Memperjelas Arah Pendidikan Hukum di Negara Hukum
loading...
A
A
A
Ahmad Zairudin
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Nurul Jadid, Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Tatanegara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Timur
MELALUI artikelnya di KORAN SINDO, Kamis 12 Januari 2023, Sudjito Atmoredjo, Guru Besar Ilmu Hukum UGM menguraikan tentang “Kebersihan Diri di Negara Hukum” dengan memperhatikan empat konsep. Pertama, kesadaran adanya pengawasan dari Tuhan.
Kedua, kebersihan diri merupakan sumber kekuatan. Ketiga, Kebersihan diri sebagai sarana menolak Bencana, dan keempat, Kebersihan diri sebagai sarana kelancancara rezeki. Jika ke empat konsep diatas diterapkan dengan baik khususnya bagi mereka pejabat negara (yang terlibat dalam desain hukum di negara ini), maka ada kemungkinan wajah dan masa depan hukum Indonesia akan lebih baik.
Baca Juga: koran-sindo.com
Sejalan dengan pemikiran di atas, aspek lain yang perlu juga dibenahi adalah arah pendidikan tinggi hukum. Seringkali kita bingung, apa sih orientasi pendidikan tinggi hukum ini, apakah hanya untuk mengisi ruang atau jabatan yang harus di isi oleh orang hukum semata, sehingga mengabaikan aspek lainnya, seperti penegakan moralitas, integritas, kejujuran dan skill yang mempuni.
Padahal pendidikan tinggi hukum di Indonesia telah dibentuk sejak berdirinya Rechtschool pada 1908 yang kemudian berkembang menjadi Rechtshogeschool pada 1924. Dan, 28 Oktober 1924 merupakan tanggal lahir lembaga pendidikan tinggi hukum yang pertama di Indonesia dan tahun ini sudah berumur 99 tahun.
Indonesia sebagai negara hukum tentu tidak dapat dilepaskan dari hukum, baik atau buruknya negara dan masyarakatnya acapkali dianggap sebagai cerminan dari wajah hukumnya. Salah satu unsur yang ikut bertanggungjawab dalam kondisi hukum adalah pendidikan tinggi hukum yang menghasilkan lulusan hukum.
Pada 2023 dan ke depannya tantangan pendidikan hukum akan semakin berat, seiring dengan kemajuan zaman dan masyarakat yang begitu dinamis, hukum dituntut untuk senantiasa menyelesaikan problema hukum dan menjawab kebutuhan masyarakat. Tantangan ini akan semakin nyata bersamaan dengan semakin kompleknya persoalan hukum dan menjamurnya fakultas-fakultas dan lulusan hukum.
Menurut pendapat Satjipto Rahardjo, arah pendidikan tinggi hukum ke depan harus dapat mewadahi dua kelompok yaitu, para profesional (juris) sebagai pemain (medespeler) yang menyelesaikan kasus dengan menerapkan undang-undang, dan golongan penstudi atau ilmuwan hukum (toeschouwer) di mana mereka mengambil jarak dengan hukum dan lebih menekankan pada pencarian dan pencerahan. (Satjipto Rahardjo. 2009)
Keberadaan perguruan tinggi hukum sangat menentukan dalam menghasilkan sarjana dan ahli hukum yang profesional dan berigtegritas. Secara legalitas perguruan tinggi hukum adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan ilmu pengetahuan di bidang hukum. Bahkan secara khusus beberapa profesi (pekerjaan) hanya dapat diakses dan dijalankan oleh sarjana hukum, misal seperti hakim, jaksa, advokat, dan notaris.
Di sini peran pendidikan tinggi hukum sangat dibutuhkan, Pendidikan tinggi hukum adalah pondasi, diibaratkan pohon adalah akarnya, kalau pondasi dan akarnya kuat, maka batang dan rantingnya juga akan ikut kuat, tidak akan mudah diombang ambingkan oleh angin, (dipermainkan oleh oknum yang ingin mempermainkan hukum).
Pada 2023 Indonesia harus memperjelas arah pendidikan tinggi hukum. Karena selain sebagai pengawal penegakan hukum dan keadilan, pendidikan tinggi hukum juga dapat berfungsi membekali dan menyiapkan sedini mungkin para calon sarjana dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan dan kemahiran hukum yang cukup memadai. Sehingga setiap lulusan sarjana hukum mampu merumuskan dan memecahkan berbagai macam persoalan hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya dituntut untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan semata.
