Ungkap Pemodal di Balik Investasi Ilegal
loading...
A
A
A
UPAYA memberantas praktik investasi ilegal sepertinya masih menemuai jalan terjal. Beragam cara dilakukan para pemangku kepentingan untuk mencegah kehadiran investasi ilegal, namun belum juga mampu meredamnya.
Habis satu, tumbuh seribu. Demikian kiasan yang menggambarkan keberadaan investasi ilegal semisal robot trading atau sejenisnya. Satu entitas berhasil diproses hukum hingga vonis, muncul entitas lain dengan praktik yang serupa. Demikian seterusnya, sehingga ada kesan penegakan hukum yang kurang "galak" sehingga pelaku berani berbuat serupa dengan sasaran kelompok masyarakat lain.
Baca Juga: koran-sindo.com
Belum hilang ingatan kita bagaimana kasus penipuan berkedok investasi dilakukan oleh Indra Kenz dan Doni Salmanan yang menghebohkan sepanjang tahun lalu, kini muncul kasus serupa di Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur itu, muncul nama Wahyu Kenzo yang baru-baru ini ditangkap karena diduga melakukan penipuan melalui investasi robot trading.
Doni Salmanan dan Indra Kenz kini sudah berstatus terpidana karena dinyatakan bersalah dalam kasus penipuan binary option. Keduanya masing masing divonis delapan dan sepuluh tahun penjara. Adapun Wahyu Kenzo, kasusnya baru saja diungkap meski telah melakukan praktik robot trading sejak 2021 silam.
Dari ketiga kasus yang pelakunya anak-anak muda ini, sebenarnya bisa ditarik benang merah mengapa praktik seperti ini masih saja terjadi. Pertama, kehadiran teknologi yang memungkinkan praktik seperti ini berjalan lancar.
Dengan teknologi, praktik-praktik ini semakin mudah dilakukan dan sasarannya tidak terbatas pada satu wilayah tertentu. Sehingga, pelaku akan dengan gampang menyasar calon korbannya hanya dengan iming-iming investasi menguntungkan.
Kedua, ada keinginan dari investor yang "ngebet" punya keuntungan berlipat dengan investasi kekinian. Niatan berinvestasi sebenarnya terlihat bagus karena membuktikan adanya kesadaran untuk menyisihkan dana dengan harapan bisa berkembang di masa mendatang. Sayangnya, mereka yang terjebak investasi dan menawarkan gain tinggi ini kurang menyadari bahwa ada risiko di baliknya.
Ketiga, adalah kurangnya informasi atau literasi yang baik dari calon investor terhadap jenis investasi yang ditawarkan. Ada kesan terburu-buru sehingga tidak menelisik lebih jauh apa dan bagaimana konsekuansi dari sebuah investasi yang akan diambil.
Perihal literasi ini, kembali lagi pada kesadaran masyarakat melihat dan mencermati jenis investasi yang ada. Maka, ke depan agar tidak ada lagi
korban yang dirugikan akibat investasi ilegal, ada baiknya edukasi yang disampaikan oleh otoritas terkait kepada masyarakat dilakukan lebih intens dengan mencari metode yang lebih tepat untuk semua kalangan.
Lalu, mengapa pelaku investasi ilegal ini selalu saja muncul meski sudah ada yang diproses hukum? Untuk menjawab ini tentu perlu kajian lebih mendalam soal bagaimana modus penipuan berkedok investasi ini bekerja. Yang juga perlu diungkap adalah, bagaimana si pelaku ini awalnya memiliki modal demi menarik calon investor lain?
Di sinilah perlunya investigasi dan melihat latar belakang pelaku utamanya. Karena bisa saja, mereka-mereka yang ditangkap karena praktik investasi ilegal ini sejatinya hanyalah operator. Dalam arti ada pihak lain yang menopang permodalan dan segala keperluan atau infrastruktur yang menjalankan praktik tersebut. Itu yang belum terungkap.
Hipotesa tersebut penting dikemukakan karena bukan tidak mungkin praktik investasi ilegal, termasuk pinjaman online (pinjol) ilegal yang marak dalam beberapa tahun terakhir ada sangkut pautnya dengan praktik pencucian uang. Ini bisa saja terjadi jika melihat terus bermunculannya praktik ilegal tersebut meski di satu sisi pihak otoritas berwenang sudah membawanya ke jalur hukum.
Coba saja lihat data Satgas Waspada Investasi yang mencatat bahwa ada ribuan platform yang diberhentikan operasionalnya sejak 2018 hingga 2022 lalu. Menurut data satgas, pada 2018 terdapat 404 platform yang ditutup, kemudian pada 2019 sebanyak 1.493 unit, 2020 (1.026) , 2021 (811) dan 2022 (698).
Data di atas tentu saja cukup mengagetkan karena kendati ada ribuan platform yang ditutup, tetapi masih ada saja pelaku yang menawarkan pinjaman online melalui pesan singkat, maupun telepon. Modusnya, sama. Menawarkan pinjaman dengan iming-iming cepat cair dan prosedur singkat.
