Kesepakatan Kerja Sama Saudi-Iran dan Jalan Moderatisme
loading...
A
A
A
Saiful Maarif
Pemerhati Timur Tengah dan Pegiat Birokrat Menulis
Pada Jumat (10/3), sejarah baru ditorehkan dalam kancah politik Timur Tengah. Hari itu, kesepakatan antara Saudi Arabia dan Iran diteken dengan perantara China.
Ditandatangani oleh Ali Shamkhani (Iran) dan Musaed bin Mohammed Al-Aiban (Saudi), kesepakatan tersebut berisi aktivasi ulang kerja sama keamanan, pakta perdagangan, dan investasi pada 2001. Kedua negara bersepakat untuk membuka kembali kedutaan masing-masing dalam dua bulan ke depan.
Kesepakatan Saudi dan Iran pantas dinilai sebagai tonggak penting dan arah baru tatanan politik Timur Tengah. Tidak sebagaimana kesepakatan Abraham Accord antara Israel dan beberapa negara Arab, kesepakatan Saudi dan Iran tidak disertai gembar gembor selayaknya cara Donald Trump ketika memimpin Amerika Serikat.
Kurang lebih sebagaimana peran AS, China dengan efektif dan tidak disangka-disangka mampu menjadi jembatan kesepakatan perdamaian dan kerja sama antara Saudi dan Iran.
Kesepakatan damai itu juga menandai warna baru dalam hubungan Saudi dan Iran selama ini. Kedua negara dikenal dengan konflik yang menahun dari tahun ke tahun dengan sentimen politik, ideologi, dan ekonomi yang demikian kuat.
Lalu apa sebenarnya motif yang mendasari Saudi dan Iran untuk membuka kerja sama dan perdamaian? Bagi Saudi, langkah perdamaian dengan Iran merupakan langkah restrospektif atas kesejarahan dan dinamika relasi hubungan dengan AS dan Iran.
Pada mulanya, ketiganya adalah sekutu yang saling menguntungkan dan "mengasihi". Hal demikian dengan apik digambarkan Andrew Scott Cooper dalamThe Oil Kings: How the US, Iran, and Saudi Arabia Changed The Balance of Power in The Middle East (2012).
Cooper menjelaskan, ketiga negara ini pada dasarnya memiliki kedekatan kepentingan yang dibalut dengan kemesraan politik untuk mengamankan bisnis minyak. Kedekatan mereka bahkan diyakini telah mengubah peta politik dan ekonomi Timur Tengah dengan efektif. Para "raja" ini bersekutu dalam kepentingan yang sama untuk mengamankan politik ekonomi mereka
Namun demikian, seiring perjalanan waktu dan perkembangan terkini, Saudi melihat kerugian besar dalam jejaring kerja sama tersebut. Hal demikian setidaknya terlihat dari wawancara Mohamad Bin Salman (MBS) denganThe Washington Postpada 2018, yang mengatakan bahwa Saudi didorong oleh Barat untuk menyebarkan paham Wahabisme yang kaku dan intoleran ke seluruh penjuru dunia, disertai dengan narasi kebencian pada syiah.
Pemerhati Timur Tengah dan Pegiat Birokrat Menulis
Pada Jumat (10/3), sejarah baru ditorehkan dalam kancah politik Timur Tengah. Hari itu, kesepakatan antara Saudi Arabia dan Iran diteken dengan perantara China.
Ditandatangani oleh Ali Shamkhani (Iran) dan Musaed bin Mohammed Al-Aiban (Saudi), kesepakatan tersebut berisi aktivasi ulang kerja sama keamanan, pakta perdagangan, dan investasi pada 2001. Kedua negara bersepakat untuk membuka kembali kedutaan masing-masing dalam dua bulan ke depan.
Kesepakatan Saudi dan Iran pantas dinilai sebagai tonggak penting dan arah baru tatanan politik Timur Tengah. Tidak sebagaimana kesepakatan Abraham Accord antara Israel dan beberapa negara Arab, kesepakatan Saudi dan Iran tidak disertai gembar gembor selayaknya cara Donald Trump ketika memimpin Amerika Serikat.
Kurang lebih sebagaimana peran AS, China dengan efektif dan tidak disangka-disangka mampu menjadi jembatan kesepakatan perdamaian dan kerja sama antara Saudi dan Iran.
Kesepakatan damai itu juga menandai warna baru dalam hubungan Saudi dan Iran selama ini. Kedua negara dikenal dengan konflik yang menahun dari tahun ke tahun dengan sentimen politik, ideologi, dan ekonomi yang demikian kuat.
Lalu apa sebenarnya motif yang mendasari Saudi dan Iran untuk membuka kerja sama dan perdamaian? Bagi Saudi, langkah perdamaian dengan Iran merupakan langkah restrospektif atas kesejarahan dan dinamika relasi hubungan dengan AS dan Iran.
Pada mulanya, ketiganya adalah sekutu yang saling menguntungkan dan "mengasihi". Hal demikian dengan apik digambarkan Andrew Scott Cooper dalamThe Oil Kings: How the US, Iran, and Saudi Arabia Changed The Balance of Power in The Middle East (2012).
Cooper menjelaskan, ketiga negara ini pada dasarnya memiliki kedekatan kepentingan yang dibalut dengan kemesraan politik untuk mengamankan bisnis minyak. Kedekatan mereka bahkan diyakini telah mengubah peta politik dan ekonomi Timur Tengah dengan efektif. Para "raja" ini bersekutu dalam kepentingan yang sama untuk mengamankan politik ekonomi mereka
Namun demikian, seiring perjalanan waktu dan perkembangan terkini, Saudi melihat kerugian besar dalam jejaring kerja sama tersebut. Hal demikian setidaknya terlihat dari wawancara Mohamad Bin Salman (MBS) denganThe Washington Postpada 2018, yang mengatakan bahwa Saudi didorong oleh Barat untuk menyebarkan paham Wahabisme yang kaku dan intoleran ke seluruh penjuru dunia, disertai dengan narasi kebencian pada syiah.