Masalah Hukum Peradilan Sambo dalam Perspektif UU KUHP
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
SEJARAH proses peradilan pidana di pengujung tahun 2023 memunculkan peristiwa pidana bak kisah film serial. Mulai dari sidang perkara Ferdy Sambo yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap korban Brigadir Josua, seorang anggota polisi, hanya karena informasi bahwa istrinya, Putri Candrawathi, telah dilecehkan oleh korban; sekalipun di persidangan tidak terbukti secara hukum.
Perhatian masyarakat yang diriuhkan oleh media sosial dan berita di televisi nasional telah mengundang perhatian hingga tingkat internasional. Salah satu penyebabnya karena terdakwa utama, Ferdy Sambo juga seorang atasan korban berpangkat jenderal bintang dua. Dia merupakan menjadi aktor intelektual dari pembunuhan terhadap korban.
Baca Juga: koran-sindo.com
Sambo telah gagal melaksanakan skenario pembunuhan yang dilakukannya hanya karena seorang ajudannya, Richard Eliezer (Bharada E) telah membuka secara jujur dan terus terang peristiwa pembunuhan sebenarnya. Bharada E bersaksi di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Putusan hakim majelis peradilan atas perkara a quo telah menyudahi kisah serial pembunuhan tersebut yaitu terdakwa utama, Ferdy Sambo, dijatuhi hukuman mati. Ketiga terdakwa ajudan Sambo dan isteri Sambo telah dijatuhi hukuman bervariasi antara 12 (dua belas) tahun dan 20 tahun. Terdakwa Eliezer, dijatuhi hukuman jauh di bawah hukuman ketiga rekannya, yaitu 1 (satu) tahun enam bulan sekalipun semula dituntut 12 (duabelas) tahun.
Ringannya hukuman bagi terdakwa Eliezer yang telah melakukan penembakan terhadap korban atas perintah atasannya, Ferdy Sambo, disebabkan terdakwa telah ditetapkan oleh LPSK sebagai terdakwa pembuka kasus atau lazim dikenal sebagai justice collaborator (JC); namun belum diatur dalam UU Peradilan Pidana (KUHAP).
Reaksi masyarakat pro dan kontra atas putusan majelis hakim. Namun lebih banyak yang pro ketimbang kontra. Peradilan kasus Sambo disertai keikutsertaan LPSK merupakan hal pertama dan terbaru dalam sistem peradilan pidana. Ini perlu diikuti perubahan KUHAP karena itu merupakan preseden baru yang mencerminkan bahwa sudah saatnya dilakukan evaluasi dan kajian mendalam atas tahapan proses pemeriksaan dalam sistem peradilan pidana.
Kaitan erat yurisprudensi perkara Sambos cs dengan perubahan baru UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP disebabkan beberapa hal, antara lain: pertama, pertimbangan majelis hakim dalam putusan perkara Sambo telah mengakui keberadaan status hukum JC pada terdakwa Eliezer. Ini telah sejalan dengan tujuan dan karakter filosofi keadilan restoratif daripada keadilan restributif.
Kedua, faktor pemaafan oleh keluarga korban terhadap terdakwa Eliezer telah termasuk salah satu pertimbangan majelis hakim. Ketiga, asas unus testis nullus terstis telah diabaikan majelis hakim di mana hanya keterangan seorang terdakwa, Eliezer, diakui sebagai alat bukti yang menentukan kebenaran materil peristiwa pembunuhan korban Josua yang tidak bersesuaian dengan keterangan keempat terdakwa lain.
Keempat, pengakuan status hukum seorang JC dalam pertimbangan putusan majelis hakim, membuktikan bahwa di satu sisi keterangan terdakwa sebagai JC merupakan faktor strategis yang menentukan masa depan peradilan pidana, dan di sisi lain, keterangan seorang JC menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana masih membuka dan terbuka terhadap hal-hal baru yang bermanfaat atau berkontribusi terhadap upaya menemukan kebenaran materil suatu perkara yang merupakan tujuan khusus hukum pidana.
