Uji Formil dan Materiil UU COVID-19, Pemohon Persoalkan Rapat Digelar Secara Virtual
Rabu, 08 Juli 2020 - 23:58 WIB
JAKARTA - Pemohon perkara uji formil dan materiil Undang-Undang (UU) COVID-19 mempersoalkan rapat paripurna pengesahan dilakukan secara virtual. Kuasa hukum pemohon saat sidang di Mahkamah Konstitusi , Rabu (8/7/2020), menyebutkan bahwa rapat paripurna pengesahan dan penetapan UU COVID-19 yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani yang diselenggarakan secara virtual jelas tidak memiliki dasar aturan yang kuat dan mengikat.
Kuasa para pemohon Nomor perkara: 37/PUU-XVIII/2020, yakni Violla Reininda mengatakan, rapat paripurna pengesahan dan penetapan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi UU 2 Tahun 2020 (UU COVID-19) dilakukan secara virtual pada Selasa (12/5/2020).
Berdasarkan data kehadiran para anggota DPR saat rapat virtual tersebut 255 anggota mengikuti secara virtual dan 41 orang hadir secara fisik di Gedung Parlemen. Violla menyatakan, sampai saat ini tata tertib DPR sehubungan dengan RDP maupun rapat paripurna juga belum jelas. (Baca juga; Dua Pemohon Minta Mahkamah Konstitusi Batalkan UU COVID-19 )
Bagi pemohon, kata Violla, keikutsertaan anggota DPR saat rapat paripurna secara virtual untuk pengesahan dan penetapan UU COVID-19 bukanlah kehadiran yang benar-benar kongkret. Bahkan yang hadir secara fisik, beberapa di antaranya hanya titip absen.
"Apalagi saat itu, ketika Ketua DPR Puan Maharani memperbolehkan rapat dilakukan melalui streaming di Kanal TV Parlemen. Ini akan mempersulit bagaimana memastikan yang bersangkutan (anggota DPR) hadir di dalam pengambilan keputusan dan rapat-rapat. Dalam pandangan kami, ini telah melanggar Pasal 1 ayat (2) karena tidak bisa memberikan kepastian hukum tentang kehadiran kongkrit dari para anggota DPR," ujar Violla.
Viola menegaskan, fakta ini disampaikan bukan berarti pihak pemohon resistensi dengan penggunaan dan pemanfaatan teknologi. Menurut Violla, pihaknya ingin mendorong penggunaan teknologi dan digitalisasi di masa pandemi COVID-19 sangat perlu dilakukan, tetapi harus ada ketegasan dan juga dasar-dasar hukum yang kuat. "Serta, kehendak atau keinginan dari individu-individunya untuk menaati aturan-aturan yang ada," ucapnya.
Kuasa para pemohon Nomor perkara: 38/PUU-XVIII/2020, yaitu Boyamin Saiman menambahkan, rapat paripurna pengesahan dan penetapan UU COVID-19 yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani yang diselenggarakan secara virtual jelas tidak memiliki dasar aturan yang kuat dan mengikat. Pelaksanaan rapat paripurna secara virtual juga menunjukkan bahwa DPR terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Seharusnya rapat paripurna untuk pengesahan dilakukan pada masa sidang berikutnya.
Saat rapat paripurna dengan kehadiran virtual lebih 250 orang anggota DPR, Puan hanya menanyakan apakah kepada para peserta rapat virtual maupun yang hadir secara fisik sekitar 40 orang apakah setuju atau tidak. Akibatnya mereka secara mayoritas menyatakan setuju kemudian diketok palu oleh Puan.
Padahal sejak proses awal hingga saat paripurna, menyatakan menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU. Harusnya ketika ada ketidaksetujuan dari Fraksi PKS, mekanisme yang ditempuh adalah voting dan bukan langsung diketok palu oleh Puan. "Kami lampirkan bukti video Puan Maharani saat mengetok pengesahan itu," tegas Boyamin. (Baca juga; Persaingan Tak Sehat, MA Hukum Waskita Karya dan Adhi Karya Bayar Rp7,64 Miliar )
Diketahui ada dua pemohon uji formil dan materiil Undang-Undang (UU) COVID-19. Pertama pemohon dengan nomor perkara: 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dalam hal ini diwakili oleh Fransisca Fitri Kurnia Sri selaku Direktur Eksekutif (Pemohon I), pegiat advokasi keterbukaan informasi publik Desiana Samosir (Pemohon II), peneliti dan pegiat dalam advokasi anggaran publik Muhammad Maulana (Pemohon III), dan Presidium Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulawesi Selatan Syamsuddin Alimsyah (Pemohon IV). Kuasa para pemohon yakni Violla Reininda dkk.
