Urgensi Pembenahan Fungsi Partai Politik
loading...
A
A
A
Agun Gunandjar Sudarsa
Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar
Baru-baru ini kita dikagetkan dengan laporan Transparancy Internasional Indonesia (TII), yang menyatakan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot empat poin, dari 38 pada 2021 menjadi 34 di 2022. Kondisi itu bukan hanya membuat peringkat Indonesia turun dari posisi 96 menjadi 110 secara global, namun juga menjadi penurunan paling drastis selama era reformasi.
Korupsi yang masih menjadi masalah serius itu, bisa menjadi indikasi bahwa impian terwujudnyagood governance(tata pemerintahan yang baik) yang digembar-gemborkan selama era reformasi hanya berjalan di tempat. Padahal, penerapangood governancemenjadi salah satu tuntutan penting, sejak awal reformasi pada 1998, sebagai antitesa penyelenggaraan pemerintahan Orde Baru yang dianggap belum mampu menyelenggarakan tata pemerintahan yang baik, tidak memiliki akuntabilitas negara, sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Good governancesejak era reformasi seakan menjadi mantra yang terus diungkap dalam upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, dan bebas korupsi. United Nations Development Program (UNDP) memaknaigood governancesebagai penyelenggaraan pemerintahan demokratis yang dicapai melalui sistem pemerintahan yang kapabel, responsif, inklusif dan transparan (Parkhurst, 2017). Sedangkan (Ishiyama, 2015) merumuskan tiga indikatorgood governance, yaitu 1) efektifitas pemerintahan; 2) kontrol atau pengendalian terhadap korupsi; dan 3) stabilitas politik.
Selama era reformasi ini, harapan mewujudkangood governancemasih memerlukan kerja keras. Masih banyak ditemukannya indikator yang menujukkan belum tercapainyagood governancesecara optimal. Beberapa indikasi itu antara lain,Pertama,tingginya angka korupsi. Bahwa gejala tata kelola pemerintahan yang buruk, akan menciptakan lahan subur bagi penyebaran korupsi. (Setiyono dalam Ghosh dan Siddique, 2015).
Berdasarkan data yang dirilis TII empat tahun terakhir setidaknya membuktikan bahwa pada 2019, Indonesia hanya mendapat skor 40 dan masuk kategori negara dengan masalah korupsi serius. Setahun berikutnya Indonesia memperoleh skor lebih buruk yaitu 37, sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di antara negara-negara G20.
Sedangkan pada 2021 Indonesia memperoleh skor 38, dengan predikat sebagai negara dengan masalah korupsi yang serius. Kemudian di 2022, IPK Indonesia merosot empat poin, menjadi 34.
Benahi Fungsi Partai Politik
Melihat indeks terbaru IPK, terlihat bahwa upaya menciptakangood governancedi era reformasi ini memang belum optimal. Selama ini, dalam menciptakangood governance, kita seakan melupakan satu institusi penting dan berpengaruh besar di republik ini sejak era reformasi yaitu partai politik (parpol).
Padahal, Parpol adalah di antara pihak yang memainkan peran penting dalam mengerek skor indeks persepsi korupsi di Indonesia. Untuk itulah pentingnya penguatan fungsi parpol, terutama dalam tata kelola fungsi utamanya, yakni fungsi representasi dan rekrutmen.
Besarnya peran tatakelola Parpol ditegaskan (Warjio, Othman, dan Ladiqi 2021), bahwa tidak mungkin membangun pemerintahan yang baik tanpa didahului pengelolaan Parpol yang baik.
Melalui fungsi representasi, parpol akan bertanggung jawab mewujudkangood governancedengan cara menyerap dan mengelola aspirasi publik, mengkaji, merumuskan, membentuk dan menjalankan kebijakan publik, serta mengawasi pelaksanaannya. Fungsi representasi Parpol juga meliputi fungsi membentuk dan menjalankan pemerintahan yang akuntabel (Ezrow, 2011). Lebih tegas lagi, (Ishiyama 2015) menyebutkan bahwa partai politik berfungsi membentukgood governance, yaitu pemerintahan efektif, mengendalikan korupsi, dan mewujudkan stabilitas politik.
Sedangkan melalui fungsi rekrutmen, Parpol harus menjalankan fungsi rekrutmen terhadap aktor-aktor yang mampu menjamin secara kapasitas, kapabilitas dan integritasnya (eligible), dan teruji akuntabilitas publiknya (Norris, 2006).
