UU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang: Solusi Atau Masalah

Senin, 29 Mei 2023 - 13:12 WIB
loading...
UU Antikorupsi dan UU...
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita. Foto/SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

SEMAKIN dekat menjelang Pemilu 2024 dan semakin nyata terjadi “mega korupsi” yang bernilai fantastis melibatkan pejabat setingkat menteri dan pejabat Eselon I di negeri ini. Sejujurnya penegakan hukum dilakukan oleh institusi penegak hukum menjelang Pemilu 2024 tetap saja dianggap “ Politisasi Hukum”, hal yang berbeda fundamental dengan “tindak pidana politik”.

Contoh kasus JP (Johnny G Plate) dalam perkara korupsi proyek BTS di Kominfo yang didanai APBN senilai Rp8 triliun. Jika petinggi parpol Nasdem mengatakan bahwa amat mahal nilainya JP harus diborgol tangannya dengan rompi baju warna merah, sebaliknya juga amat fantastis nilai korupsi sebanyak Rp8 triliun yang “dihasilkan” dari proyek BTS Kominfo bagi 260 juta rakyat Indonesia.

Peristiwa yang sama juga pernah terjadi pada KPK dalam penyelidikan kasus Formula E sampai penyelidikan kasus tersebut “jalan di tempat”. Dugaan-dugaan politisasi hukum ini bukan hanya terjadi di era Presiden Joko Widodo tetapi juga di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Belum hilang dari ingatan jika perkara Antasari Azhar, KPK yang menangani dugaan perkara Gubernur dan Deputi Gubernur BI dimana faktor kekuasaan turut berperan secara kasat mata. Hal yang sama juga di AS dalam kasus Donald Trump yang diduga pelaku pelecehan seksual dituntut menjelang pencalonan sebagai Presiden AS untuk kedua kali.

Merujuk semua peristiwa di atas sejarah hukum sejak abad 17 menunjukkan bahwa hukum selalu berkelindan dengan 'Kekuasaan’. Hukum dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan atau terpisah keduanya. Kelsen menegaskan bahwa hukum adalah produk kekuasaan (negara) sehingga hukum khususnya hukum pidana merupakan alat pemaksa negara agar rakyatnya mentaati/mematuhi hukum termasuk pejabat negara. Bahkan dengan perundang-undangan yang berlaku saat ini, sejak tahun 1971 diperkuat tahun 1999 dengan UU Antikorupsi dan UU Anti TPPU, badan hukum/korporasi selain orang perorangan, termasuk subjek hukum yang dapat dipidana tidak terkecuali.

Pembentukan UU Antikorupsi dan UU Anti TPPU sejatinya bertujuan membersihkan pemerintahan negara dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). UU KKN telah diundangkan dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 dan merupakan payung hukum (Umbrella Act) terhadap seluruh peraturan perUUan yang mengatur tentang KKN yang dilakukan oleh penyelenggara negara; dari Presiden/Wakil Presiden, menteri, dirjen, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, camat dampai sampai pimpinan proyek dan pengguna anggaran.

Pemberlakuan kedua UU tersebut tidak menurunkan secara signifikan, baik kuantitas maupun kualitasnya, seperti IPK setiap tahun selalu menurun. Terakhir pada 2023, hanya mencapai ranking 40 jauh di bawah Malaysia dan Singapura. Sampai saat ini perjuangan Indonesia untuk menjadi anggota aktif Financial Action for Task Force Anti Money Laundering yang telah dilaksanakan sejak pembentukan PPATK belum membuahkan hasil. Suatu pertanda bahwa Indonesia belum melaksanakan 48 Rekomendasi FATF secara maksimal sementara tindak pidana pencucian uang menunjukkan kecenderungan meningkat setiap tahun.

Belum juga tuntas perjuangan mencegah dan mengatasi korupsi dan pencucian uang, pemerintah melalui Bappeti telah mengeluarkan izin perdagangan aset kripto fisik kepada 233 perusahaan kripto yang dipastikan mempersulit dan menambah kerumitan penegahan dan pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Keadaan dilematis yang tengah dihadapi pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dan pencucian uang hasil kejahatan. Di satu sisi pemberlakuan UU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang sejak lebih dari 24 tahun yang lalu tetapi di sisi lain dihubungkan dengan perkembangan global sejak akhir abad 19 dengan segala efek samping negatifnya, tidak dapat dihindari, dicegah, atau diberantas secara memadai dan tuntas.

Pencarian faktor penyebab inefisiensi dan inefektivitas usaha pemerintah tersebut dipicu oleh pertama, kesadaran berhukum dari masyarakat pada umumnya, khususnya pelaku usaha masih rendah cenderung apatis dan skeptis terhadap ancaman bahaya yang mengintai kehidupan bangsa dan negara di masa kini dan masa depan. Kedua, sarana dan prasarana teknologi informasi modern belum dimiliki K/L di seluruh Indonesia, dan ketiga, keterbatasan dana APBN untuk membayar biaya yang tinggi sebagai konsekuensi logis dari perjuangan pemerintah terhadap kedua kejahatan tersebut terbukti tidak efisien dan tidak efektif.

Masih terdapat kekeliruan memahami masalah kejahatan yang bersifat sistematis dan berdampak luas dalam masyarakat termasuk di kalangan para ahli terutama ahli hukum, seolah-olah kedua kejahatan yang terjadi adalah urusan hukum semata-mata dan para ahli hukum dan bagi ahli hukum masalah tersebut hanya dipandang sebagai masalah penegakan hukum. Tidak dipahami bahwa sesungguhnya masalah penegakan hukum tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari masalah penegakan moralitas dan etika dalam kelembagaan penegak hukum. Hubungan interelasi antara moralitas dan hukum telah diakui sejak abad 17 di benua Eropa akan tetapi khususnya di Indonesia memang sering diucapkan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2053 seconds (0.1#10.140)