belum ada yang memiliki elektabilitas di atas angka 10 persen.
Lalu, apakah jika melakukan kesalahan dalam memilih figur cawapres bisa membuat tergelincir pada Pilpres 2024?
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai tidak semua capres perlu menimbang ketat figur cawapres. “PDIP termasuk yang tidak memerlukan dukungan cawapres, mengingat Ganjar sendiri sudah dikesankan tidak miliki kekuasaan apa pun, semua serba ditentukan oleh Megawati dan diintervensi oleh Jokowi. Sebagai petugas partai yang didukung kekuasaan, cawapres Ganjar hanya soal siapa yang memungkinkan menyumbang logistik terbesar,” ujarnya kepada SINDOnews, Sabtu (13/5/2023).
Dia melanjutkan, berbeda dengan Anies yang satu sisi telah dikucilkan kekuasaan. Dia menuturkan, Anies juga harus hadapi dua kelompok pro pemerintah, Ganjar dan Prabowo.
“Untuk itu Anies patut menimbang cawapres yang punya potensi meredam suara rival. Situasi bagi Anies memungkinkan cawapres yang dianggap sebagai tokoh atau elite, yang saat ini pro pemerintah, tokoh semisal Erick Thohir, Mahfud MD, atau bahkan Andika Perkasa, ini bisa menjadi pilihan yang baik di sisi mereka sudah siapkan AHY,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan figur bakal cawapres juga tidak ada yang dominan. “Lima besar hampir merata elektabilitasnya: Emil, Sandi, AHY, Erick, Khofifah. Nama lain potensial Wapres Mahfud, Cak Imin, Airlangga. Kalau nama-nama itu dipasangkan dengan tiga nama capres teratas (Anies, Ganjar, Prabowo) semuanya bisa kompetitif,” ujar Djayadi Hanan dihubungi SINDOnews secara terpisah.
Maka itu, kata dia, menentukan cawapres harus menggunakan juga pertimbangan-pertimbangan lain selain elektabilitas individu. Pertama, komplementaritas.
“Apakah capres cawapres saling melengkapi, misal secara ideologis (nasionalis dan religius/santri, secara wilayah (Jawa luar Jawa, Jatim/Jateng vs Jabar/Banten), dan lain-lain,” tuturnya.
Kedua, kata dia, pertimbangan logistik atau kemampuan mendatangkan logistik untuk pemenangan. Ketiga, kecukupan syarat presidential threshold.
“Keempat, siapa yang duluan menjadi anggota koalisi, kalau datang belakangan tapi minta wapres tentu kurang prioritas dibanding yang duluan,” katanya.
Kelima, kecocokan kompetensi jika nanti menang dan memerintah. Keenam, faktor subyektif apakah capres cawapres saling cocok secara pribadi.
“Apakah pimpinan partai cocok dengan pribadi cawapres yang diusung. Jadi memang harus hati-hati milih cawapres. Juga harus mempertimbangkan siapa pasangan lawan,” pungkasnya.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengakui tidak ada capres yang memiliki elektabilitas dominan saat ini. “Semua masih bisa susul menyusul atau saling mengungguli satu sama lain,” kata Ujang.
Maka itu, menurut dia, tiap capres memerlukan figur cawapres yang memiliki elektabilitas tinggi. “Untuk menambah daya gedor, untuk menambah kekuatan elektoral dari sang capresnya itu,” imbuhnya.
“Kalau posisi cawapresnya biasa-biasa saja, elektabilitasnya rendah, maka ya dalam konteks persaingan bisa tergelincir atau keluar dari arena atau bisa kalah dalam pertandingan di pilpres nanti,” sambung Ujang.
Jadi, lanjut Ujang, sejatinya posisi cawapres itu menentukan dalam konteks kontestasi saat ini. “Karena tidak adanya capres yang dominan terkait elektabilitas, tidak ada yang mencolok, tidak ada yang lebih tinggi satu dari yang lainnya,” pungkasnya.
Salah satunya adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi partai politik (parpol) yang pertama mengumumkan mengusung pria kelahiran 28 Oktober 1968, Karanganyar, Jawa Tengah itu sebagai calon RI 1.
Beberapa hari kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mengumumkan untuk mengusung Ganjar. Selain itu, Partai Hanura dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga menyatakan sikap yang sama, mendukung pria identik rambut putih tersebut.
Sebelumnya, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) telah menyatakan mengusung Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai capres 2024. Koalisi ini terdiri dari Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Adapun nama lain yang berpotensi maju sebagai capres 2024 adalah Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang kini menjabat Menteri Pertahanan. Dorongan internal Gerindra kepada ketua umum mereka sudah dilakukan jauh sebelum pengumuman Ganjar dan Anies.