Fungsi rekrutmen parpol ini sangat strategis karena ia adalah satu-satunya institusi yang berwenang mencalonkan para pemegang kekuasaan, baik di ranah eksekutif maupun legislatif.
Terbentur Tantangan
Pembenahan tata kelola parpol mutlak diperlukan demi terwujudnyagood governance.Akan tetapi, pembenahan fungsi ini, terutama dari sisi rekrutmen dan representasi sampai saat ini masih belum optimal.
Beberapa penyebabnya antara lain masih terjebaknya parpol pada demokrasi elektoral, belum sepenuhnya otonom, terjebak dalam lingkaran oligarki dan korupsi. Selain itu, belum hadirnya lembaga khusus artikulasi, lembaga penelitian, pengkajian, dan perumusan kebijakan publik atau agregasi, di dalam parpol.
Kondisi lemahnya fungsi representasi itu, tentu akan membuat parpol tidak mampu menjalankan mekanisme pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan publik yang demokratis dan kredibel. Sehingga membuat parpol semakin berjarak dan kurang mendapatkan keparcayaan dari rakyat. Lemahnya fungsi representasi parpol terlihat dari survei Indikator Politik Indonesia pada 2022, yang menempatkan parpol sebagai institusi di Indonesia yang paling tidak dipercaya oleh publik.
Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan tata kelola fungsi rekrutmen, diakibatkan oleh rekrutmen yang belum sepenuhnya demokratis dan inklusif, berjalannya mekanismefit and proper test, cenderung dinastik, oligarkis, pragmatis dan transaksional. Partai politik juga dinilai pragmatis dengan lebih mementingkanvote getter(pendulang suara), untuk meraih dukungan besar pemilih.
Melihat berbagai kendala tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam upaya memperkuat tatakelola parpol. Pertama,Pendanaan. Faktor tersebut selama ini dianggap menjadi masalah yang menyebabkan parpol lemah secara pembiayaan, sehingga tidak otonom dan bergantung pada pemodal, menimbulkan pragmatism, politik transaksional, dan melahirkan budaya korupsi politik.
Terkait keuangan partai yang relatif minim dan tidak layak dalam membiayai operasional itu, setidaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengusulkan bantuan dana parpol dari pemerintah dengan porsi sebesar 50%. Bahkan usul itu pun didukung oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Itu sangat rasional demi memperkuat keuangan partai, sehingga jika parpol itu telah kuat secara keuangan, maka ia pun lebih bisa dituntut pertanggungjawaban dari sisi akuntabilitas keuangannya.
Kedua,sistem pemilihan umum. Terlepas dari sistem pemilu menggunakan mekanisme proporsional terbuka, tertutup, atau gabungan, yang terpenting adalah bagaimana Undang-Undang Pemilu harus mengatur terkait mekanisme kandidasi secara rinci dan rigid. Sehingga, lebih menjamin para kadidat yang terpilih adalah orang-orang yang bersih dan layak.
Ketiga,Undang-Undang Parpol. selama ini Undang-Undang Parpol dianggap sebagai salah satu pintu masuk lemahnya pelaksanaangood governanceoleh kader partai yang terpilih di ranah eksekutif dan legislatif. Hal tersebut karena adanya celah masuk yang membuat parpol tidak patuh menjalankan nilai-nilai demokrasi sekaligus tidak mampu menjalankan fungsinya secara ideal, yaitu terkait proses rekruitmen yang diserahkan kepada AD ART Parpol, yang kadang tidak sejalan dengan kaidah demokrasi.
Peran parpol dalam mewujudkangood governancebegitu penting. Sayangnya, selama era reformasi, parpol belum berperan optimal. Bahkan parpol saat ini masih dianggap sebagai institusi yang paling korup di mata publik. Hal itu diperkuat hasil survei Polling Center bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017, yang menyatakan parpol dan DPR sebagai dua lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan publik paling rendah terkait agenda pemberantasan korupsi. Rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR dan parpol itu, lantaran banyak pelaku korupsi berasal dari dua lembaga itu.
Untuk itulah, demi mewujudkan parpol yang berperan penting bagi terwujudkangood governance, parpol harus bangkit mengoptimalkan segala potensinya dalam melakukan pembenahan dan penguatan tatakelola fungsi representasi dan rekruitmen. Dengan demikian, terbentuklah sebuah model tatakelola parpol yang amanah, sekaligus mampu mewujudkangood governanceyaitu mampu mewujudkan pemerintahan yang efektif dan mampu dalam pengendalian korupsi. Semoga.
Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar
Baru-baru ini kita dikagetkan dengan laporan Transparancy Internasional Indonesia (TII), yang menyatakan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot empat poin, dari 38 pada 2021 menjadi 34 di 2022. Kondisi itu bukan hanya membuat peringkat Indonesia turun dari posisi 96 menjadi 110 secara global, namun juga menjadi penurunan paling drastis selama era reformasi.
Korupsi yang masih menjadi masalah serius itu, bisa menjadi indikasi bahwa impian terwujudnyagood governance(tata pemerintahan yang baik) yang digembar-gemborkan selama era reformasi hanya berjalan di tempat. Padahal, penerapangood governancemenjadi salah satu tuntutan penting, sejak awal reformasi pada 1998, sebagai antitesa penyelenggaraan pemerintahan Orde Baru yang dianggap belum mampu menyelenggarakan tata pemerintahan yang baik, tidak memiliki akuntabilitas negara, sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Good governancesejak era reformasi seakan menjadi mantra yang terus diungkap dalam upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, dan bebas korupsi. United Nations Development Program (UNDP) memaknaigood governancesebagai penyelenggaraan pemerintahan demokratis yang dicapai melalui sistem pemerintahan yang kapabel, responsif, inklusif dan transparan (Parkhurst, 2017). Sedangkan (Ishiyama, 2015) merumuskan tiga indikatorgood governance, yaitu 1) efektifitas pemerintahan; 2) kontrol atau pengendalian terhadap korupsi; dan 3) stabilitas politik.
Selama era reformasi ini, harapan mewujudkangood governancemasih memerlukan kerja keras. Masih banyak ditemukannya indikator yang menujukkan belum tercapainyagood governancesecara optimal. Beberapa indikasi itu antara lain,Pertama,tingginya angka korupsi. Bahwa gejala tata kelola pemerintahan yang buruk, akan menciptakan lahan subur bagi penyebaran korupsi. (Setiyono dalam Ghosh dan Siddique, 2015).
Berdasarkan data yang dirilis TII empat tahun terakhir setidaknya membuktikan bahwa pada 2019, Indonesia hanya mendapat skor 40 dan masuk kategori negara dengan masalah korupsi serius. Setahun berikutnya Indonesia memperoleh skor lebih buruk yaitu 37, sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di antara negara-negara G20.
Sedangkan pada 2021 Indonesia memperoleh skor 38, dengan predikat sebagai negara dengan masalah korupsi yang serius. Kemudian di 2022, IPK Indonesia merosot empat poin, menjadi 34.
Benahi Fungsi Partai Politik
Melihat indeks terbaru IPK, terlihat bahwa upaya menciptakangood governancedi era reformasi ini memang belum optimal. Selama ini, dalam menciptakangood governance, kita seakan melupakan satu institusi penting dan berpengaruh besar di republik ini sejak era reformasi yaitu partai politik (parpol).
Padahal, Parpol adalah di antara pihak yang memainkan peran penting dalam mengerek skor indeks persepsi korupsi di Indonesia. Untuk itulah pentingnya penguatan fungsi parpol, terutama dalam tata kelola fungsi utamanya, yakni fungsi representasi dan rekrutmen.
Besarnya peran tatakelola Parpol ditegaskan (Warjio, Othman, dan Ladiqi 2021), bahwa tidak mungkin membangun pemerintahan yang baik tanpa didahului pengelolaan Parpol yang baik.
Melalui fungsi representasi, parpol akan bertanggung jawab mewujudkangood governancedengan cara menyerap dan mengelola aspirasi publik, mengkaji, merumuskan, membentuk dan menjalankan kebijakan publik, serta mengawasi pelaksanaannya. Fungsi representasi Parpol juga meliputi fungsi membentuk dan menjalankan pemerintahan yang akuntabel (Ezrow, 2011). Lebih tegas lagi, (Ishiyama 2015) menyebutkan bahwa partai politik berfungsi membentukgood governance, yaitu pemerintahan efektif, mengendalikan korupsi, dan mewujudkan stabilitas politik.
Sedangkan melalui fungsi rekrutmen, Parpol harus menjalankan fungsi rekrutmen terhadap aktor-aktor yang mampu menjamin secara kapasitas, kapabilitas dan integritasnya (eligible), dan teruji akuntabilitas publiknya (Norris, 2006).
