Mendesak: Revisi UU Hak Cipta (2 - Tamat)
loading...
A
A
A
Maka, berdasarkan ayat (3 dan 4) di atas, siapa saja boleh menggunakan suatu Ciptaan atau produk Hak Terkait asalkan telah melakukan dan membayar royalti kepada LMK. Pasal 23 Ayat (5) dan Pasal 87 Ayat (4) itulah yang mengesankan terjadi kontradiksi dengan ayat-ayat lain dalam pasal yang sama. Selain itu, “larangan” oleh Perncipta dalam Pasal 9 UUHC seakan bisa “diakali” dengan Pasal 23 Ayat (5) dan Pasal 87 Ayat (4).
Usul saya, Ayat (5) Pasal 23 dan Ayat (4) Pasal 87 dibuang atau dipindah ke Bab VI mengenai Pembatasan Hak Cipta, entah dengan pasal tersendiri atau ditambahkan dalam ayat-ayat yang sudah ada.
Pembatasan Hak Cipta itu bukan hal baru dan bukan tanpa alasan. UUHC kita selain memberikan hak dan perlindungan kepada para pencipta atau pemegang hak cipta, juga memberikan batasan-batasan tertentu, misalnya tentang masa berlaku eksploitasi ekonomi ciptaan tertentu. Atau ada juga ciptaan-ciptaan tertentu yang dianggap tidak memiliki hak cipta. Hal ini agar masyarakat dapat memperoleh manfaat dari sebuah ciptaan.
Pembatasan-pembatasan tertentu sebuah ciptaan itu dimaksudkan agar terjadi keseimbangan antara kepentingan individu pemilik hak cipta dengan kepentingan masyarakat. Itu sebabnya dalam dunia hak cipta dikenal, antara lain, istilah “fair use” atau “fair dealing” Ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan karya cipta tanpa membayar atau bebas dari kewajiban meminta izin. Dalam UUHC hal-hal semacam itu diungkapkan dengan terminologi “Pembatasan Perlindungan”; “Tidak Ada Hak Cipta”; “Masa Berlaku Hak Cipta”, dan beberapa lainnya (lihat Sindo News 9 Februari 2023).
Sekarang alasan ketiga tentang mendesaknya revisi UUHC adalah maraknya dunia OTT saat ini. Dalam berbagai platform berbasis digital ini, potensi pelanggaran hak cipta sebenarnya tidak hanya soal musik. Tetapi bisa juga terjadi pada film, file digital, foto, e-book, dan aneka karya yang berhak cipta lainnya yang menjadi obyek e-commerce (lihat Sindo News 13 Maret 2023).
Selain itu, dalam karya cipta lain juga sudah terjadi banyak perubahan. Misalnya dunia sinematografi. Di dunia ini telah muncul misalnya masalah rights of publicity, defamation, fair use, false light, satire, dan lain-lain. Demikian pula pada karya cipta buku, seni batik, tari, koreografi, lukisan, dan lain-lain. Di situ sangat mungkin terjadi plagiarisme atau pelanggaran hak moral Pencipta.
Akan tambah lengkap apabila dalam revisi UUHC nanti dapat diadopsi secara maksimal Beijing Treaty yang sudah diratifikasi atau disahkan Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Beijing Treaty On Audiovisual Performance (Traktat Beijing Mengenai Pertunjukan Audiovisual). Traktak ini dibuat untuk melindungi hak ekonomi dan hak moral Pelaku Pertunjukan di era digital, dan untuk meningkatkan pembangunan kreativitas nasional. Traktak itu dianggap memperbaharui sistem pelindungan karya audiovisual pelaku pertunjukan yang ditayangkan melalui media elektronik.
Dalam Traktak tersebut, misalnya, pengertian Pelaku Pertunjukan dijelaskan lebih rinci menjadi: “Aktor, penyanyi, musisi, penari dan setiap orang yang berlakon, bernyanyi, berorasi, menyampaikan, memainkan, menginterpretasikan, atau melakukan pertunjukan karya artistik dan sastra atau ekspresi folklor.” Lalu, Pelaku Pertunjukan juga memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin penyiaran dan pengkomunikasian pertunjukan yang telah difiksasi dalam fiksasi audiovisual kepada publik.
Perubahan atau revisi UU itu nantinya akan membawa konsekuensi pada perubahan PP atau Permenkumham. Misalnya, bisa saja dikeluarkan Permenkumham yang memerinci pembagian persentasi dari royalti yang sudah ditarik dari pengguna. Misalnya, berapa persen jatah Pencipta, berapa bagian penyanyi, berapa bagian pemain, berapa bagian EO, dan seterusnya.