Baru-baru ini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyatakan mengusung Prabowo sebagai capres 2024. PKB dan Gerindra tergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Nah, ketiga nama itu sering kali berada di posisi tiga besar di berbagai lembaga survei belakangan ini. Namun, tidak ada capres dengan elektabilitas yang dominan berdasarkan hasil survei tersebut.
Misalnya, hasil survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC). Dalam survei itu, tren elektabilitas Anies Baswedan mengalami penurunan, sedangkan Prabowo Subianto cenderung stagnan.
Direktur Riset SMRC Deni Irvani menjelaskan dukungan kepada Ganjar naik dari 25,5 persen menjadi 39,2 persen dalam dua tahun terakhir, dari Mei 2021 ke Mei 2023. Sedangkan Anies cenderung menurun dari 23,5 persen manjadi 19,7 persen. Adapun Prabowo cenderung stagnan dari 34,1 persen menjadi 32,1 persen.
Sementara itu, hasil berbeda dari survei terbaru lembaga Survei dan Polling Indonesia (SPIN). Elektabilitas Prabowo Subianto unggul dalam survei terbaru lembaga Survei dan Polling Indonesia (SPIN) secara head to head melawan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
SPIN membeberkan tiga alasan Prabowo keluar sebagai pemenang jika dihadapkan dengan Ganjar atau Anies. “Jika terjadi head to head antara Prabowo vs Ganjar, pemilih Jokowi akan terbelah antara Ganjar dan Prabowo. Sementara, pemilih Anies akan bermigrasi ke Prabowo ketimbang Ganjar,” kata Direktur SPIN Igor Dirgantara, Senin (8/5/2023).
Adapun, jika head to head terjadi antara Prabowo dan Anies, mantan Danjen Kopassus tersebut juga akan keluar sebagai pemenang lantaran pemilih Prabowo pada Pilpres 2019 ditambah dengan pemilih Jokowi dan Ganjar cenderung berpihak pada Prabowo ketimbang Anies.
Sedangkan berdasarkan hasil survei lembaga Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 11-17 April 2023 menunjukkan ada tiga tokoh yang memperoleh elektabilitas tertinggi. Posisi pertama ditempati oleh Ganjar Pranowo dengan perolehan suara sebanyak 27,5 persen.
Kemudian di posisi kedua adalah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan perolehan suara sebanyak 25,1 persen. Sedangkan di posisi ketiga ditempati oleh Anies Baswedan dengan suara 18,8 persen.
"Jadi saya mengatakan meskipun ada dinamika di bulan April, tapi ketiga calon masih memiliki potensi unggul artinya tiga nama ini tidak ada yang menang satu putaran," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi lewat channel YouTube Indikator Politik, Minggu (30/4/2023)
Elektabilitas Prabowo sebagai capres 2024 juga menempati posisi teratas berdasar hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang pada 12-17 April 2023 itu. Sementara Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan membuntuti di belakangnya.
Direktur Eksekutif LSI Dyajadi Hanan menyampaikan, pihaknya mencoba melakukan sejumlah simulasi pertanyaan tertutup kepada responden terkait siapa tokoh yang akan dipilih menjadi Capres di 2024 mendatang. "Simulasi tertutup 10 nama, tiga besarnya tetap sama dengan selisih yang cenderung juga ketat. 28,3% Pak Prabowo, 27,3% Ganjar, 21% Anies Baswedan," kata Djayadi Hanan saat memaparkan hasil surveinya secara daring, Rabu (3/5/2023).
Di sisi lain, belum ada yang mengumumkan figur calon wakil presiden (cawapres) masing-masing. Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 11-17 April 2023, nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil masih menjadi calon wakil presiden (cawapres) dengan elektabilitas tertinggi dibandingkan dengan lainnya.
Elektabilitas pria yang akrab disapa Kang Emil dalam survei itu sebesar 17,3 persen. Sementara itu, Menparekraf Sandiaga Uno, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Menteri BUMN Erick Thohir sama-sama bersaing memperoleh suara yang tidak kalah jauh.
Sandiaga Uno mendapat suara 14,2 persen. Kemudian AHY mendapatkan suara sebanyak 12,4 persen, dan Erick Thohir 12,2 persen. "Peringkat pertama masih ditempati Ridwan Kamil, kemudian peringkat kedua, ketiga, keempat, kurang lebih margin of error antara Sandi, AHY, dan Erick Thohir," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi lewat channel YouTube Indikator Politik, Minggu (30/4/2023).