Fakultas Hukum dan Tanggung Jawabnya
Usaha pembaharuan hukum di Indonesia adalah suatu “conditio sine qua non”, sebagai suatu usaha yang harus terus dilakukan oleh fakultas hokum. Fakultas hukum mempunyai tanggung jawab untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang kompeten, profesionalitas, berintegritas dan tanggung jawab.
Fakultas hukum merupakan masa depan bagi dunia peradilan dan berbagai profesi hukum, sehingga perguruan tinggi hukum harus senantiasa mengevaluasi diri demi pengembangan sistem pendidikan yang melahirkan lulusannya berkualitas. Selama ini out put dari fakultas hukum dianggap hanya menghasilkan para yuris profesional yang berpandangan normatif, tidak mampu melihat kenyataan yang sesungguhnya didalam masyarakat, sehingga cenderung melihat hukum sebagai “rulee and logic”.
Dapat dikatakan bahwa hampir semua fakultas hukum di Indonesia mempunyai visi untuk menghasilkan lulusan yang mempunyai penguasaan keterampilan hukum yang didukung penguasaan aspek teoritik dan dilandasi oleh etik. Oleh karena itu, tantangan pendidikan hukum senantiasa pada kualitas dan integritas moral lulusan yang akan bekerja pada area profesi hukum, sehingga pendidikan hukum harus dilakukan dengan standar kualitas yang tinggi.
Fakultas hukum sebagai lembaga yang menghasilkan para sarjana dan ahli hukum, jika dilihat tentu ukuran paling relevan terhadap keberhasilannya adalah apakah para lulusan tersebut memiliki peran positif bagi perkembangan bidang hukum atau tidak.
Oleh karena itu, tidak salah kiranya jika ada gugatan terhadap eksistensi dan peran pendidikan tinggi hukum jika dibenturkan dengan kondisi atas carut-marutnya hukum di Indonesia yang belum banyak berubah dari kondisi dari sebelum-sebelumnya.
Berbagai persoalan hukum yang muncul akhir-akhir ini seperti tertangkapnya beberapa hakim agung, panitera dan pengacara serta tercorengnya institusi Polri akibat dari perbuatan mantan anggotanya Ferdi Sambo, benar-benar telah merusak wajah aparat penegak hukum, mereka dianggab bermain-main dalam kasus hukum yang ditangani dan menjadi aktornya. Oleh karenanya pendidikan tinggi hukum dan fakultas hukum dianggap juga harus ikut bertanggung jawab terhadap tingkah polah para lulusannya tersebut.
Faktor lainnya yang tidak kalah penting adalah para sarjana hukum harus memiliki Integritas, idealisme, perilaku dan moral yang baik, jujur, berkeadilan, dan bijaksana. Selama ini komponen idealisme, moral, dan perilaku kurang mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum.
Mata kuliah yang membahas moral sangat minim, hanya sekitar 8 (delapan) SKS yang terbagi kedalam mata kuliah hukum yaitu: Etika profesi hukum, filsafat hukum, Pancasila dan Agama yang masing-masing 2 (dua) SKS. Perbaikan kurikulum, metode pengajaran, serta bahan ajar, dan sumber daya pengajar yang berkualitas harus segera dibenahi.
Sistem pendidikan tinggi hukum tidak boleh hanya berparadigma positivistik-formalistik legalistik saja, melainkan harus mencerminkan dan berbasis pada kebutuhan hukum yang hidup di masyarakat living law.
Hikmahanto Juwana guru besar ilmu Hukum Universitas Indonesia juga memberikan konsep pendidikan hukum kedepannya agar profesionalitas akademisi dan praktisi hukum semakin menjadi lebih baik secara kualitas dan seimbang dari aspek kuantitas, yaitu.
Pertama, Menetralkan tujuan pendidikan hukum. Kedua, pemisahan tegas antara pendidikan hukum akademis dan profesi (praktisi). Ketiga kurikulum berbasis kompetensi. Keempat pendidikan pasca. Ke depannya rumusan aturan terkait jenjang karier praktisi hukum menjadi lebih terstruktur antarseluruh penegak hukum yang diatur undang-undang.
Sebagai negara hukum, Indonesia harus memperjelas arah dunia pendidikan hukum, khususnya dalam menjalankan tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat). Ketiga hal tersebut harus dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban peran pendidikan tinggi.
Terkait dengan tugas pendidikan, kita perlu melihat bagaimana kurikulum yang digunakan akan menghasilkan mahasiswa sebagai lulusan dan sesuai dengan profile yang diharapkan (cakap dalam bidang hukum, mempunyai Integritas dan bisa bertanggung jawab terhadap profesi yang diembannya).
