UU TPPU dan Sanksi atas Pelanggarannya
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
SETELAH 13 tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), telah terjadi dikursus mengenai status temuan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction report/STR) sebesar Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Namun, kemudian temuan tersebut telah diralat oleh Menteri Keuangan berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di mana nilai transaksi yang mencurigakan yang sebenarnya yang terjadi di lingkungan Kemenkeu ”hanya” Rp3 triliun.
Baca Juga: koran-sindo.com
Lingkup transaksi keuangan yang mencurigakan di dalam UU TPPU meliputi transaksi keuangan mencurigakan (STR): a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan; b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai ketentuan undang-undang ini; c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Informasi salah satu dari keempat jenis transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut dilarang untuk dibocorkan atau diberitahukan kepada yang tidak berhak, kecuali terhadap aparat penegak hukum dalam pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang.
Di dalam Pasal 11 UU Nomor 8/2010 telah dinyatakan larangan bagi setiap orang atau pejabat PPATK untuk mendistribusikan informasi atau dokumen atau keterangan mengenai transaksi keuangan kepada publik dengan ancaman pidana penjara empat tahun.
Sebelum membahas sanksi atas pelanggaran ketentuan pasal-pasal di dalam UU TPPU perlu diketahui terlebih dulu tujuan pembentukan UU aquo, bahwa tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Bertolak dari pertimbangan diundangkannya UU aquo dihubungkan dengan geopolitik internasional dalam bidang ekonomi, keuangan dan perbankan jelas keterkaitannya dan bersifat strategis karena perkembangan pesat tindak pidana dalam ketiga bidang tersebut, termasuk tindak pidana pencucian uang sangat potensial menghambat terciptanya tata kelola keuangan nasional/internasional yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Juga sekaligus menambah kekuatan menghadapi kejahatan transnasional terorganisasi (trasnational organized crimes) yang bervariasi jenis tindak pidananya terkhusus tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang merupakan sumber kehidupan atau jantung kehidupan organisasi tersebut.
Kekuatan strategi pencegahan tindak pidana pencucian uang dalam praktik terbukti lebih dirasakan penting dan nyata daripada semata-mata strategi penindakan karena kecanggihan teknologi informasi elektronika abad 20 -21 dapat memperkuat transfer dana ilegal (illegal funds transfer) yang sangat cepat dalam hitungan detik dari satu negara ke negara lain (save haven country).
Kecepatan transfer dana tersebut telah menyulitkan penelusuran dan pembekuan harta kekayaan yang berasal dari 23 tindak pidana terkait pencucian uang.
Eksistensi perundang-undangan saja dalam hal tindak pidana pencucian uang tidak menjamin efektivitas dan efisiensi keberhasilan tindak pidana tersebut. Diperlukan sarana dan prasarana terknologi canggih yang dapat memperkuat ketahanan UU TPPU.
PPATK sebagai lembaga satu-satunya yang bertugas dan mempunyai kewenangan dalam hal penelusuran dana yang dicurigai saat ini seharusnya telah memiliki teknologi informasi yang canggih dengan Komisi Pemberanhtasan Korupsi (KPK) dan pihak perbankan sehingga seketika PPATK menerima STR dari pihak bank seketika itu juga KPK menerima laporan STR yang sama dan untuk selanjutnya KPK segera melakukan pemblokiran rekening yang dicurigai di bank pelapor.
Mekanisme pelaporan tersebut telah dilaksanakan pihak AUSTRACK, lembaga semacam PPATK di Australia. Dari aspek hukum dan perundangan dapat dikatakan bahwa, Indonesia telah memiliki perangkat undang-undang yang lengkap diperkuat dengan lembaga PPATK.
Selain ancaman pidana empat tahun bagi setiap orang, termasuk subjek korporasi. juga ancaman pidana paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi yang membocorkan informasi kepada pihak pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
Untuk mencegah kebocoran informasi STR dalam UU TPPU telah diatur ketentuan pidana terhadap orang perorangan maupun korporasi: tindak pokok sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 s/d Pasal 10; dan tindak pidana lain (tambahan) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 s/d Pasal 16. Pengaturan mengenai perihal STR termasuk dalam tindak pidana lain yang terkait TPPU. Sekalipun demikian, pengaturan dan sanksi terhadap pelanggaran STR merupakan ketentuan strategis sebagai entry-point dari TPPU selanjutnya.
Keberadaan UU TPPU dengan ketentuan Pasal 69 juncto Pasal 77 dan 78 menunjukkan bahwa subjek hukum dalam UU TPPU adalah harta kekayaan yang dicurigai berasal dari salah satu dari 23 tindak pidana (Pasal 2) yang merupakan subjek hukum pidana ketiga setelah orang perorangan dan korporasi.
Subjek utama harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana dalam proses beracara berdasarkan praduga bersalah (presumption of guilt) sedangkan pemilik asal harta kekayaan yang bersangkutan tetap digunakan prinsip praduga tak bersalah.
Praduga bersalah atas harta kekayaan didasarkan pada prinsip bahwa harta kekayaan sekecil apa pun yang berasal dari tindak pidana adalah bukan hak milik mutlak pemiliknya, kecuali jika terbukti pemilik harta kekayaan dapat membuktikan sebaliknya.
