Kembali Marak, Negara Harus Lindungi Anak dari Kejahatan Seksual
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anak-anak makin rentan menjadi korban kejahatan seksual . Kasus anak yang menjadi korban predator seksual muncul di banyak daerah dalam beberapa bulan terakhir. Negara perlu lebih tegas agar kasus kejahatan seksual terhadap anak ini bisa segera dihentikan.
Beberapa kasus yang menyita perhatian publik belakangan ini di antaranya kasus pemerkosaan terhadap NF (14) di Lampung Timur. Anak ini diperkosa oleh DA yang merupakan kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur. NF berada di tempat itu sejak Maret 2020 karena dititipkan oleh orang tuanya.
Kasus lain terjadi di Depok. Di tempat ini sejumlah anak-anak menjadi korban pencabulan oleh oknum pengurus Gereja Paroki Santo Herkulanus berinisial SPM. Hasil investigasi menunjukkan ada puluhan anak-anak yang dicabuli pelaku. Korbannya adalah anak-anak yang aktif dalam kegiatan misdinar di gereja tersebut. SPM berperan sebagai pembina kegiatan itu sejak awal 2000-an. SPM ditangkap polisi pada 14 Juni lalu.
Kasus lain menimpa seorang gadis berusia 16 tahun asal Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dia diperkosa tujuh pemuda setelah dicekoki minuman keras pada 30 Juni lalu. Kasus ini sedang ditangani Polres Garut. Di Pasuruan, Jawa Timur, bocah RH, usia lima tahun, diperkosa dan dibunuh pada 7 Juli lalu. Pelaku adalah pasangan suami-istri yang juga tetangga korban. (Baca: Kasus Oknum Pendeta Cabul, Lembaga Pemerhati Anak: Terdakwa Harus Dihukum Maksimal)
Pekerja pada Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Reza Indragiri Amriel mengatakan, UU Nomor 17 Tahun 2016 sebenarnya sudah tegas. Namun, ada masalah pada implementasinya karena terjadi silang sengketa antarpasal di UU tersebut. Reza mengaku sudah menyampaikan kepada ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA bahwa UU 17/2016 tidak bisa diterapkan.
“Saya tantang mereka untuk sajikan data, sudah berapa banyak kasus dan pelaku yang sudah dieksekusi berdasarkan UU Nomor 17/2016. Pasti belum ada,” ujar dosen perlindungan anak di sejumlah lembaga pendidikan dan pelatihan kedinasan ini saat dihubungi kemarin.
Untuk itu, dia meminta agar dilakukan reviu terhadap UU 35/2014 yang kemudian menjadi UU 17/2016, dan UU 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain itu, peraturan pemerintah tentang restitusi juga perlu ditinjau.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto sangat menyayangkan terjadi kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak, termasuk di Lampung yang menjadi perbincangan publik. Susanto pun meminta aparat hukum mengusut kasus ini sehingga pelaku bisa diadili dan korban bisa sembuh dari trauma. “Usut tuntas siapa yang terlibat dan korbannya segera mendapatkan rehabilitasi secara tuntas,” tegasnya kemarin.
Mengenai apakah penegakan hukum di Indonesia lemah sehingga predator anak makin merajalela, dia menilai Indonesia telah memiliki UU Nomor 17 Tahun 20116 tentang Perlindungan Anak yang sudah sangat tegas dalam melindungi anak di Indonesia. Namun, dia menyebut penerapan pasal UU tersebut yang masih harus menjadi perhatian. “Saat ini yang perlu dilakukan adalah mengawal dengan ketat penerapan atas peraturan perundangan itu,” ujarnya. (Baca juga: Banyak Dapat pengaduan Pelecehan Seksual, Sahroni Tekankan Pengtingnya RUU PKS)
Sayangnya, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) justru ditarik pembahasannya oleh DPR. Padahal, RUU PKS dirancang satu di antaranya untuk mendorong pemerintah pusat dan daerah menyelenggarakan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, termasuk anak-anak. Dalam RUU PKS mengatur soal kewajiban negara mengalokasikan dana penyelenggaraan perlindungan korban. Perlu ada pembenahan pada lembaga seperti P2TP2A. Kasus yang menimpa NF membuktikan bahwa ada persoalan pada sistem rekrutmen dan kompetensi para petugas lembaga tersebut.