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Nurul Jadid, Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Tatanegara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Timur
MELALUI artikelnya di KORAN SINDO, Kamis 12 Januari 2023, Sudjito Atmoredjo, Guru Besar Ilmu Hukum UGM menguraikan tentang “Kebersihan Diri di Negara Hukum” dengan memperhatikan empat konsep. Pertama, kesadaran adanya pengawasan dari Tuhan.
Kedua, kebersihan diri merupakan sumber kekuatan. Ketiga, Kebersihan diri sebagai sarana menolak Bencana, dan keempat, Kebersihan diri sebagai sarana kelancancara rezeki. Jika ke empat konsep diatas diterapkan dengan baik khususnya bagi mereka pejabat negara (yang terlibat dalam desain hukum di negara ini), maka ada kemungkinan wajah dan masa depan hukum Indonesia akan lebih baik.
Baca Juga: koran-sindo.com
Sejalan dengan pemikiran di atas, aspek lain yang perlu juga dibenahi adalah arah pendidikan tinggi hukum. Seringkali kita bingung, apa sih orientasi pendidikan tinggi hukum ini, apakah hanya untuk mengisi ruang atau jabatan yang harus di isi oleh orang hukum semata, sehingga mengabaikan aspek lainnya, seperti penegakan moralitas, integritas, kejujuran dan skill yang mempuni.
Padahal pendidikan tinggi hukum di Indonesia telah dibentuk sejak berdirinya Rechtschool pada 1908 yang kemudian berkembang menjadi Rechtshogeschool pada 1924. Dan, 28 Oktober 1924 merupakan tanggal lahir lembaga pendidikan tinggi hukum yang pertama di Indonesia dan tahun ini sudah berumur 99 tahun.
Indonesia sebagai negara hukum tentu tidak dapat dilepaskan dari hukum, baik atau buruknya negara dan masyarakatnya acapkali dianggap sebagai cerminan dari wajah hukumnya. Salah satu unsur yang ikut bertanggungjawab dalam kondisi hukum adalah pendidikan tinggi hukum yang menghasilkan lulusan hukum.
Pada 2023 dan ke depannya tantangan pendidikan hukum akan semakin berat, seiring dengan kemajuan zaman dan masyarakat yang begitu dinamis, hukum dituntut untuk senantiasa menyelesaikan problema hukum dan menjawab kebutuhan masyarakat. Tantangan ini akan semakin nyata bersamaan dengan semakin kompleknya persoalan hukum dan menjamurnya fakultas-fakultas dan lulusan hukum.
Menurut pendapat Satjipto Rahardjo, arah pendidikan tinggi hukum ke depan harus dapat mewadahi dua kelompok yaitu, para profesional (juris) sebagai pemain (medespeler) yang menyelesaikan kasus dengan menerapkan undang-undang, dan golongan penstudi atau ilmuwan hukum (toeschouwer) di mana mereka mengambil jarak dengan hukum dan lebih menekankan pada pencarian dan pencerahan. (Satjipto Rahardjo. 2009)
Keberadaan perguruan tinggi hukum sangat menentukan dalam menghasilkan sarjana dan ahli hukum yang profesional dan berigtegritas. Secara legalitas perguruan tinggi hukum adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan ilmu pengetahuan di bidang hukum. Bahkan secara khusus beberapa profesi (pekerjaan) hanya dapat diakses dan dijalankan oleh sarjana hukum, misal seperti hakim, jaksa, advokat, dan notaris.
Di sini peran pendidikan tinggi hukum sangat dibutuhkan, Pendidikan tinggi hukum adalah pondasi, diibaratkan pohon adalah akarnya, kalau pondasi dan akarnya kuat, maka batang dan rantingnya juga akan ikut kuat, tidak akan mudah diombang ambingkan oleh angin, (dipermainkan oleh oknum yang ingin mempermainkan hukum).
Pada 2023 Indonesia harus memperjelas arah pendidikan tinggi hukum. Karena selain sebagai pengawal penegakan hukum dan keadilan, pendidikan tinggi hukum juga dapat berfungsi membekali dan menyiapkan sedini mungkin para calon sarjana dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan dan kemahiran hukum yang cukup memadai. Sehingga setiap lulusan sarjana hukum mampu merumuskan dan memecahkan berbagai macam persoalan hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya dituntut untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan semata.
