Mengapa Sistem Pemilu Proporsional Tertutup?
loading...
A
A
A
Dalam situasi ini, sistem tertutup – yang cenderung membuat caleg bergantung pada pimpinan – akan cenderung memperburuk situasi elitis dalam kehidupan politik kita. Tidak adanya peluang bagi “intervensi konstituen” akan menyebabkan para aleg yang terpilih benar-benar menjadi sosok pilihan ketua umum partai alias all chairman’s men/women.
Memang harus diakui sistem terbuka tidak menjamin dengan sendirinya suara rakyat akan didengar. Terbukti bahwa apa yang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini adalah juga hasil dilaksanakannya sistem terbuka.
Begitu juga dengan terjadinya money politics yang demikian akut. Namun demikian, jelas, jawaban untuk membatasi atau mengurangi elitisme dalam kehidupan politik kita bukanlah justru mengembalikan sistem pemilu kita menjadi tertutup (kembali). Namun memperbaiki segala kelemahan yang diakibatkan oleh variabel yang kompleks yang masih diidap oleh pelaksanaan sistem terbuka saat ini.
Adapun money politics yang terjadi di Indonesia adalah dampak dari banyak sekali variabel. Sistem pemilu bisa saja menjadi salah satunya. Namun bisa jadi juga, money politics yang terjadi pada saat pemilu hanya merupakan “puncak gunung es” dari berbagai penyebab-penyebab utama dari masih maraknya money politics, seperti soal mentalitet, kebiasaan (habit), kualitas pelembagaan papol, political leadership, aturan main, edukasi politik hingga pragmatisme dalam kehidupan politik kita.
Dengan demikian, perubahan sistem pemilu kepada sistem tertutup bukan jawaban bagi tetap maraknya money politics. Mengingat akar persoalan dalam money politics demikian kompleks, dan masih maraknya money politics dalam pemilu sejatinya hanyalah dampak dari akar-akar persoalan yang tidak kunjung selesai itu.
Memang harus diakui sistem terbuka tidak menjamin dengan sendirinya suara rakyat akan didengar. Terbukti bahwa apa yang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini adalah juga hasil dilaksanakannya sistem terbuka.
Begitu juga dengan terjadinya money politics yang demikian akut. Namun demikian, jelas, jawaban untuk membatasi atau mengurangi elitisme dalam kehidupan politik kita bukanlah justru mengembalikan sistem pemilu kita menjadi tertutup (kembali). Namun memperbaiki segala kelemahan yang diakibatkan oleh variabel yang kompleks yang masih diidap oleh pelaksanaan sistem terbuka saat ini.
Adapun money politics yang terjadi di Indonesia adalah dampak dari banyak sekali variabel. Sistem pemilu bisa saja menjadi salah satunya. Namun bisa jadi juga, money politics yang terjadi pada saat pemilu hanya merupakan “puncak gunung es” dari berbagai penyebab-penyebab utama dari masih maraknya money politics, seperti soal mentalitet, kebiasaan (habit), kualitas pelembagaan papol, political leadership, aturan main, edukasi politik hingga pragmatisme dalam kehidupan politik kita.
Dengan demikian, perubahan sistem pemilu kepada sistem tertutup bukan jawaban bagi tetap maraknya money politics. Mengingat akar persoalan dalam money politics demikian kompleks, dan masih maraknya money politics dalam pemilu sejatinya hanyalah dampak dari akar-akar persoalan yang tidak kunjung selesai itu.
(bmm)