Fungsi rekrutmen parpol ini sangat strategis karena ia adalah satu-satunya institusi yang berwenang mencalonkan para pemegang kekuasaan, baik di ranah eksekutif maupun legislatif.
Terbentur Tantangan
Pembenahan tata kelola parpol mutlak diperlukan demi terwujudnyagood governance.Akan tetapi, pembenahan fungsi ini, terutama dari sisi rekrutmen dan representasi sampai saat ini masih belum optimal.
Beberapa penyebabnya antara lain masih terjebaknya parpol pada demokrasi elektoral, belum sepenuhnya otonom, terjebak dalam lingkaran oligarki dan korupsi. Selain itu, belum hadirnya lembaga khusus artikulasi, lembaga penelitian, pengkajian, dan perumusan kebijakan publik atau agregasi, di dalam parpol.
Kondisi lemahnya fungsi representasi itu, tentu akan membuat parpol tidak mampu menjalankan mekanisme pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan publik yang demokratis dan kredibel. Sehingga membuat parpol semakin berjarak dan kurang mendapatkan keparcayaan dari rakyat. Lemahnya fungsi representasi parpol terlihat dari survei Indikator Politik Indonesia pada 2022, yang menempatkan parpol sebagai institusi di Indonesia yang paling tidak dipercaya oleh publik.
Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan tata kelola fungsi rekrutmen, diakibatkan oleh rekrutmen yang belum sepenuhnya demokratis dan inklusif, berjalannya mekanismefit and proper test, cenderung dinastik, oligarkis, pragmatis dan transaksional. Partai politik juga dinilai pragmatis dengan lebih mementingkanvote getter(pendulang suara), untuk meraih dukungan besar pemilih.
Melihat berbagai kendala tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam upaya memperkuat tatakelola parpol. Pertama,Pendanaan. Faktor tersebut selama ini dianggap menjadi masalah yang menyebabkan parpol lemah secara pembiayaan, sehingga tidak otonom dan bergantung pada pemodal, menimbulkan pragmatism, politik transaksional, dan melahirkan budaya korupsi politik.
Terkait keuangan partai yang relatif minim dan tidak layak dalam membiayai operasional itu, setidaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengusulkan bantuan dana parpol dari pemerintah dengan porsi sebesar 50%. Bahkan usul itu pun didukung oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Itu sangat rasional demi memperkuat keuangan partai, sehingga jika parpol itu telah kuat secara keuangan, maka ia pun lebih bisa dituntut pertanggungjawaban dari sisi akuntabilitas keuangannya.
Kedua,sistem pemilihan umum. Terlepas dari sistem pemilu menggunakan mekanisme proporsional terbuka, tertutup, atau gabungan, yang terpenting adalah bagaimana Undang-Undang Pemilu harus mengatur terkait mekanisme kandidasi secara rinci dan rigid. Sehingga, lebih menjamin para kadidat yang terpilih adalah orang-orang yang bersih dan layak.
Ketiga,Undang-Undang Parpol. selama ini Undang-Undang Parpol dianggap sebagai salah satu pintu masuk lemahnya pelaksanaangood governanceoleh kader partai yang terpilih di ranah eksekutif dan legislatif. Hal tersebut karena adanya celah masuk yang membuat parpol tidak patuh menjalankan nilai-nilai demokrasi sekaligus tidak mampu menjalankan fungsinya secara ideal, yaitu terkait proses rekruitmen yang diserahkan kepada AD ART Parpol, yang kadang tidak sejalan dengan kaidah demokrasi.
Peran parpol dalam mewujudkangood governancebegitu penting. Sayangnya, selama era reformasi, parpol belum berperan optimal. Bahkan parpol saat ini masih dianggap sebagai institusi yang paling korup di mata publik. Hal itu diperkuat hasil survei Polling Center bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017, yang menyatakan parpol dan DPR sebagai dua lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan publik paling rendah terkait agenda pemberantasan korupsi. Rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR dan parpol itu, lantaran banyak pelaku korupsi berasal dari dua lembaga itu.
Untuk itulah, demi mewujudkan parpol yang berperan penting bagi terwujudkangood governance, parpol harus bangkit mengoptimalkan segala potensinya dalam melakukan pembenahan dan penguatan tatakelola fungsi representasi dan rekruitmen. Dengan demikian, terbentuklah sebuah model tatakelola parpol yang amanah, sekaligus mampu mewujudkangood governanceyaitu mampu mewujudkan pemerintahan yang efektif dan mampu dalam pengendalian korupsi. Semoga.
(ynt)