GPM, Stigma 'Jadul' Penjaga Marhaenisme
Jum'at, 11 November 2022 - 10:08 WIB
Situasi ini merupakan salah satu buah dari kebijakan Orba yang mengutamakan pendekatan ekonomi dan stabilitas politik. Kedua aspek tersebut adalah mantra Orba. Jargon “pembangunanisme” dirumuskan sebagai narasi besar bernegara sekaligus mengabaikan aspek fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara seperti ideologi.
Meski demikian, kita tidak dapat sepenuhnya menumpahkan kepada Orba, segala penyebab yang membuat organisasi kepemudaan mati suri serta anak-anak muda yang mengalami tuna ideologi. Selain era Orba sudah lewat, lebih penting dari hal itu, harus ada “kritik oto kritik” internal organisasi.
Pertanyaan besarnya, apakah marhaenisme masih relevan dengan realitas kekinian? Ideologi itu digagas Bung Karno pada akhir abad ke 20, sebagai perlawanan terhadap kapitalisme pada masa itu. Disisi lain, dunia terus berputar dan jaman berubah. Diabad ke 21, kapitalisme tumbuh dalam wajah kapitalisme baru.
Dilahirkan dari rahim revolusi industri 4.0, kapitalisme abad 21 ini, sangat berbeda karakter dengan kapitalisme lama. Salah satu pembedanya adalah “kapitalisme percaloan”, sebagai ciri khas kapitalisme lama, telah ditinggalkan. Percaloan itu membuahkan inefisiensi dan hanya menguntungkan kaum “middleman” atau kelompok pemburu rente.
Transparansi dan efisiensi merupakan kata kunci kapitalisme baru. Konsekuensinya, pemburu rente mulai terdesak. Mereka menjadi kaya karena mengambil keuntungan dari inefisiensi, praktik suap, pengaturan regulasi, penghilangan kompetisi usaha, dan sebagainya. Perubahan karakter kapitalisme ini mengancam sumber-sumber kekayaan pemburu rente. Model kapitalisme lama inilah musuh besar marhaenisme.
Dalam konteks itu, jangan sampai GPM ikut menari dalam gendang para pemburu rente yang menggunakan jargon-jargon nasionalisme, seperti “neo-liberal, anti asing/aseng” dan sebagainya, yang sebenarnya bagian dari “kemasan/jualan” para pemburu rente dalam upaya menyelamatkan diri.
Tantangan lainnya adalah panduan bagi kita dalam menyikapi masalah terbesar manusia hari ini, yaitu keruntuhan ekologi dan disrupsi teknologi. Saat ini kita melihat banyak sekali terobosan baru di bidang teknologi, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), “internet of things”, komputasi kuantum inovasi buah revolusi industri IV dan sebagainya.
Situasi saat ini disebut Yuval Noah Harari, sebagai revolusi kembar teknologi informasi (infotek) dan teknologi biologis (biotek). Pada saat keduanya menjadi satu, akan menghasilkan algoritma big data yang dapat memonitor dan memahami perasaan manusia jauh lebih baik dari yang manusia sendiri. Tantangan dan situasi ini jauh lebih kompleks.
Karena itu, kita memerlukan visi baru untuk merespon perkembangan tersebut. Akankah itu kita dapatkan dari Marhaenisme? Jika hanya bertumpu pada narasi lama tentang marhaenisme, pasti tidak akan menemukan jawabannya.
Selamat rakernas bagi para aktivis GPM!
Meski demikian, kita tidak dapat sepenuhnya menumpahkan kepada Orba, segala penyebab yang membuat organisasi kepemudaan mati suri serta anak-anak muda yang mengalami tuna ideologi. Selain era Orba sudah lewat, lebih penting dari hal itu, harus ada “kritik oto kritik” internal organisasi.
Pertanyaan besarnya, apakah marhaenisme masih relevan dengan realitas kekinian? Ideologi itu digagas Bung Karno pada akhir abad ke 20, sebagai perlawanan terhadap kapitalisme pada masa itu. Disisi lain, dunia terus berputar dan jaman berubah. Diabad ke 21, kapitalisme tumbuh dalam wajah kapitalisme baru.
Dilahirkan dari rahim revolusi industri 4.0, kapitalisme abad 21 ini, sangat berbeda karakter dengan kapitalisme lama. Salah satu pembedanya adalah “kapitalisme percaloan”, sebagai ciri khas kapitalisme lama, telah ditinggalkan. Percaloan itu membuahkan inefisiensi dan hanya menguntungkan kaum “middleman” atau kelompok pemburu rente.
Transparansi dan efisiensi merupakan kata kunci kapitalisme baru. Konsekuensinya, pemburu rente mulai terdesak. Mereka menjadi kaya karena mengambil keuntungan dari inefisiensi, praktik suap, pengaturan regulasi, penghilangan kompetisi usaha, dan sebagainya. Perubahan karakter kapitalisme ini mengancam sumber-sumber kekayaan pemburu rente. Model kapitalisme lama inilah musuh besar marhaenisme.
Dalam konteks itu, jangan sampai GPM ikut menari dalam gendang para pemburu rente yang menggunakan jargon-jargon nasionalisme, seperti “neo-liberal, anti asing/aseng” dan sebagainya, yang sebenarnya bagian dari “kemasan/jualan” para pemburu rente dalam upaya menyelamatkan diri.
Tantangan lainnya adalah panduan bagi kita dalam menyikapi masalah terbesar manusia hari ini, yaitu keruntuhan ekologi dan disrupsi teknologi. Saat ini kita melihat banyak sekali terobosan baru di bidang teknologi, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), “internet of things”, komputasi kuantum inovasi buah revolusi industri IV dan sebagainya.
Situasi saat ini disebut Yuval Noah Harari, sebagai revolusi kembar teknologi informasi (infotek) dan teknologi biologis (biotek). Pada saat keduanya menjadi satu, akan menghasilkan algoritma big data yang dapat memonitor dan memahami perasaan manusia jauh lebih baik dari yang manusia sendiri. Tantangan dan situasi ini jauh lebih kompleks.
Karena itu, kita memerlukan visi baru untuk merespon perkembangan tersebut. Akankah itu kita dapatkan dari Marhaenisme? Jika hanya bertumpu pada narasi lama tentang marhaenisme, pasti tidak akan menemukan jawabannya.
Selamat rakernas bagi para aktivis GPM!
tulis komentar anda