Singkat cerita, hukum yang baik adalah hukum yang jelas rumusannya dan efektif dalam pelaksanaannya. Maka, bagi Anda yang setuju revisi undang-undang hak cipta, silakan saja mulai ramai-ramai meneriakkan: Ayo.... Ayo..... Ayo revisi! Ayo revisi sekarang juga!
Usul saya, Ayat (5) Pasal 23 dan Ayat (4) Pasal 87 dibuang atau dipindah ke Bab VI mengenai Pembatasan Hak Cipta, entah dengan pasal tersendiri atau ditambahkan dalam ayat-ayat yang sudah ada.
Pembatasan Hak Cipta itu bukan hal baru dan bukan tanpa alasan. UUHC kita selain memberikan hak dan perlindungan kepada para pencipta atau pemegang hak cipta, juga memberikan batasan-batasan tertentu, misalnya tentang masa berlaku eksploitasi ekonomi ciptaan tertentu. Atau ada juga ciptaan-ciptaan tertentu yang dianggap tidak memiliki hak cipta. Hal ini agar masyarakat dapat memperoleh manfaat dari sebuah ciptaan.
Pembatasan-pembatasan tertentu sebuah ciptaan itu dimaksudkan agar terjadi keseimbangan antara kepentingan individu pemilik hak cipta dengan kepentingan masyarakat. Itu sebabnya dalam dunia hak cipta dikenal, antara lain, istilah “fair use” atau “fair dealing” Ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan karya cipta tanpa membayar atau bebas dari kewajiban meminta izin. Dalam UUHC hal-hal semacam itu diungkapkan dengan terminologi “Pembatasan Perlindungan”; “Tidak Ada Hak Cipta”; “Masa Berlaku Hak Cipta”, dan beberapa lainnya (lihat Sindo News 9 Februari 2023).
Sekarang alasan ketiga tentang mendesaknya revisi UUHC adalah maraknya dunia OTT saat ini. Dalam berbagai platform berbasis digital ini, potensi pelanggaran hak cipta sebenarnya tidak hanya soal musik. Tetapi bisa juga terjadi pada film, file digital, foto, e-book, dan aneka karya yang berhak cipta lainnya yang menjadi obyek e-commerce (lihat Sindo News 13 Maret 2023).
Selain itu, dalam karya cipta lain juga sudah terjadi banyak perubahan. Misalnya dunia sinematografi. Di dunia ini telah muncul misalnya masalah rights of publicity, defamation, fair use, false light, satire, dan lain-lain. Demikian pula pada karya cipta buku, seni batik, tari, koreografi, lukisan, dan lain-lain. Di situ sangat mungkin terjadi plagiarisme atau pelanggaran hak moral Pencipta.
Akan tambah lengkap apabila dalam revisi UUHC nanti dapat diadopsi secara maksimal Beijing Treaty yang sudah diratifikasi atau disahkan Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Beijing Treaty On Audiovisual Performance (Traktat Beijing Mengenai Pertunjukan Audiovisual). Traktak ini dibuat untuk melindungi hak ekonomi dan hak moral Pelaku Pertunjukan di era digital, dan untuk meningkatkan pembangunan kreativitas nasional. Traktak itu dianggap memperbaharui sistem pelindungan karya audiovisual pelaku pertunjukan yang ditayangkan melalui media elektronik.
Dalam Traktak tersebut, misalnya, pengertian Pelaku Pertunjukan dijelaskan lebih rinci menjadi: “Aktor, penyanyi, musisi, penari dan setiap orang yang berlakon, bernyanyi, berorasi, menyampaikan, memainkan, menginterpretasikan, atau melakukan pertunjukan karya artistik dan sastra atau ekspresi folklor.” Lalu, Pelaku Pertunjukan juga memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin penyiaran dan pengkomunikasian pertunjukan yang telah difiksasi dalam fiksasi audiovisual kepada publik.
Perubahan atau revisi UU itu nantinya akan membawa konsekuensi pada perubahan PP atau Permenkumham. Misalnya, bisa saja dikeluarkan Permenkumham yang memerinci pembagian persentasi dari royalti yang sudah ditarik dari pengguna. Misalnya, berapa persen jatah Pencipta, berapa bagian penyanyi, berapa bagian pemain, berapa bagian EO, dan seterusnya.
Singkat cerita, hukum yang baik adalah hukum yang jelas rumusannya dan efektif dalam pelaksanaannya. Maka, bagi Anda yang setuju revisi undang-undang hak cipta, silakan saja mulai ramai-ramai meneriakkan: Ayo.... Ayo..... Ayo revisi! Ayo revisi sekarang juga!