Sedangkan hasil survei lembaga Poltracking Indonesia pada April 2023, elektabilitas Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dalam bursa cawapres 2024 teratas. Dalam survei itu, Erick Thohir berada di posisi pertama dalam 10 nama bursa cawapres.
Pemimpin andalan dan kepercayaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini terekam memiliki elektabilitas tertinggi di angka 17,1 persen. Angka ini mengungguli para pesaingnya yakni Menparekraf Sandiaga Uno dan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil.
Sandiaga Uno berada di posisi ke-2 dengan elektabilitas sebesar 15,5 persen. Sedangkan Ridwan Kamil berada di posisi ketiga dengan angka elektabilitas 13,5 persen. Di samping nama-nama tiga teratas ini belum ada yang memiliki elektabilitas di atas angka 10 persen.
Lalu, apakah jika melakukan kesalahan dalam memilih figur cawapres bisa membuat tergelincir pada Pilpres 2024?
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai tidak semua capres perlu menimbang ketat figur cawapres. “PDIP termasuk yang tidak memerlukan dukungan cawapres, mengingat Ganjar sendiri sudah dikesankan tidak miliki kekuasaan apa pun, semua serba ditentukan oleh Megawati dan diintervensi oleh Jokowi. Sebagai petugas partai yang didukung kekuasaan, cawapres Ganjar hanya soal siapa yang memungkinkan menyumbang logistik terbesar,” ujarnya kepada SINDOnews, Sabtu (13/5/2023).
Dia melanjutkan, berbeda dengan Anies yang satu sisi telah dikucilkan kekuasaan. Dia menuturkan, Anies juga harus hadapi dua kelompok pro pemerintah, Ganjar dan Prabowo.
“Untuk itu Anies patut menimbang cawapres yang punya potensi meredam suara rival. Situasi bagi Anies memungkinkan cawapres yang dianggap sebagai tokoh atau elite, yang saat ini pro pemerintah, tokoh semisal Erick Thohir, Mahfud MD, atau bahkan Andika Perkasa, ini bisa menjadi pilihan yang baik di sisi mereka sudah siapkan AHY,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan figur bakal cawapres juga tidak ada yang dominan. “Lima besar hampir merata elektabilitasnya: Emil, Sandi, AHY, Erick, Khofifah. Nama lain potensial Wapres Mahfud, Cak Imin, Airlangga. Kalau nama-nama itu dipasangkan dengan tiga nama capres teratas (Anies, Ganjar, Prabowo) semuanya bisa kompetitif,” ujar Djayadi Hanan dihubungi SINDOnews secara terpisah.
Maka itu, kata dia, menentukan cawapres harus menggunakan juga pertimbangan-pertimbangan lain selain elektabilitas individu. Pertama, komplementaritas.
“Apakah capres cawapres saling melengkapi, misal secara ideologis (nasionalis dan religius/santri, secara wilayah (Jawa luar Jawa, Jatim/Jateng vs Jabar/Banten), dan lain-lain,” tuturnya.
Kedua, kata dia, pertimbangan logistik atau kemampuan mendatangkan logistik untuk pemenangan. Ketiga, kecukupan syarat presidential threshold.
“Keempat, siapa yang duluan menjadi anggota koalisi, kalau datang belakangan tapi minta wapres tentu kurang prioritas dibanding yang duluan,” katanya.
Kelima, kecocokan kompetensi jika nanti menang dan memerintah. Keenam, faktor subyektif apakah capres cawapres saling cocok secara pribadi.
“Apakah pimpinan partai cocok dengan pribadi cawapres yang diusung. Jadi memang harus hati-hati milih cawapres. Juga harus mempertimbangkan siapa pasangan lawan,” pungkasnya.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengakui tidak ada capres yang memiliki elektabilitas dominan saat ini. “Semua masih bisa susul menyusul atau saling mengungguli satu sama lain,” kata Ujang.
Maka itu, menurut dia, tiap capres memerlukan figur cawapres yang memiliki elektabilitas tinggi. “Untuk menambah daya gedor, untuk menambah kekuatan elektoral dari sang capresnya itu,” imbuhnya.
“Kalau posisi cawapresnya biasa-biasa saja, elektabilitasnya rendah, maka ya dalam konteks persaingan bisa tergelincir atau keluar dari arena atau bisa kalah dalam pertandingan di pilpres nanti,” sambung Ujang.
Jadi, lanjut Ujang, sejatinya posisi cawapres itu menentukan dalam konteks kontestasi saat ini. “Karena tidak adanya capres yang dominan terkait elektabilitas, tidak ada yang mencolok, tidak ada yang lebih tinggi satu dari yang lainnya,” pungkasnya.
(rca)