Fakultas Hukum dan Tanggung Jawabnya
Usaha pembaharuan hukum di Indonesia adalah suatu “conditio sine qua non”, sebagai suatu usaha yang harus terus dilakukan oleh fakultas hokum. Fakultas hukum mempunyai tanggung jawab untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang kompeten, profesionalitas, berintegritas dan tanggung jawab.
Fakultas hukum merupakan masa depan bagi dunia peradilan dan berbagai profesi hukum, sehingga perguruan tinggi hukum harus senantiasa mengevaluasi diri demi pengembangan sistem pendidikan yang melahirkan lulusannya berkualitas. Selama ini out put dari fakultas hukum dianggap hanya menghasilkan para yuris profesional yang berpandangan normatif, tidak mampu melihat kenyataan yang sesungguhnya didalam masyarakat, sehingga cenderung melihat hukum sebagai “rulee and logic”.
Dapat dikatakan bahwa hampir semua fakultas hukum di Indonesia mempunyai visi untuk menghasilkan lulusan yang mempunyai penguasaan keterampilan hukum yang didukung penguasaan aspek teoritik dan dilandasi oleh etik. Oleh karena itu, tantangan pendidikan hukum senantiasa pada kualitas dan integritas moral lulusan yang akan bekerja pada area profesi hukum, sehingga pendidikan hukum harus dilakukan dengan standar kualitas yang tinggi.
Fakultas hukum sebagai lembaga yang menghasilkan para sarjana dan ahli hukum, jika dilihat tentu ukuran paling relevan terhadap keberhasilannya adalah apakah para lulusan tersebut memiliki peran positif bagi perkembangan bidang hukum atau tidak.
Oleh karena itu, tidak salah kiranya jika ada gugatan terhadap eksistensi dan peran pendidikan tinggi hukum jika dibenturkan dengan kondisi atas carut-marutnya hukum di Indonesia yang belum banyak berubah dari kondisi dari sebelum-sebelumnya.
Berbagai persoalan hukum yang muncul akhir-akhir ini seperti tertangkapnya beberapa hakim agung, panitera dan pengacara serta tercorengnya institusi Polri akibat dari perbuatan mantan anggotanya Ferdi Sambo, benar-benar telah merusak wajah aparat penegak hukum, mereka dianggab bermain-main dalam kasus hukum yang ditangani dan menjadi aktornya. Oleh karenanya pendidikan tinggi hukum dan fakultas hukum dianggap juga harus ikut bertanggung jawab terhadap tingkah polah para lulusannya tersebut.
Faktor lainnya yang tidak kalah penting adalah para sarjana hukum harus memiliki Integritas, idealisme, perilaku dan moral yang baik, jujur, berkeadilan, dan bijaksana. Selama ini komponen idealisme, moral, dan perilaku kurang mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum.
Mata kuliah yang membahas moral sangat minim, hanya sekitar 8 (delapan) SKS yang terbagi kedalam mata kuliah hukum yaitu: Etika profesi hukum, filsafat hukum, Pancasila dan Agama yang masing-masing 2 (dua) SKS. Perbaikan kurikulum, metode pengajaran, serta bahan ajar, dan sumber daya pengajar yang berkualitas harus segera dibenahi.
Sistem pendidikan tinggi hukum tidak boleh hanya berparadigma positivistik-formalistik legalistik saja, melainkan harus mencerminkan dan berbasis pada kebutuhan hukum yang hidup di masyarakat living law.
Hikmahanto Juwana guru besar ilmu Hukum Universitas Indonesia juga memberikan konsep pendidikan hukum kedepannya agar profesionalitas akademisi dan praktisi hukum semakin menjadi lebih baik secara kualitas dan seimbang dari aspek kuantitas, yaitu.
Pertama, Menetralkan tujuan pendidikan hukum. Kedua, pemisahan tegas antara pendidikan hukum akademis dan profesi (praktisi). Ketiga kurikulum berbasis kompetensi. Keempat pendidikan pasca. Ke depannya rumusan aturan terkait jenjang karier praktisi hukum menjadi lebih terstruktur antarseluruh penegak hukum yang diatur undang-undang.
Sebagai negara hukum, Indonesia harus memperjelas arah dunia pendidikan hukum, khususnya dalam menjalankan tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat). Ketiga hal tersebut harus dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban peran pendidikan tinggi.
Terkait dengan tugas pendidikan, kita perlu melihat bagaimana kurikulum yang digunakan akan menghasilkan mahasiswa sebagai lulusan dan sesuai dengan profile yang diharapkan (cakap dalam bidang hukum, mempunyai Integritas dan bisa bertanggung jawab terhadap profesi yang diembannya).
(bmm)