Lihat Juga: Kejagung Sita Uang Tunai Rp288 Miliar terkait Kasus TPPU Duta Palma, Begini Penampakannya
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
SETELAH 13 tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), telah terjadi dikursus mengenai status temuan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction report/STR) sebesar Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Namun, kemudian temuan tersebut telah diralat oleh Menteri Keuangan berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di mana nilai transaksi yang mencurigakan yang sebenarnya yang terjadi di lingkungan Kemenkeu ”hanya” Rp3 triliun.
Baca Juga: koran-sindo.com
Lingkup transaksi keuangan yang mencurigakan di dalam UU TPPU meliputi transaksi keuangan mencurigakan (STR): a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan; b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai ketentuan undang-undang ini; c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Informasi salah satu dari keempat jenis transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut dilarang untuk dibocorkan atau diberitahukan kepada yang tidak berhak, kecuali terhadap aparat penegak hukum dalam pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang.
Di dalam Pasal 11 UU Nomor 8/2010 telah dinyatakan larangan bagi setiap orang atau pejabat PPATK untuk mendistribusikan informasi atau dokumen atau keterangan mengenai transaksi keuangan kepada publik dengan ancaman pidana penjara empat tahun.
Sebelum membahas sanksi atas pelanggaran ketentuan pasal-pasal di dalam UU TPPU perlu diketahui terlebih dulu tujuan pembentukan UU aquo, bahwa tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Bertolak dari pertimbangan diundangkannya UU aquo dihubungkan dengan geopolitik internasional dalam bidang ekonomi, keuangan dan perbankan jelas keterkaitannya dan bersifat strategis karena perkembangan pesat tindak pidana dalam ketiga bidang tersebut, termasuk tindak pidana pencucian uang sangat potensial menghambat terciptanya tata kelola keuangan nasional/internasional yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Juga sekaligus menambah kekuatan menghadapi kejahatan transnasional terorganisasi (trasnational organized crimes) yang bervariasi jenis tindak pidananya terkhusus tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang merupakan sumber kehidupan atau jantung kehidupan organisasi tersebut.
Kekuatan strategi pencegahan tindak pidana pencucian uang dalam praktik terbukti lebih dirasakan penting dan nyata daripada semata-mata strategi penindakan karena kecanggihan teknologi informasi elektronika abad 20 -21 dapat memperkuat transfer dana ilegal (illegal funds transfer) yang sangat cepat dalam hitungan detik dari satu negara ke negara lain (save haven country).
Kecepatan transfer dana tersebut telah menyulitkan penelusuran dan pembekuan harta kekayaan yang berasal dari 23 tindak pidana terkait pencucian uang.
Eksistensi perundang-undangan saja dalam hal tindak pidana pencucian uang tidak menjamin efektivitas dan efisiensi keberhasilan tindak pidana tersebut. Diperlukan sarana dan prasarana terknologi canggih yang dapat memperkuat ketahanan UU TPPU.
PPATK sebagai lembaga satu-satunya yang bertugas dan mempunyai kewenangan dalam hal penelusuran dana yang dicurigai saat ini seharusnya telah memiliki teknologi informasi yang canggih dengan Komisi Pemberanhtasan Korupsi (KPK) dan pihak perbankan sehingga seketika PPATK menerima STR dari pihak bank seketika itu juga KPK menerima laporan STR yang sama dan untuk selanjutnya KPK segera melakukan pemblokiran rekening yang dicurigai di bank pelapor.
Mekanisme pelaporan tersebut telah dilaksanakan pihak AUSTRACK, lembaga semacam PPATK di Australia. Dari aspek hukum dan perundangan dapat dikatakan bahwa, Indonesia telah memiliki perangkat undang-undang yang lengkap diperkuat dengan lembaga PPATK.
Selain ancaman pidana empat tahun bagi setiap orang, termasuk subjek korporasi. juga ancaman pidana paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi yang membocorkan informasi kepada pihak pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
Untuk mencegah kebocoran informasi STR dalam UU TPPU telah diatur ketentuan pidana terhadap orang perorangan maupun korporasi: tindak pokok sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 s/d Pasal 10; dan tindak pidana lain (tambahan) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 s/d Pasal 16. Pengaturan mengenai perihal STR termasuk dalam tindak pidana lain yang terkait TPPU. Sekalipun demikian, pengaturan dan sanksi terhadap pelanggaran STR merupakan ketentuan strategis sebagai entry-point dari TPPU selanjutnya.
Keberadaan UU TPPU dengan ketentuan Pasal 69 juncto Pasal 77 dan 78 menunjukkan bahwa subjek hukum dalam UU TPPU adalah harta kekayaan yang dicurigai berasal dari salah satu dari 23 tindak pidana (Pasal 2) yang merupakan subjek hukum pidana ketiga setelah orang perorangan dan korporasi.
Subjek utama harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana dalam proses beracara berdasarkan praduga bersalah (presumption of guilt) sedangkan pemilik asal harta kekayaan yang bersangkutan tetap digunakan prinsip praduga tak bersalah.
Praduga bersalah atas harta kekayaan didasarkan pada prinsip bahwa harta kekayaan sekecil apa pun yang berasal dari tindak pidana adalah bukan hak milik mutlak pemiliknya, kecuali jika terbukti pemilik harta kekayaan dapat membuktikan sebaliknya.
Lihat Juga: Kejagung Sita Uang Tunai Rp288 Miliar terkait Kasus TPPU Duta Palma, Begini Penampakannya
(bmm)