Kelima, proses peradilan perkara Sambo yang mengakui keterangan seorang JC mencerminkan bahwa proses peradilan perkara pidana selama ini belum diharapkan dapat membuka seterang-terangnya kebenaran materil suatu perkara pidana. Dan, dengan pengakuan seorang JC membuktikan bahwa masih ada harapan baru dalam sistem peradilan pidana yakni bahwa kepastian hukum yang adil sesuai amanat Pasal 28 D ayat (1) UUD45 dapat diwujudkan di masa yang akan datang.
Mengikuti jalannya sidang peradilan perkara Sambo selama kurang lebih 3 (tiga) bulan yang juga secara intens diikuti masyarakat umum serta diawasi ketat oleh Menkopolhukan, tampak kehausan masyarakat akan munculnya “ratu adil” yang memenuhi rasa keadilan, lebih pada keadilan sosial (social justice) daripada keadilan hukum (legal justice).
Kiranya sudah saatnya dikatakan bahwa peradilan Sambo merupakan cermin dari nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat dan selaras dengan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pengganti KUHP tahun 1946. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), lazim dikenal akademisi hukum sebagai asas legalitas; tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Pengertian hukum yang hidup dalam masyarakat dimaknai luas yaitu hukum yang hidup sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Ketentuan Pasal 1 KUHP 2023 mengakui baik asas legalitas formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP 1946, maupun asas legalitas materil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) KUHP tahun 2023.
Dua pengakuan secara normatif mengenai pernyataan tertulis dalam UU KUHP 1946 dan dalam UU Nomor 1 Tahun 2023, yang memberikan kedudukan hukum yang sama dengan KUHP 1946 menyimpulkan bahwa di masa yang akan datang sistem peradilan pidana dapat menjangkau perbuatan tercela baik yang diatur dalam UU (hukum tertulis) maupun yang berlaku dalam masyarakat adat setempat. Dalam arti bahwa pascaberlakuya UU KUHP Tahun 2023, tidak ada celah sekecil apapun untuk perbuatan tercela yang terjadi dalam masyarakat yang tidak dapat dipidana.
Di sisi lain, tidak ada satu pun perbuatan tercela harus dan serta merta dapat dipidana jika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan karena di dalam Pasal 53 53 ayat (2) dinyatakan bahwa, iika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
SEJARAH proses peradilan pidana di pengujung tahun 2023 memunculkan peristiwa pidana bak kisah film serial. Mulai dari sidang perkara Ferdy Sambo yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap korban Brigadir Josua, seorang anggota polisi, hanya karena informasi bahwa istrinya, Putri Candrawathi, telah dilecehkan oleh korban; sekalipun di persidangan tidak terbukti secara hukum.
Perhatian masyarakat yang diriuhkan oleh media sosial dan berita di televisi nasional telah mengundang perhatian hingga tingkat internasional. Salah satu penyebabnya karena terdakwa utama, Ferdy Sambo juga seorang atasan korban berpangkat jenderal bintang dua. Dia merupakan menjadi aktor intelektual dari pembunuhan terhadap korban.
Baca Juga: koran-sindo.com
Sambo telah gagal melaksanakan skenario pembunuhan yang dilakukannya hanya karena seorang ajudannya, Richard Eliezer (Bharada E) telah membuka secara jujur dan terus terang peristiwa pembunuhan sebenarnya. Bharada E bersaksi di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Putusan hakim majelis peradilan atas perkara a quo telah menyudahi kisah serial pembunuhan tersebut yaitu terdakwa utama, Ferdy Sambo, dijatuhi hukuman mati. Ketiga terdakwa ajudan Sambo dan isteri Sambo telah dijatuhi hukuman bervariasi antara 12 (dua belas) tahun dan 20 tahun. Terdakwa Eliezer, dijatuhi hukuman jauh di bawah hukuman ketiga rekannya, yaitu 1 (satu) tahun enam bulan sekalipun semula dituntut 12 (duabelas) tahun.
Ringannya hukuman bagi terdakwa Eliezer yang telah melakukan penembakan terhadap korban atas perintah atasannya, Ferdy Sambo, disebabkan terdakwa telah ditetapkan oleh LPSK sebagai terdakwa pembuka kasus atau lazim dikenal sebagai justice collaborator (JC); namun belum diatur dalam UU Peradilan Pidana (KUHAP).
