Skalabilitas Rupiah Digital

Sabtu, 25 Februari 2023 - 17:04 WIB
loading...
Skalabilitas Rupiah Digital
Adhitya Wardhono. FOTO/DOK SINDO
A A A
Adhitya Wardhono
Dosen dan peneliti ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Jember.
Koordinator Kelompok RisetBehavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (KeRis Benefitly)- Universitas Jember.

Akhirnya Bank Indonesia (BI) merampungkan Proyek Garuda yang merupakan inisiatif eksplorasi desain Central Bank Digital Currency (CBDC) Indonesia atau Rupiah Digital dalam menerbitkanWhite Paperpada 30 November 2022 lalu.

White paperrupiah digital merupakan sumbangsih BI kepada negara dalam perjuangan menjaga kedaulatan rupiah di era digital.White paperini menjelaskan konfigurasi desain rupiah digital yang terintegrasi dari ujung ke ujung, fitur desain rupiah digital yang memungkinkan pengembangan model bisnis baru, arsitektur teknologi rupiah digital, serta dukungan perangkat regulasi dan kebijakan terhadap implementasi desain rupiah digital.

Ini sungguh merupakan keseriusan BI dalam melihat paradigma CBDC yang ada. Data terbaru menyebutkan bahwa kurang lebih 87 negara dari 195 negara di dunia telah meninjau dengan seksama dinamika CBDC ini. Setiap bank sentral sedang melewati proses penelitian mendalam dengan tingkat kedalaman dan variasi berbeda, seperti ditetapkan, diujicobakan, pengembangan, penelitian, aktif, pembatalan dan lain-lain.

Tentu, ini bukanlah misi mudah dan sederhana. Terdapat beberapa persoalan yang sejatinya patut dipikirkan lagi secara lebih komprehensif. Salah satunya adalah permasalahan fundamental terkaitskalabilitas.

Sederhananya, skalabilitas bisa diartikan sebagai kemampuan CBDC untuk memenuhi permintaan yang terjadi secara simultan dalam jangka waktu singkat secara masif. Bila rupiah digital tidak memiliki skalabilitas yang mumpuni, maka akan berdampak pada efisiensi sistem pembayaran. Ujungnya, bisa menyerang kredibilitas BI dan kepercayaan akan pengadopsian rupiah digital itu sendiri.

Galibnya, masalah skalabilitas ini berasal dari keterbatasan dan kekuatan teknologi digital yang saling terhubung dalam suatu jaringan, atau sebut saja dengannodeserta pilihan teknologi yang digunakan,permissioned DLTataupermissionless DLT.

Dari sisi peningkatannode,ada beberapa strategi yang dapat dilakukan. Pertama, meningkatkan kuantitasnodeke dalam jaringan CBDC atauhorizontal scaling. Bila yang dipilihhorizontal scaling, keuntungannya adalah lebih mudah, resiliensi tinggi, dandowntimeyang lebih singkat. Namun, ini akan membuat pengoperasian dan prosesmaintenancejadi lebih kompleks serta biayanya lebih mahal.

Kedua, meningkatkan kekuatannodedalam memproses CBDC atauvertical scaling. Di arah yang berbeda,vertical scalinglebih hemat dan prosesmaintenancelebih mudah. Sayangnya, ada risiko waktudowntimeyang lebih lama danupgradeyang terbatas.

Dari sisi teknologi yang digunakan, umumnya yang disarankan adalahpermissioned DLT. Ini disebabkan karenapermission DLTsifatnya lebih terbatas dan lebih cepat. Sayangnya, ini tidak datang tanpa biaya.

Bila BI berfokus pada peningkatan skalabilitas melalui adopsipermission DLT, maka pilihan pelik yang harus dikorbankan adalah berkurangnya desentralisasi dan transparansi. Tapi, ini pilihan yang masuk akal karena CBDC seyogyanya memang harus divalidasi dan dikontrol oleh bank sentral serta beberapa otoritas yang berwenang saja.

Selain itu, adopsipermissionless DLT juga kurang implementatif dalam beberapa kebijakan atau regulasi karena sifat sejatinya yang terdesentralisasi.

Namun,permissioned DLT ini ditakutkan masih belum memadai dan mampu mewadahi transaksi yang memiliki volume sangat tinggi. Alhasil, masih ada perdebatan antara menggunakan sistem berbasis operasi DLT-Blockchain atau Non-DLT yang tersentralisasi.

Sejauh ini, belum ada risalah penelitian yang membuktikan bahwa DLT-Blockchain efektif mengatasi permasalahan skalabilitas maupun memberikan jaminan terhadap keamanan CBDC.

Mengacu pada data CBDC Tracker dari Atlantic Council per Februari 2023, terhitung ada 11 negara yang sudah meluncurkan CBDC, yaitu Bahama, Anguilla, Jamaika, Antigua dan Barbuda, Saint Kitt dan Nevis, Montserrat, Dominika, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Grenada, dan Nigeria. Hampir semuanya menggunakan teknologi DLT-Blockchain kecuali Jamaika dan Bahama yang menggunakan keduanya.

Secara teori, DLT-Blockchain memberikan beberapa keuntungan seperti tingkat resiliensi yang lebih tinggi akibat rendahnya risikosingle point of failure. Melalui sistem DLT-Blockchain, CBDC dapat terus beroperasi bahkan tanpa bank sentral sendiri. Akan tetapi, ini berpotensi memicu konflik bilamana tidak tercapai konsesus dalam persetujuan suatu transaksi.

Lebih dari itu, teknologi DLT-Blockchain membutuhkan konsumsi energi dan proses yang besar. Di lain sisi, Non-DLT ini lebih efisien, gesit, hemat energi, dan mengurangi potensi terjadinyadouble spendingatau sederhananya transaksi dengan token CBDC yang sama secara berulang. Hanya saja, risikosingle point of failuremenjadi lebih besar karena hanya bergantung pada satu pihak perantara saja.

Akhir kata, semuanya kembali ke kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai oleh BI nantinya. Pastinya, bila BI ingin mencapai skalabilitas yang optimal dengan tingkat keamanan ketat, maka mau tidak mau desentralisasi harus dikurangi.

Selain itu BI harus menegaskan bahwa proses penerbitan rupiah digital masih berliku, meski masa depan rupiah digital adalah sebuah keniscayaan. Sehingga harus dipastikan pembangunan ekosistem rupiah digital direncanakan dengan baik sehingga bisa diyakinkan kepada masyarakat bahwa rupiah adalah satu-satunya mata uang yang sah di NKRI.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2139 seconds (0.1#10.140)