Mencari Format Terbaik Alokasi Kuota Haji
Sabtu, 12 November 2022 - 09:13 WIB
Cara kedua adalah mengalokasikan kuota berdasarkan jumlah daftar tunggu. Pasal 13 ayat (2) mengatur dua opsi pembagian kuota haji Indonesia. Pertama, proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi. Ini adalah opsi yang selama ini digunakan untuk membagi kuota haji Indonesia menjadi kuota provinsi. Semakin banyak jumlah penduduk muslim sebuah daerah, semakin besar kuota yang diterima.
Opsi berikutnya adalah membagi kuota berdasarkan proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi. Semakin banyak daftar tunggu sebuah daerah, semakin banyak kuota yang diterima. Opsi ini pernah digunakan untuk mengalokasikan 10.000 kuota tambahan pada tahun 2019. Sementara kuota utamanya masih berdasarkan proporsi penduduk muslim.
Secara umum dapat dikatakan, jumlah penduduk muslim suatu daerah bukanlah satu-satunya faktor penentu jumlah pendaftar haji di daerah tersebut. Masih ada faktor lain yang menjadi penentu animo mendaftar haji, antara lain tingkat kesejahteraan dan kondisi sosial budaya di daerah.
Karenanya, pembagian kuota berdasarkan penduduk muslim sebuah daerah dapat dirasakan kurang adil. Beberapa daerah memiliki kuota besar, tapi pendaftarnya sedikit, sebaliknya ada yang kuota sedikit tetapi pendaftarnya banyak.
Pengalokasian kuota berdasarkan jumlah daftar tunggu menjadi opsi yang menarik untuk dipertimbangkan karena sebanding dengan kebutuhan masing-masing daerah. Jika opsi ini diambil, akan terjadi pergeseran kuota antarprovinsi dan mencapai titik tengah rata-rata nasional, yaitu 28 tahun. Jamaah mendaftar di provinsi manapun akan sama masa tunggunya, 28 tahun. Sekalipun kemudian dialokasikan ke kuota kabupaten/kota, mayoritas (82,2%) akan ada di angka 28 tahun.
Konsekuensinya, terjadi pergeseran kuota yang cukup besar antarprovinsi. Ada 10 provinsi yang mendapatkan tambahan kuota, sedangkan 24 provinsi lainnya akan berkurang. Tiga besar yang mendapatkan penambahan adalah Jatim, Jateng, dan Sulsel. Di sisi lain, tiga besar provinsi yang akan berkurang adalah Jabar, Sumut, dan Lampung.
Dibandingkan opsi pertama yang meniadakan alokasi kuota kabupaten/kota, opsi kedua kemungkinan akan menimbulkan resistensi lebih besar dari provinsi yang berkurang kuotanya. Sekalipun lebih berkeadilan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas.
Pergeseran kuota antarprovinsi nantinya akan menentukan skema layanan haji berikutnya, antara lain layanan embarkasi, manasik, kloter, proses visa, serta petugas haji antar provinsi. Namun, opsi apapun yang diambil, keduanya memiliki landasan hukum. Termasuk jika akan tetap menggunakan alokasi seperti yang dilakukan saat ini dengan rentang masa tunggu yang masih timpang.
Opsi berikutnya adalah membagi kuota berdasarkan proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi. Semakin banyak daftar tunggu sebuah daerah, semakin banyak kuota yang diterima. Opsi ini pernah digunakan untuk mengalokasikan 10.000 kuota tambahan pada tahun 2019. Sementara kuota utamanya masih berdasarkan proporsi penduduk muslim.
Secara umum dapat dikatakan, jumlah penduduk muslim suatu daerah bukanlah satu-satunya faktor penentu jumlah pendaftar haji di daerah tersebut. Masih ada faktor lain yang menjadi penentu animo mendaftar haji, antara lain tingkat kesejahteraan dan kondisi sosial budaya di daerah.
Karenanya, pembagian kuota berdasarkan penduduk muslim sebuah daerah dapat dirasakan kurang adil. Beberapa daerah memiliki kuota besar, tapi pendaftarnya sedikit, sebaliknya ada yang kuota sedikit tetapi pendaftarnya banyak.
Pengalokasian kuota berdasarkan jumlah daftar tunggu menjadi opsi yang menarik untuk dipertimbangkan karena sebanding dengan kebutuhan masing-masing daerah. Jika opsi ini diambil, akan terjadi pergeseran kuota antarprovinsi dan mencapai titik tengah rata-rata nasional, yaitu 28 tahun. Jamaah mendaftar di provinsi manapun akan sama masa tunggunya, 28 tahun. Sekalipun kemudian dialokasikan ke kuota kabupaten/kota, mayoritas (82,2%) akan ada di angka 28 tahun.
Konsekuensinya, terjadi pergeseran kuota yang cukup besar antarprovinsi. Ada 10 provinsi yang mendapatkan tambahan kuota, sedangkan 24 provinsi lainnya akan berkurang. Tiga besar yang mendapatkan penambahan adalah Jatim, Jateng, dan Sulsel. Di sisi lain, tiga besar provinsi yang akan berkurang adalah Jabar, Sumut, dan Lampung.
Dibandingkan opsi pertama yang meniadakan alokasi kuota kabupaten/kota, opsi kedua kemungkinan akan menimbulkan resistensi lebih besar dari provinsi yang berkurang kuotanya. Sekalipun lebih berkeadilan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas.
Pergeseran kuota antarprovinsi nantinya akan menentukan skema layanan haji berikutnya, antara lain layanan embarkasi, manasik, kloter, proses visa, serta petugas haji antar provinsi. Namun, opsi apapun yang diambil, keduanya memiliki landasan hukum. Termasuk jika akan tetap menggunakan alokasi seperti yang dilakukan saat ini dengan rentang masa tunggu yang masih timpang.
(ynt)
tulis komentar anda