Mendeteksi Sinyal Pemulihan Ekonomi
loading...
A
A
A
Kedalaman interkoneksi ekonomi global ini tentu sedikit banyak berpengaruh pada performa ekonomi ke depan.
Mengelola Suku Bunga Acuan
Langkah BI dalam menaikkan suku bunga pada Januari merupakan pilihan masuk akal. Pasalnya, kenaikan suku bunga yang dilakukan The Fed, walau tidak seagresif sebelumnya, sedikit banyak tentu memberikan tekanan pada nilai tukar yang baru saja stabil.
Selain itu, ada pula gonjang-ganjing resesi yang dikhawatirkan memicu capital outflow, sehingga ada benarnya suku bunga dinaikkan demi menjaga pesona rupiah dan imbal hasil yang menarik.
Menjelang akhir Januari lalu, rupiah berhasil mencetak angka Rp14.965 per dolar AS di pasar spot. Kendati inflasi di Amerika Serikat yang terus melandai, The Fed masih mengerek suku bunganya sebesar 25 bps di Februari. Alhasil, rupiah sempat tertekan kembali pada 7 Februari sebesar Rp 15.148 per dolar AS.
Pada 15 Desember 2022, tercatat capital outflow sebesar Rp132,69 triliun. Namun, pasar SBN masih kompetitif tercermin dari tingkat imbal hasil SBN tenor 10 tahun sebesar 6,86%. Angka ini masih lebih besar dibandingkan yield obligasi Amerika Serikat dengan tenor 10 tahun yang hanya 4,59%.
Dengan demikian, spread yang diberikan dari obligasi Indonesia masih menggiurkan dan menarik di mata investor. Sinyalemen ini membuat tren pertumbuhan ekonomi masih berangsur naik, tentu juga memberi rasa aman bagi Bank Indonesia (BI) untuk kembali mengerek suku bunga.
Menekan Inflasi
Dalam koridor kebijakan suku bunga ke depan BI sebaiknya lebih hati-hati. Hal ini disebabkan karena kondisi ekonomi global yang masih penuh dengan teka-teki dan tren inflasi domestik yang terus membaik.
Dilansir dari data BPS terbaru, inflasi diJanuari 2023 tercatat 5,28% (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan Desember 2022 yakni 5,51% (yoy). Tren ini terus mengalami penurunan secara perlahan, terutama pada kelompok inflasi administred price yang turun menjadi 12,28% (yoy).
Secara teoritis, inflasi yang terjadi selama ini lebih banyak disumbang dari sisi penawaran, sehingga suku bunga sebetulnya tidak terlalu banyak memberikan kontribusi pada penurunan inflasi.
Mengacu koridor berpikir ekonomi Post Keynesian, bank sentral pada galibnya memiliki pengendalian yang terbatas dalam perekonomian. Lantaran, proses penciptaan uang dipercayai sebagai sesuatu yang endogen, sehingga permintaan kredit lebih banyak ditentukan oleh intermediasi perbankan.
Mengelola Suku Bunga Acuan
Langkah BI dalam menaikkan suku bunga pada Januari merupakan pilihan masuk akal. Pasalnya, kenaikan suku bunga yang dilakukan The Fed, walau tidak seagresif sebelumnya, sedikit banyak tentu memberikan tekanan pada nilai tukar yang baru saja stabil.
Selain itu, ada pula gonjang-ganjing resesi yang dikhawatirkan memicu capital outflow, sehingga ada benarnya suku bunga dinaikkan demi menjaga pesona rupiah dan imbal hasil yang menarik.
Menjelang akhir Januari lalu, rupiah berhasil mencetak angka Rp14.965 per dolar AS di pasar spot. Kendati inflasi di Amerika Serikat yang terus melandai, The Fed masih mengerek suku bunganya sebesar 25 bps di Februari. Alhasil, rupiah sempat tertekan kembali pada 7 Februari sebesar Rp 15.148 per dolar AS.
Pada 15 Desember 2022, tercatat capital outflow sebesar Rp132,69 triliun. Namun, pasar SBN masih kompetitif tercermin dari tingkat imbal hasil SBN tenor 10 tahun sebesar 6,86%. Angka ini masih lebih besar dibandingkan yield obligasi Amerika Serikat dengan tenor 10 tahun yang hanya 4,59%.
Dengan demikian, spread yang diberikan dari obligasi Indonesia masih menggiurkan dan menarik di mata investor. Sinyalemen ini membuat tren pertumbuhan ekonomi masih berangsur naik, tentu juga memberi rasa aman bagi Bank Indonesia (BI) untuk kembali mengerek suku bunga.
Menekan Inflasi
Dalam koridor kebijakan suku bunga ke depan BI sebaiknya lebih hati-hati. Hal ini disebabkan karena kondisi ekonomi global yang masih penuh dengan teka-teki dan tren inflasi domestik yang terus membaik.
Dilansir dari data BPS terbaru, inflasi diJanuari 2023 tercatat 5,28% (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan Desember 2022 yakni 5,51% (yoy). Tren ini terus mengalami penurunan secara perlahan, terutama pada kelompok inflasi administred price yang turun menjadi 12,28% (yoy).
Secara teoritis, inflasi yang terjadi selama ini lebih banyak disumbang dari sisi penawaran, sehingga suku bunga sebetulnya tidak terlalu banyak memberikan kontribusi pada penurunan inflasi.
Mengacu koridor berpikir ekonomi Post Keynesian, bank sentral pada galibnya memiliki pengendalian yang terbatas dalam perekonomian. Lantaran, proses penciptaan uang dipercayai sebagai sesuatu yang endogen, sehingga permintaan kredit lebih banyak ditentukan oleh intermediasi perbankan.