Mengapa Sistem Pemilu Proporsional Tertutup?
loading...
A
A
A
Mengapa Sistem ini Layak Ditinggalkan?
Salah satu hal mendasar yang menjadi kritik utama atas sistem tertutup adalah kurang menjamin terbangunnya kedekatan antara caleg dengan konstituennya. Sistem ini cenderung kurang menjamin konstituen mengetahui latar belakang dan kapabilitas caleg yang akan mewakili mereka.
Sebaliknya, caleg pun bisa jadi tidak terlalu memahami orang-orang ataupun wilayah yang diwakilinya mengingat terbatasnya intensitas hubungan. Bisa jadi dengan berbagai pertimbangan, ketua umum partai menempatkan seorang caleg di daerah yang “terasing” buat seorang caleg, dan juga buat para pemilih.
Dengan kata lain, hakikat saling mengenal dan membangun sebuah kontrak sosial dalam makna sebagai wakil rakyat tidak terbangun kokoh. Padahal kedekatan itu adalah sayarat utama dari terlaksananya hakikat “perwakilan rakyat” yang merupakan sokoguru dari demokrasi dan esensi adanya pemilu itu sendiri. Dalam sistem tertutup makna “perwakilan” menjadi ambigu, karena bisa jadi caleg lebih mewakili (kepentingan) partai ketimbang konsituennya.
Selain itu, sistem tertutup kurang mendorong atau “memaksa” caleg untuk membangun komunikasi yang intens kepada masyarakat di dapilnya, untuk dapat dikenal dan meyakinkan mereka agar terpilih.
Caleg cenderung kurang proaktif, karena akhirnya lebih memilih memastikan posisinya di hadapan pimpinan ketimbang di hadapan para pemilih. Situasi ini tidak saja mengukuhkan situasi teralienasinya masyarakat dan wakilnya, namun juga terbengkalainya pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik seperti komunikasi politik, sosialisasi politik hingga pendidikan politik. Yang sebenarnya justru dapat dilakukan secara massif (oleh para celeg) pada masa kampanye, jika dilakukan dalam skema terbuka.
Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa pada akhirnya sistem tertutup tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan “intervensi konstituen” dalam turut menentukan siapa anggota legislatif yang dipandang mereka sebagai sosok yang benar-benar dekat dan mewakili aspirasinya. Karena terbuka peluang para kandidat yang disukai masyarakat itu tidak berada dalam nomor urut jadi yang disusun oleh pimpinan parpol.
Demokrasi, Keterasingan dan Money Politics
Sistem pemilu pada dasarnya dapat menjadi sarana untuk mengokohkan substansi demokrasi, dan mereduksi keterasingan publik atas wakil rakyatnya. Namun jika sistem yang dipilih salah, maka bisa jadi yang terjadi malah sebaliknya.
Kondisi demokrasi kita saat ini ada dalam situasi yang tidak kuat atau rawan. Nuansa elitisme kita demikian kental, yang tercermin dari munculnya berbagai kebijakan yang dianggap tidak partisipatif dan substansinya tidak benar-benar dikehdenaki oleh rakyat.
Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, banyak kebijakan yang memicu demonstrasi besar-besaran dan upaya untuk melakukan judicial review.
Tidak mengherankan lembaga-lembaga pemerhati demokrasi (seperti Freedom House, V-Dem, IDEA atau Economist Intelligence Unit) dan sebagian besar para pengamat politik sampai pada sebuah kesimpulan yang sama mengenai situasi demokrasi yang masih jauh dari ideal, dan terjebak dalam gurita kekuasaan para elite.
Salah satu hal mendasar yang menjadi kritik utama atas sistem tertutup adalah kurang menjamin terbangunnya kedekatan antara caleg dengan konstituennya. Sistem ini cenderung kurang menjamin konstituen mengetahui latar belakang dan kapabilitas caleg yang akan mewakili mereka.
Sebaliknya, caleg pun bisa jadi tidak terlalu memahami orang-orang ataupun wilayah yang diwakilinya mengingat terbatasnya intensitas hubungan. Bisa jadi dengan berbagai pertimbangan, ketua umum partai menempatkan seorang caleg di daerah yang “terasing” buat seorang caleg, dan juga buat para pemilih.
Dengan kata lain, hakikat saling mengenal dan membangun sebuah kontrak sosial dalam makna sebagai wakil rakyat tidak terbangun kokoh. Padahal kedekatan itu adalah sayarat utama dari terlaksananya hakikat “perwakilan rakyat” yang merupakan sokoguru dari demokrasi dan esensi adanya pemilu itu sendiri. Dalam sistem tertutup makna “perwakilan” menjadi ambigu, karena bisa jadi caleg lebih mewakili (kepentingan) partai ketimbang konsituennya.
Selain itu, sistem tertutup kurang mendorong atau “memaksa” caleg untuk membangun komunikasi yang intens kepada masyarakat di dapilnya, untuk dapat dikenal dan meyakinkan mereka agar terpilih.
Caleg cenderung kurang proaktif, karena akhirnya lebih memilih memastikan posisinya di hadapan pimpinan ketimbang di hadapan para pemilih. Situasi ini tidak saja mengukuhkan situasi teralienasinya masyarakat dan wakilnya, namun juga terbengkalainya pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik seperti komunikasi politik, sosialisasi politik hingga pendidikan politik. Yang sebenarnya justru dapat dilakukan secara massif (oleh para celeg) pada masa kampanye, jika dilakukan dalam skema terbuka.
Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa pada akhirnya sistem tertutup tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan “intervensi konstituen” dalam turut menentukan siapa anggota legislatif yang dipandang mereka sebagai sosok yang benar-benar dekat dan mewakili aspirasinya. Karena terbuka peluang para kandidat yang disukai masyarakat itu tidak berada dalam nomor urut jadi yang disusun oleh pimpinan parpol.
Demokrasi, Keterasingan dan Money Politics
Sistem pemilu pada dasarnya dapat menjadi sarana untuk mengokohkan substansi demokrasi, dan mereduksi keterasingan publik atas wakil rakyatnya. Namun jika sistem yang dipilih salah, maka bisa jadi yang terjadi malah sebaliknya.
Kondisi demokrasi kita saat ini ada dalam situasi yang tidak kuat atau rawan. Nuansa elitisme kita demikian kental, yang tercermin dari munculnya berbagai kebijakan yang dianggap tidak partisipatif dan substansinya tidak benar-benar dikehdenaki oleh rakyat.
Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, banyak kebijakan yang memicu demonstrasi besar-besaran dan upaya untuk melakukan judicial review.
Tidak mengherankan lembaga-lembaga pemerhati demokrasi (seperti Freedom House, V-Dem, IDEA atau Economist Intelligence Unit) dan sebagian besar para pengamat politik sampai pada sebuah kesimpulan yang sama mengenai situasi demokrasi yang masih jauh dari ideal, dan terjebak dalam gurita kekuasaan para elite.