Kemudian, pemohon dengan nomor perkara: 38/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sebagai Pemohon I, Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 sebagai Pemohon II, Lembaga Kerukunan Masayarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) sebagai Pemohon III, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) sebagai Pemohon IV, dan Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) sebagai Pemohon V. Kuasa para pemohon yaitu Boyamin Saiman, Kurniawan Adi Nugroho, dkk.
Kuasa para pemohon Nomor perkara: 37/PUU-XVIII/2020, yakni Violla Reininda mengatakan, rapat paripurna pengesahan dan penetapan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi UU 2 Tahun 2020 (UU COVID-19) dilakukan secara virtual pada Selasa (12/5/2020).
Berdasarkan data kehadiran para anggota DPR saat rapat virtual tersebut 255 anggota mengikuti secara virtual dan 41 orang hadir secara fisik di Gedung Parlemen. Violla menyatakan, sampai saat ini tata tertib DPR sehubungan dengan RDP maupun rapat paripurna juga belum jelas. (Baca juga; Dua Pemohon Minta Mahkamah Konstitusi Batalkan UU COVID-19 )
Bagi pemohon, kata Violla, keikutsertaan anggota DPR saat rapat paripurna secara virtual untuk pengesahan dan penetapan UU COVID-19 bukanlah kehadiran yang benar-benar kongkret. Bahkan yang hadir secara fisik, beberapa di antaranya hanya titip absen.
"Apalagi saat itu, ketika Ketua DPR Puan Maharani memperbolehkan rapat dilakukan melalui streaming di Kanal TV Parlemen. Ini akan mempersulit bagaimana memastikan yang bersangkutan (anggota DPR) hadir di dalam pengambilan keputusan dan rapat-rapat. Dalam pandangan kami, ini telah melanggar Pasal 1 ayat (2) karena tidak bisa memberikan kepastian hukum tentang kehadiran kongkrit dari para anggota DPR," ujar Violla.
Viola menegaskan, fakta ini disampaikan bukan berarti pihak pemohon resistensi dengan penggunaan dan pemanfaatan teknologi. Menurut Violla, pihaknya ingin mendorong penggunaan teknologi dan digitalisasi di masa pandemi COVID-19 sangat perlu dilakukan, tetapi harus ada ketegasan dan juga dasar-dasar hukum yang kuat. "Serta, kehendak atau keinginan dari individu-individunya untuk menaati aturan-aturan yang ada," ucapnya.
Kuasa para pemohon Nomor perkara: 38/PUU-XVIII/2020, yaitu Boyamin Saiman menambahkan, rapat paripurna pengesahan dan penetapan UU COVID-19 yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani yang diselenggarakan secara virtual jelas tidak memiliki dasar aturan yang kuat dan mengikat. Pelaksanaan rapat paripurna secara virtual juga menunjukkan bahwa DPR terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Seharusnya rapat paripurna untuk pengesahan dilakukan pada masa sidang berikutnya.
Saat rapat paripurna dengan kehadiran virtual lebih 250 orang anggota DPR, Puan hanya menanyakan apakah kepada para peserta rapat virtual maupun yang hadir secara fisik sekitar 40 orang apakah setuju atau tidak. Akibatnya mereka secara mayoritas menyatakan setuju kemudian diketok palu oleh Puan.
Padahal sejak proses awal hingga saat paripurna, menyatakan menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU. Harusnya ketika ada ketidaksetujuan dari Fraksi PKS, mekanisme yang ditempuh adalah voting dan bukan langsung diketok palu oleh Puan. "Kami lampirkan bukti video Puan Maharani saat mengetok pengesahan itu," tegas Boyamin. (Baca juga; Persaingan Tak Sehat, MA Hukum Waskita Karya dan Adhi Karya Bayar Rp7,64 Miliar )
Diketahui ada dua pemohon uji formil dan materiil Undang-Undang (UU) COVID-19. Pertama pemohon dengan nomor perkara: 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dalam hal ini diwakili oleh Fransisca Fitri Kurnia Sri selaku Direktur Eksekutif (Pemohon I), pegiat advokasi keterbukaan informasi publik Desiana Samosir (Pemohon II), peneliti dan pegiat dalam advokasi anggaran publik Muhammad Maulana (Pemohon III), dan Presidium Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulawesi Selatan Syamsuddin Alimsyah (Pemohon IV). Kuasa para pemohon yakni Violla Reininda dkk.
Kemudian, pemohon dengan nomor perkara: 38/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sebagai Pemohon I, Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 sebagai Pemohon II, Lembaga Kerukunan Masayarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) sebagai Pemohon III, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) sebagai Pemohon IV, dan Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) sebagai Pemohon V. Kuasa para pemohon yaitu Boyamin Saiman, Kurniawan Adi Nugroho, dkk.
(wib)
Lihat Juga :
tulis komentar anda