Melipatgandakan Konsolidasi Kebangsaan di Tahun Politik

Jum'at, 10 Maret 2023 - 07:04 WIB
loading...
A A A
Dalam babakan sejarah perjalanan bangsa Indonesia, politik identitas meresonansikan nada persatuan untuk melawan kolonialisme. Kita melihat bagaimana politik identitas berlandaskan pada nasionalisme dan agama memainkan peran yang sangat penting dalam merebut dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Bahkan, perjuangan merebut dan mengisi kemerdekaan serta merawat keutuhan bangsa dalam napas kebinekaan Indonesia diperkuat dengan dalil-dalil agama sehingga menjaga Indonesia bukan sekadar keharusan politik sebagai sebuah bangsa, melainkan kewajiban agama yang di dalamnya mengandung nilai-nilai eskatologis.

Karena alasan tersebut, maka biang masalahnya bukan pada politik identitas. Lalu di mana letak permasalahannya? Menurut Rumadi Ahmad (2022), hanya politik identitas dengan kebencian terhadap kelompok yang lain, yang dapat membawa demokrasi Indonesia ke dalam kubangan polarisasi politik dan keterbelahan masyarakat yang tidak berkesudahan. Kita perlu menggarisbawahi predikat “kebencian” tersebut.

Politik identitas dengan kebencian digaungkan dengan narasi konflik biner, antara kita versus mereka, yang menurut Eve Warbuton (2021) memperlakukan lawan politik sebagai musuh, “pihak luar” yang tidak diakui, sekaligus menjadi ancaman eksistensial. Akibatnya, pemilu menjadi arena pertarungan politik untuk saling melenyapkan lawan politik, bukan sekadar saling menegasikan lawan politik.

Politik identitas dengan kebencian tersebut menjadi momok yang menakutkan, yang menyebabkan keterbelahan masyarakat, sekaligus mengancam keutuhan dan kebinekaan bangsa ini. Apalagi, narasi kebencian tersebut diamplifikasi melalui ruang publik baru yang tingkat penyebarannya sangatlah cepat, yakni platform media sosial seperti Twitter, Facebook, TikTok, YouTube dan sebagainya.

Di media sosial, kendalinya terletak pada masing-masing individu pengguna sehingga narasi-narasi yang berkembang di dalamnya tidak melalui kurasi dan penyuntingan terlebih dahulu, sebagaimana lumrah dilakukan di media massa seperti televisi, radio, majalah, surat kabar dan sebagainya.

Satu-satunya kurasi di media sosial adalah kurasi algoritma, yang mengurung pengguna media sosial ke dalam echo chamber (ruang gema), di mana seseorang “dipaksa” untuk hanya mengonsumsi informasi yang searah yang sesuai dengan pendapat dan keyakinannya. Dalam arti lain, kurasi algoritma media sosial membuat seseorang--meskipun tampak berdiskusi dengan orang lain--bercakap-cakap dengan pikiran dan keyakinannya atau pandangan orang lain yang serupa dengan pikiran dan keyakinannya.

Sehingga, yang terjadi sebenarnya di media sosial adalah monolog, bukan dialog. Akibatnya, menurut Agus Sudibyo (2022), dengan karakter media sosial yang demikian, sangat sulit menjembatani segregasi antarkelompok, bahkan justru memperdalam segregasi tersebut.

Kondisi ini ditunjang oleh era yang saat ini kita alami, era pascakebenaran (post-truth), suatu era ketika emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh membentuk opini publik ketimbang fakta-fakta objektif. Politik identitas dengan kebencian mempertebal emosi dan keyakinan pribadi tersebut; suatu perpaduan yang saling melengkapi.

Fakta-fakta objektif akan diabaikan, bahkan harus diubah, apabila bertentangan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Dengan kata lain, di era pascakebenaran, fakta objektif akan diterima sebagai fakta objektif apabila mengonfirmasi emosi dan keyakinan pribadi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.1021 seconds (0.1#10.140)