Istilah Berganti Wabah Tak Pergi
loading...
A
A
A
Di Singapura, istilah kasus suspect atau pasien suspect hanya diberlakukan pada awal pandemi korona atau sekitar Januari lalu. Namun, seiring dengan pelaksanaan tes yang dilaksanakan besar-besaran, Singapura pun hanya mengenal dua jenis, yakni positif atau negatif virus corona. (Baca juga: Minta Sidang Daring, MAKI Nilai Djoko Tjandra Hina Sidang)
Jepang juga pernah menggunakan istilah close contact, yakni orang yang pernah berhubungan dengan pasien corona. Namun, istilah tersebut juga hilang karena mayoritas orang yang memiliki kontak dengan pasien Covid-19 akan langsung menjalani tes virus corona.
Pakar epidemologi Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Kerawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM) Riris Andono Ahmad menyayangkan pemerintah yang baru menetapkan istilah berstandar WHO atau global pada saat ini. Dalam pandangannya, ada hal mendasar dalam penggantian istilah tersebut, yakni di dokumen manakah pergantian istilah itu dimuat dan apakah dokumen tersebut ditujukan untuk masyarakat banyak? Termasuk perlu membedakan antara istilah dalam dokumen teknis sebagai salah satu alat komunikasi antarprofesional kesehatan atau komunikasi risiko antarapemerintah dengan masyarakat.
Dua hal tersebut sangat berbeda, namun dalam situasi Covid-19 sering dicampuradukkan. Perubahan definisi kasus diakui akan menyebabkan kebingungan, tidak hanya pada masyarakat umum, tetapi juga pada praktisi kesehatan. Karena, perubahan definisi kasus akan memengaruhi bagaimana cara orang mendiagnosis, mencatat, dan melaporkan.
Koordinator Tim Satgas Covid-19 UGM ini menilai, perubahan istilah harus melahirkan konsekuensi terhadap efektivitas penanganan corona.
Pandangan serupa juga diungkapkan Pandu Riono, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI). Dia menganggap penggantian istilah ini sudah terlambat. Selain untuk mengikuti standar WHO, tidak ada juga kepentingan mendesak dari perubahan istilah tersebut. “Kan, sudah disampaikan WHO sejak empat bulan yang lalu, tapi baru diimplementasikan sekarang. Kenapa baru sekarang, kenapa tidak dari dulu saja,” kata Pandu heran.
Pergantian istilah ini bisa jadi untuk memperbaiki data statistik, terlebih pada kasus angka kematian. Di sisi lain, pergantian istilah juga meninggalkan masalah pada konversi data karena statistik yang lama harus diulang dan diperbaiki dengan perhitungan yang baru. (Baca juga: Menlu Nigeria Mengaku Telah Terinfeksi Covid-19)
“Dulu kalau kematian belum konfirmasi, itu kan enggak dilaporkan. Yang dilaporkan hanya yang dikonfirmasi, PDP sama ODP enggak pernah dilaporkan. Awalnya kan kaya gitu. Kalau sekarang, harus dilaporkan,” ucapnya.
Anggota Komisi IX Netty Prasetiyani menilai pemerintah belum bersungguh-sungguh dalam penanganan pandemi Covid-19. Indikatornya, pemerintah tidak terlihat menyiapkan grand design atau peta jalan untuk meredam pandemi ini.
Selain itu, dukungan anggaran juga tidak berpihak pada penanganan pandemi Covid-19. Anggaran untuk sektor kesehatan hanya Rp75 triliun dari total Rp695 triliun. Komunikasi pemerintah juga dinilai buruk, termasuk dengan mengubah istilah yang selama ini dikenal masyarakat. (Lihat videonya: Diduga untuk Ilmu Hitam, Dua Jenazah di TPU Bahagia Bekasi Dicuri)
Jepang juga pernah menggunakan istilah close contact, yakni orang yang pernah berhubungan dengan pasien corona. Namun, istilah tersebut juga hilang karena mayoritas orang yang memiliki kontak dengan pasien Covid-19 akan langsung menjalani tes virus corona.
Pakar epidemologi Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Kerawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM) Riris Andono Ahmad menyayangkan pemerintah yang baru menetapkan istilah berstandar WHO atau global pada saat ini. Dalam pandangannya, ada hal mendasar dalam penggantian istilah tersebut, yakni di dokumen manakah pergantian istilah itu dimuat dan apakah dokumen tersebut ditujukan untuk masyarakat banyak? Termasuk perlu membedakan antara istilah dalam dokumen teknis sebagai salah satu alat komunikasi antarprofesional kesehatan atau komunikasi risiko antarapemerintah dengan masyarakat.
Dua hal tersebut sangat berbeda, namun dalam situasi Covid-19 sering dicampuradukkan. Perubahan definisi kasus diakui akan menyebabkan kebingungan, tidak hanya pada masyarakat umum, tetapi juga pada praktisi kesehatan. Karena, perubahan definisi kasus akan memengaruhi bagaimana cara orang mendiagnosis, mencatat, dan melaporkan.
Koordinator Tim Satgas Covid-19 UGM ini menilai, perubahan istilah harus melahirkan konsekuensi terhadap efektivitas penanganan corona.
Pandangan serupa juga diungkapkan Pandu Riono, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI). Dia menganggap penggantian istilah ini sudah terlambat. Selain untuk mengikuti standar WHO, tidak ada juga kepentingan mendesak dari perubahan istilah tersebut. “Kan, sudah disampaikan WHO sejak empat bulan yang lalu, tapi baru diimplementasikan sekarang. Kenapa baru sekarang, kenapa tidak dari dulu saja,” kata Pandu heran.
Pergantian istilah ini bisa jadi untuk memperbaiki data statistik, terlebih pada kasus angka kematian. Di sisi lain, pergantian istilah juga meninggalkan masalah pada konversi data karena statistik yang lama harus diulang dan diperbaiki dengan perhitungan yang baru. (Baca juga: Menlu Nigeria Mengaku Telah Terinfeksi Covid-19)
“Dulu kalau kematian belum konfirmasi, itu kan enggak dilaporkan. Yang dilaporkan hanya yang dikonfirmasi, PDP sama ODP enggak pernah dilaporkan. Awalnya kan kaya gitu. Kalau sekarang, harus dilaporkan,” ucapnya.
Anggota Komisi IX Netty Prasetiyani menilai pemerintah belum bersungguh-sungguh dalam penanganan pandemi Covid-19. Indikatornya, pemerintah tidak terlihat menyiapkan grand design atau peta jalan untuk meredam pandemi ini.
Selain itu, dukungan anggaran juga tidak berpihak pada penanganan pandemi Covid-19. Anggaran untuk sektor kesehatan hanya Rp75 triliun dari total Rp695 triliun. Komunikasi pemerintah juga dinilai buruk, termasuk dengan mengubah istilah yang selama ini dikenal masyarakat. (Lihat videonya: Diduga untuk Ilmu Hitam, Dua Jenazah di TPU Bahagia Bekasi Dicuri)