Nilai Kepahlawanan dalam Olahraga
Jum'at, 11 November 2022 - 08:58 WIB
Kedua, dimensi disiplin dan sportivitas merupakan perwujudan karakter mentalitas budaya prestasi para patriot olahraga. Disiplin terkait dengan integritas, komitmen, serta loyalitas. Sedangkan sportivitas mengarah pada cara-cara objektif dan berdaya saing tinggi dalam mencapai tujuan. Disiplin dan sportivitas merupakan pencerminan karakter kepahlawanan.
Raksasa Tidur
Keteladanan nilai kepahlawanan olahraga masih terlihat sebagai “raksasa tidur”, tampak masih terlalu kecil dibanding potensinya secara faktual. Euforia dan gegap gempita nilai kebanggaan seolah semakin menurun seiring dengan masa-masa buruk terjadinya “musim paceklik” prestasi olahraga berkelas dunia.
Masyarakat pada umumnya secara spontan-kolektif memberikan penilaian keteladanan heroik berdasarkan capaian kemenangan. Mereka (terlanjur) terbiasa membuat kalkulasi nilai heroik berdasarkan outcome kalah atau menang.
Acapkali dalam perspektif yang demikian, julukan “pahlawan” itu hanya disematkan kepada yang (secara kebetulan) berhasil menang, sedangkan jika kalah (mungkin) biasa dianggap sebagai pecundang. Ironis, dan tentu diperlukan perubahan mindset akan arti sebuah keteladanan yang multidimensional.
Perubahan mindset publik atas sosok “pahlawan olahraga” merupakan perjuangan tersendiri bila esensi keolahragaan ditransformasikan secara lebih memultidimensional. Artinya, frasa kepahlawanan tidak sekadar tersekat mengerucut pada wilayah pilar olahraga prestasi secara an sich.
Esensi kepahlawanan olahraga akan makin luas maknanya jika kerangka pikir yang digunakan menggunakan dasar pilar lengkap olahraga yang meliputi olahraga prestasi, olahraga pendidikan, dan olahraga rekreasi/olahraga masyarakat. Setiap pilar olahraga tersebut memiliki karakteristik yang khas, sehingga esensi kepahlawanannya pun akan memiliki kriteria yang khas.
Pada pilar olahraga pendidikan misalnya, peran para guru olahraga menjadi komponen sentral dalam memberhasilkan misi pembentukan karakter kepahlawanan dalam olahraga. Bersyukur, sudah sejak dulu guru memang telah mendapatkan julukan mulia sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, walaupun predikat kepahlawanan guru tersebut kini terdengar samar-samar.
Namun, guru memang memiliki peran strategis sebagai role model bagi proses keteladan pada para siswanya, terutama terkait dengan mengemban misi literasi fisik. Literasi fisik merupakan prasyarat dasar untuk melipatgandakan probabilitas bagi kemunculan “pahlawan-pahlawan olahraga” di masa depan.
Pada pilar olahraga rekreasi (olahraga masyarakat), tentu saja banyak relawan dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpeluang untuk berkontribusi memberhasilkan peningkatan angka partisipasi masyarakat dalam proses peningkatan budaya olahraga.
Raksasa Tidur
Keteladanan nilai kepahlawanan olahraga masih terlihat sebagai “raksasa tidur”, tampak masih terlalu kecil dibanding potensinya secara faktual. Euforia dan gegap gempita nilai kebanggaan seolah semakin menurun seiring dengan masa-masa buruk terjadinya “musim paceklik” prestasi olahraga berkelas dunia.
Masyarakat pada umumnya secara spontan-kolektif memberikan penilaian keteladanan heroik berdasarkan capaian kemenangan. Mereka (terlanjur) terbiasa membuat kalkulasi nilai heroik berdasarkan outcome kalah atau menang.
Acapkali dalam perspektif yang demikian, julukan “pahlawan” itu hanya disematkan kepada yang (secara kebetulan) berhasil menang, sedangkan jika kalah (mungkin) biasa dianggap sebagai pecundang. Ironis, dan tentu diperlukan perubahan mindset akan arti sebuah keteladanan yang multidimensional.
Perubahan mindset publik atas sosok “pahlawan olahraga” merupakan perjuangan tersendiri bila esensi keolahragaan ditransformasikan secara lebih memultidimensional. Artinya, frasa kepahlawanan tidak sekadar tersekat mengerucut pada wilayah pilar olahraga prestasi secara an sich.
Esensi kepahlawanan olahraga akan makin luas maknanya jika kerangka pikir yang digunakan menggunakan dasar pilar lengkap olahraga yang meliputi olahraga prestasi, olahraga pendidikan, dan olahraga rekreasi/olahraga masyarakat. Setiap pilar olahraga tersebut memiliki karakteristik yang khas, sehingga esensi kepahlawanannya pun akan memiliki kriteria yang khas.
Pada pilar olahraga pendidikan misalnya, peran para guru olahraga menjadi komponen sentral dalam memberhasilkan misi pembentukan karakter kepahlawanan dalam olahraga. Bersyukur, sudah sejak dulu guru memang telah mendapatkan julukan mulia sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, walaupun predikat kepahlawanan guru tersebut kini terdengar samar-samar.
Namun, guru memang memiliki peran strategis sebagai role model bagi proses keteladan pada para siswanya, terutama terkait dengan mengemban misi literasi fisik. Literasi fisik merupakan prasyarat dasar untuk melipatgandakan probabilitas bagi kemunculan “pahlawan-pahlawan olahraga” di masa depan.
Pada pilar olahraga rekreasi (olahraga masyarakat), tentu saja banyak relawan dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpeluang untuk berkontribusi memberhasilkan peningkatan angka partisipasi masyarakat dalam proses peningkatan budaya olahraga.
tulis komentar anda