Kesepakatan Kerja Sama Saudi-Iran dan Jalan Moderatisme

Senin, 20 Maret 2023 - 13:41 WIB
loading...
Kesepakatan Kerja Sama Saudi-Iran dan Jalan Moderatisme
Saiful Maarif. FOTO/DOK SINDO
A A A
Saiful Maarif
Pemerhati Timur Tengah dan Pegiat Birokrat Menulis

Pada Jumat (10/3), sejarah baru ditorehkan dalam kancah politik Timur Tengah. Hari itu, kesepakatan antara Saudi Arabia dan Iran diteken dengan perantara China.

Ditandatangani oleh Ali Shamkhani (Iran) dan Musaed bin Mohammed Al-Aiban (Saudi), kesepakatan tersebut berisi aktivasi ulang kerja sama keamanan, pakta perdagangan, dan investasi pada 2001. Kedua negara bersepakat untuk membuka kembali kedutaan masing-masing dalam dua bulan ke depan.

Kesepakatan Saudi dan Iran pantas dinilai sebagai tonggak penting dan arah baru tatanan politik Timur Tengah. Tidak sebagaimana kesepakatan Abraham Accord antara Israel dan beberapa negara Arab, kesepakatan Saudi dan Iran tidak disertai gembar gembor selayaknya cara Donald Trump ketika memimpin Amerika Serikat.

Kurang lebih sebagaimana peran AS, China dengan efektif dan tidak disangka-disangka mampu menjadi jembatan kesepakatan perdamaian dan kerja sama antara Saudi dan Iran.

Kesepakatan damai itu juga menandai warna baru dalam hubungan Saudi dan Iran selama ini. Kedua negara dikenal dengan konflik yang menahun dari tahun ke tahun dengan sentimen politik, ideologi, dan ekonomi yang demikian kuat.

Lalu apa sebenarnya motif yang mendasari Saudi dan Iran untuk membuka kerja sama dan perdamaian? Bagi Saudi, langkah perdamaian dengan Iran merupakan langkah restrospektif atas kesejarahan dan dinamika relasi hubungan dengan AS dan Iran.

Pada mulanya, ketiganya adalah sekutu yang saling menguntungkan dan "mengasihi". Hal demikian dengan apik digambarkan Andrew Scott Cooper dalamThe Oil Kings: How the US, Iran, and Saudi Arabia Changed The Balance of Power in The Middle East (2012).

Cooper menjelaskan, ketiga negara ini pada dasarnya memiliki kedekatan kepentingan yang dibalut dengan kemesraan politik untuk mengamankan bisnis minyak. Kedekatan mereka bahkan diyakini telah mengubah peta politik dan ekonomi Timur Tengah dengan efektif. Para "raja" ini bersekutu dalam kepentingan yang sama untuk mengamankan politik ekonomi mereka

Namun demikian, seiring perjalanan waktu dan perkembangan terkini, Saudi melihat kerugian besar dalam jejaring kerja sama tersebut. Hal demikian setidaknya terlihat dari wawancara Mohamad Bin Salman (MBS) denganThe Washington Postpada 2018, yang mengatakan bahwa Saudi didorong oleh Barat untuk menyebarkan paham Wahabisme yang kaku dan intoleran ke seluruh penjuru dunia, disertai dengan narasi kebencian pada syiah.

Inilah awal mula "ternak" paham dan tindakan radikalisme berkembang ke berbagai penjuru dunia. Tumbuhnya radikalisme-ekstremisme dan solusi militeristik untuk mengatasinya menjadi bagian dari strategi kepentingan Barat untuk menutupi motif kepentingan ekonomi dan dominasi pengaruh kawasan. Perang Afghanistan dan Suriah adalah contoh nyata pola seperti ini.

Cooper juga menunjukkan, Saudi dan AS mengembangkan kerja sama yang ekstensif dalam bidang ekonomi dan militer yang memungkinkan Saudi untuk mengintervensi negara tetangga, Yaman misalnya. Namun demikian, perang Rusia-Ukraina dan Suriah bisa jadi dalam beberapa hal membuka mata Saudi bahwa keberpihakan Amerika sering berada dalam situasi yang rumit dan sulit diterima. Dalam eskalasi tersebut, AS disinyalir menjadikan diri sebagai pusat kebutuhan minyak dan gas negara-negara Eropa dengan memanfaatkan konflik di wilayah tersebut.