Reaksi masyarakat pro dan kontra atas putusan majelis hakim. Namun lebih banyak yang pro ketimbang kontra. Peradilan kasus Sambo disertai keikutsertaan LPSK merupakan hal pertama dan terbaru dalam sistem peradilan pidana. Ini perlu diikuti perubahan KUHAP karena itu merupakan preseden baru yang mencerminkan bahwa sudah saatnya dilakukan evaluasi dan kajian mendalam atas tahapan proses pemeriksaan dalam sistem peradilan pidana.
Kaitan erat yurisprudensi perkara Sambos cs dengan perubahan baru UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP disebabkan beberapa hal, antara lain: pertama, pertimbangan majelis hakim dalam putusan perkara Sambo telah mengakui keberadaan status hukum JC pada terdakwa Eliezer. Ini telah sejalan dengan tujuan dan karakter filosofi keadilan restoratif daripada keadilan restributif.
Kedua, faktor pemaafan oleh keluarga korban terhadap terdakwa Eliezer telah termasuk salah satu pertimbangan majelis hakim. Ketiga, asas unus testis nullus terstis telah diabaikan majelis hakim di mana hanya keterangan seorang terdakwa, Eliezer, diakui sebagai alat bukti yang menentukan kebenaran materil peristiwa pembunuhan korban Josua yang tidak bersesuaian dengan keterangan keempat terdakwa lain.
Keempat, pengakuan status hukum seorang JC dalam pertimbangan putusan majelis hakim, membuktikan bahwa di satu sisi keterangan terdakwa sebagai JC merupakan faktor strategis yang menentukan masa depan peradilan pidana, dan di sisi lain, keterangan seorang JC menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana masih membuka dan terbuka terhadap hal-hal baru yang bermanfaat atau berkontribusi terhadap upaya menemukan kebenaran materil suatu perkara yang merupakan tujuan khusus hukum pidana.
Kelima, proses peradilan perkara Sambo yang mengakui keterangan seorang JC mencerminkan bahwa proses peradilan perkara pidana selama ini belum diharapkan dapat membuka seterang-terangnya kebenaran materil suatu perkara pidana. Dan, dengan pengakuan seorang JC membuktikan bahwa masih ada harapan baru dalam sistem peradilan pidana yakni bahwa kepastian hukum yang adil sesuai amanat Pasal 28 D ayat (1) UUD45 dapat diwujudkan di masa yang akan datang.
Mengikuti jalannya sidang peradilan perkara Sambo selama kurang lebih 3 (tiga) bulan yang juga secara intens diikuti masyarakat umum serta diawasi ketat oleh Menkopolhukan, tampak kehausan masyarakat akan munculnya “ratu adil” yang memenuhi rasa keadilan, lebih pada keadilan sosial (social justice) daripada keadilan hukum (legal justice).
Kiranya sudah saatnya dikatakan bahwa peradilan Sambo merupakan cermin dari nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat dan selaras dengan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pengganti KUHP tahun 1946. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), lazim dikenal akademisi hukum sebagai asas legalitas; tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Pengertian hukum yang hidup dalam masyarakat dimaknai luas yaitu hukum yang hidup sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Ketentuan Pasal 1 KUHP 2023 mengakui baik asas legalitas formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP 1946, maupun asas legalitas materil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) KUHP tahun 2023.
Dua pengakuan secara normatif mengenai pernyataan tertulis dalam UU KUHP 1946 dan dalam UU Nomor 1 Tahun 2023, yang memberikan kedudukan hukum yang sama dengan KUHP 1946 menyimpulkan bahwa di masa yang akan datang sistem peradilan pidana dapat menjangkau perbuatan tercela baik yang diatur dalam UU (hukum tertulis) maupun yang berlaku dalam masyarakat adat setempat. Dalam arti bahwa pascaberlakuya UU KUHP Tahun 2023, tidak ada celah sekecil apapun untuk perbuatan tercela yang terjadi dalam masyarakat yang tidak dapat dipidana.
Di sisi lain, tidak ada satu pun perbuatan tercela harus dan serta merta dapat dipidana jika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan karena di dalam Pasal 53 53 ayat (2) dinyatakan bahwa, iika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
(bmm)