Dari sini saja bisa terlihat bahwa pelaku kejahatan online di bidang keuangan ini, akan terus berevolusi mencari kelemahan konsumen dan mencari celah aturan yang ada demi mengeruk keuntungan pribadi.
Habis satu, tumbuh seribu. Demikian kiasan yang menggambarkan keberadaan investasi ilegal semisal robot trading atau sejenisnya. Satu entitas berhasil diproses hukum hingga vonis, muncul entitas lain dengan praktik yang serupa. Demikian seterusnya, sehingga ada kesan penegakan hukum yang kurang "galak" sehingga pelaku berani berbuat serupa dengan sasaran kelompok masyarakat lain.
Baca Juga: koran-sindo.com
Belum hilang ingatan kita bagaimana kasus penipuan berkedok investasi dilakukan oleh Indra Kenz dan Doni Salmanan yang menghebohkan sepanjang tahun lalu, kini muncul kasus serupa di Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur itu, muncul nama Wahyu Kenzo yang baru-baru ini ditangkap karena diduga melakukan penipuan melalui investasi robot trading.
Doni Salmanan dan Indra Kenz kini sudah berstatus terpidana karena dinyatakan bersalah dalam kasus penipuan binary option. Keduanya masing masing divonis delapan dan sepuluh tahun penjara. Adapun Wahyu Kenzo, kasusnya baru saja diungkap meski telah melakukan praktik robot trading sejak 2021 silam.
Dari ketiga kasus yang pelakunya anak-anak muda ini, sebenarnya bisa ditarik benang merah mengapa praktik seperti ini masih saja terjadi. Pertama, kehadiran teknologi yang memungkinkan praktik seperti ini berjalan lancar.
Dengan teknologi, praktik-praktik ini semakin mudah dilakukan dan sasarannya tidak terbatas pada satu wilayah tertentu. Sehingga, pelaku akan dengan gampang menyasar calon korbannya hanya dengan iming-iming investasi menguntungkan.
Kedua, ada keinginan dari investor yang "ngebet" punya keuntungan berlipat dengan investasi kekinian. Niatan berinvestasi sebenarnya terlihat bagus karena membuktikan adanya kesadaran untuk menyisihkan dana dengan harapan bisa berkembang di masa mendatang. Sayangnya, mereka yang terjebak investasi dan menawarkan gain tinggi ini kurang menyadari bahwa ada risiko di baliknya.
Ketiga, adalah kurangnya informasi atau literasi yang baik dari calon investor terhadap jenis investasi yang ditawarkan. Ada kesan terburu-buru sehingga tidak menelisik lebih jauh apa dan bagaimana konsekuansi dari sebuah investasi yang akan diambil.
Perihal literasi ini, kembali lagi pada kesadaran masyarakat melihat dan mencermati jenis investasi yang ada. Maka, ke depan agar tidak ada lagi
korban yang dirugikan akibat investasi ilegal, ada baiknya edukasi yang disampaikan oleh otoritas terkait kepada masyarakat dilakukan lebih intens dengan mencari metode yang lebih tepat untuk semua kalangan.
Lalu, mengapa pelaku investasi ilegal ini selalu saja muncul meski sudah ada yang diproses hukum? Untuk menjawab ini tentu perlu kajian lebih mendalam soal bagaimana modus penipuan berkedok investasi ini bekerja. Yang juga perlu diungkap adalah, bagaimana si pelaku ini awalnya memiliki modal demi menarik calon investor lain?
Di sinilah perlunya investigasi dan melihat latar belakang pelaku utamanya. Karena bisa saja, mereka-mereka yang ditangkap karena praktik investasi ilegal ini sejatinya hanyalah operator. Dalam arti ada pihak lain yang menopang permodalan dan segala keperluan atau infrastruktur yang menjalankan praktik tersebut. Itu yang belum terungkap.
Hipotesa tersebut penting dikemukakan karena bukan tidak mungkin praktik investasi ilegal, termasuk pinjaman online (pinjol) ilegal yang marak dalam beberapa tahun terakhir ada sangkut pautnya dengan praktik pencucian uang. Ini bisa saja terjadi jika melihat terus bermunculannya praktik ilegal tersebut meski di satu sisi pihak otoritas berwenang sudah membawanya ke jalur hukum.
Coba saja lihat data Satgas Waspada Investasi yang mencatat bahwa ada ribuan platform yang diberhentikan operasionalnya sejak 2018 hingga 2022 lalu. Menurut data satgas, pada 2018 terdapat 404 platform yang ditutup, kemudian pada 2019 sebanyak 1.493 unit, 2020 (1.026) , 2021 (811) dan 2022 (698).
Data di atas tentu saja cukup mengagetkan karena kendati ada ribuan platform yang ditutup, tetapi masih ada saja pelaku yang menawarkan pinjaman online melalui pesan singkat, maupun telepon. Modusnya, sama. Menawarkan pinjaman dengan iming-iming cepat cair dan prosedur singkat.
Dari sini saja bisa terlihat bahwa pelaku kejahatan online di bidang keuangan ini, akan terus berevolusi mencari kelemahan konsumen dan mencari celah aturan yang ada demi mengeruk keuntungan pribadi.
(bmm)