Pada saat yang sama, Iran terus berkembang menjadi negara yang demikian maju secara teknologi. Dalam teknologi perang, penggunaan drone kamikaze Shaheed 136 milik Iran dalam perang Ukraina setidaknya menunjukkan "kelas" Iran dalam kancah teknologi perang di tengah embargo AS dan Barat.

Kini, dengan peran dan kecerdikan China dalam menjembatani perdamaian dan kerja sama Saudi-Iran, China dapat menjadi poros baru di tengah dominasi pengaruh dunia.

Bagi Saudi, jalan moderatisme dengan "melunakkan" Wahabisme dengan berbagai pendekatan adalah solusi tepat. Uniknya, dalam relasi tersebut, China juga memiliki peran dan kerja sama signifikan dengan Israel yang setidaknya terlihat dalam konteks Jalur Sutera China dan gagasan lingkar kawasan ekonomi Israel (Mediterranian High Speed Railwaydan pipa gas/minyak).

Proxy Kepentingan dan Konflik
Selepas berdirinya Republik Islam Iran, Negeri Paman Sam berseberangan, bahkan bermusuhan, dengan Iran hingga kini, di antaranya karena penolakan Iran untuk menjadi boneka AS dan dukungan Iran terhadap Palestina.

Dalam peta hubungan politik seperti itu, harapan baik dapat diletakkan pada kesepakatan Saudi dan Iran yang baru saja dibangun. Bisa saja, Iran menjadi proxy kepentingan Rusia untuk diplomasi jalan keluar perang Rusia-Ukraina.

Dengan kesepakatan dan hubungan diplomatik bersama Saudi Arabia dan China, Iran dapat menjadi poros baru untuk mengakhiri perang Ukraina, tanpa harus membuat malu berlebihan pada Rusia, tapi juga bukan untuk mendongakkan kepala Ukraina, Barat, dan NATO. Pada saat yang bersamaan, Saudi dapat mewakili dan menjadiremotekepentingan Amerika dan Barat agar kerugian eskalatif perang Ukraina tidak berkepanjangan bagi AS dan Barat.

Yang menarik, dalam lingkaran perkembangan terbaru ini adalah Israel dan beberapa negara Timur Tengah yang terafiliasi dengan perjanjian damai bersama mereka dalam Abraham Accord (2021). Dalam beberapa tahun terakhir, Israel, dengan dukungan AS, berhasil meyakinkan beberapa negara Timur Tengah untuk membangun hubungan diplomatik dan berbagai kerja sama ekonomi.

Tercatat, Uni Emirat Arab (UEA), Maroko, Bahrain, dan Kuwait telah sedemikian rupa membangun hubungan politik dan ekonomi dengan Israel. Inilah langkah semacam "desa mengepung kota", untuk keyakinan bahwa tujuan utama Israelsesungguhnya adalah kesepakatan dengan Arab Saudi.

Dengan Saudi sebagai episentrum Timur Tengah dan Islam dunia karena keberadaan Haramain (dua kota suci Mekkah dan Madinah), Israel tahu belaka bahwa Arab Saudi punya kekuatan besar dan utama dalam percaturan politik Timur Tengah dan Islam di dunia.

Artinya, kemampuan membangun kerja sama dengan Arab Saudi adalah bentuk langsung dari kemungkinan untuk berhasil dalam membangun persepsi positif di mata negara-negara Islam. Namun demikian, dengan membangun kedekatan dengan Iran dan Rusia, Saudi menandai babak baru warna politik pivotal dan fleksibel.

Memang, masih terlalu dini melihat dan menilai efektivitas perjanjian damai dan kerja sama antara Saudi dan Iran. Namun demikian, keberanian Saudi-Iran dan kecerdikan China dalam membangun kesepakatan kerja sama dan hubungan diplomatik dapat menjadi poros perimbangan baru politik dunia.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1140 seconds (0.1#10.140)