Kajati DKI Apresiasi Ide Pembentukan UU Restorative Justice

Rabu, 18 Januari 2023 - 21:11 WIB
Kajati DKI Jakarta Reda Manthovani memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Rabu (18/1/2023). Foto: MPI/Hambali
TANGERANG SELATAN - Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta Reda Manthovani mengapresiasi ide pembentukan UU Restorative Justice (RJ) demi kepentingan masyarakat luas. Dia memaparkan pelaksanaan RJ yang terus berjalan di masing-masing institusi.

"Ini namanya ide, wacana, terserah Forsiladi mau dikirim ke DPR, Baleg. Karena ini bukan masalah kepentingannya kepolisian, bukannya kepentingan kejaksaan atau peradilan, tapi ini kepentingannya negara dan bangsa, masyarakat, rakyat yang terlibat permasalahan hukum sehingga tidak berlarut-larut," ujar Reda di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Rabu (18/1/2023).

Baca juga: Restorative Justice, Ijtihad Moderat untuk Keadilan



"Diharapkan proses itu, tata cara tersebut oleh Forsiladi menjadi sebuah undang-undang, diatur dalam undang-undang. Tidak diatur menurut aturan secara parsial, melalui peraturan kepolisian, peraturan kejaksaan maupun Mahkamah Agung. Beda-beda nanti. Kalau diatur dalam undang-undang, itu jadi hukum acara tersendiri," tambahnya.

Selama tahun 2022 kejaksaan telah menerapkan RJ terhadap 1.454 perkara. Dengan langkah itu, pengeluaran keuangan negara bisa lebih efisien. Bahkan, otomatis turut menekan jumlah penghuni penjara yang over capacity.

"Karena saat ini Lapas kapasitasnya penuh, 500 persen, sudah overload. Dengan mengaktifkan RJ maka diharapkan beberapa tahun ke depan menurun," ucapnya.

Penerapan RJ perlu diperkuat UU yang mengaturnya. Sementara ini, pelaksanaannya masih parsial karena hanya mengacu pada peraturan yang ada di beberapa institusi seperti polisi, kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Mahkamah Agung.

RJ atau keadilan restoratif merupakan prinsip penyelesaian perkara dengan lebih menekankan pemulihan kembali daripada menuntut adanya hukuman dari pengadilan. Upaya itu mengacu pada Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 dan juga Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020.

"Di MA punya aturan, di kepolisian ada aturan, di Kumham juga ada aturan, lantas di kejaksaan juga ada aturan. Jadi kayak terpisah-pisah, tapi memang saling menguatkan," ujar Ketua Forum Silaturahmi Doktor se-Indonesia (Forsiladi) Taufiqurokhman.

Dia menilai akan lebih efektif jika RJ memiliki payung hukum secara global berupa UU. Sehingga, pada praktiknya RJ tak lagi berdasarkan ketentuan parsial di masing-masing institusi yang bisa saja dipersoalkan kembali jika rezim berganti.
(jon)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More