Beberapa kasus yang menyita perhatian publik belakangan ini di antaranya kasus pemerkosaan terhadap NF (14) di Lampung Timur. Anak ini diperkosa oleh DA yang merupakan kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur. NF berada di tempat itu sejak Maret 2020 karena dititipkan oleh orang tuanya.
Kasus lain terjadi di Depok. Di tempat ini sejumlah anak-anak menjadi korban pencabulan oleh oknum pengurus Gereja Paroki Santo Herkulanus berinisial SPM. Hasil investigasi menunjukkan ada puluhan anak-anak yang dicabuli pelaku. Korbannya adalah anak-anak yang aktif dalam kegiatan misdinar di gereja tersebut. SPM berperan sebagai pembina kegiatan itu sejak awal 2000-an. SPM ditangkap polisi pada 14 Juni lalu.
Kasus lain menimpa seorang gadis berusia 16 tahun asal Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dia diperkosa tujuh pemuda setelah dicekoki minuman keras pada 30 Juni lalu. Kasus ini sedang ditangani Polres Garut. Di Pasuruan, Jawa Timur, bocah RH, usia lima tahun, diperkosa dan dibunuh pada 7 Juli lalu. Pelaku adalah pasangan suami-istri yang juga tetangga korban. (Baca: Kasus Oknum Pendeta Cabul, Lembaga Pemerhati Anak: Terdakwa Harus Dihukum Maksimal)
Pekerja pada Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Reza Indragiri Amriel mengatakan, UU Nomor 17 Tahun 2016 sebenarnya sudah tegas. Namun, ada masalah pada implementasinya karena terjadi silang sengketa antarpasal di UU tersebut. Reza mengaku sudah menyampaikan kepada ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA bahwa UU 17/2016 tidak bisa diterapkan.
“Saya tantang mereka untuk sajikan data, sudah berapa banyak kasus dan pelaku yang sudah dieksekusi berdasarkan UU Nomor 17/2016. Pasti belum ada,” ujar dosen perlindungan anak di sejumlah lembaga pendidikan dan pelatihan kedinasan ini saat dihubungi kemarin.
Untuk itu, dia meminta agar dilakukan reviu terhadap UU 35/2014 yang kemudian menjadi UU 17/2016, dan UU 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain itu, peraturan pemerintah tentang restitusi juga perlu ditinjau.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto sangat menyayangkan terjadi kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak, termasuk di Lampung yang menjadi perbincangan publik. Susanto pun meminta aparat hukum mengusut kasus ini sehingga pelaku bisa diadili dan korban bisa sembuh dari trauma. “Usut tuntas siapa yang terlibat dan korbannya segera mendapatkan rehabilitasi secara tuntas,” tegasnya kemarin.
Mengenai apakah penegakan hukum di Indonesia lemah sehingga predator anak makin merajalela, dia menilai Indonesia telah memiliki UU Nomor 17 Tahun 20116 tentang Perlindungan Anak yang sudah sangat tegas dalam melindungi anak di Indonesia. Namun, dia menyebut penerapan pasal UU tersebut yang masih harus menjadi perhatian. “Saat ini yang perlu dilakukan adalah mengawal dengan ketat penerapan atas peraturan perundangan itu,” ujarnya. (Baca juga: Banyak Dapat pengaduan Pelecehan Seksual, Sahroni Tekankan Pengtingnya RUU PKS)
Sayangnya, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) justru ditarik pembahasannya oleh DPR. Padahal, RUU PKS dirancang satu di antaranya untuk mendorong pemerintah pusat dan daerah menyelenggarakan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, termasuk anak-anak. Dalam RUU PKS mengatur soal kewajiban negara mengalokasikan dana penyelenggaraan perlindungan korban. Perlu ada pembenahan pada lembaga seperti P2TP2A. Kasus yang menimpa NF membuktikan bahwa ada persoalan pada sistem rekrutmen dan kompetensi para petugas lembaga tersebut.