Subvarian Omicron XBB Muncul, Pemerintah Perlu Genjot Vaksin Booster
Kamis, 10 November 2022 - 12:09 WIB
JAKARTA - Vaksin booster untuk kelompok rentan perlu ditingkatkan menyusul kembali melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia. Lonjakan kasus ini ditengarai dipicu Subvarian XBB dari Omicron yang mulai menyebar. Hingga saat ini setidaknya telah ditemukan 18 kasusnya di Indonesia.
Berdasarkan data yang dirilis pemerintha, sejak akhir Oktober 2022, Pada 31 Oktober, angka penularan 2.457, lalu terkerek menjadi 4.707 sehari berselang. Kenaikan tidak berhenti hingga 4 November dan mencapai level 5.303. Kelegaan hanya berlangsung dua hari setelah kasus turun hingga mencapai 3.662. Namun, pada 8 November, kasus pun menanjak jadi 6.601, dan kemarin jadi 6.186.
Hingga saat ini belum dapat dipastikan apakah subvarian XBB memberi sumbangsih pada lonjakan kasus. Namun menurut Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), berkaca pada kasus di Singapura, subvarian XBB banyak menyerang kaum muda dengan rentang usia 20-39. Tidak hanya itu, mereka yang belum pernah terpapar Covid-19 justru lebih berisiko terinfeksi.
Epidemiolog dan peneliti dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman menjelaskan, subvarian XBB membahayakan karena menginfeksi masyarakat ketika kondisi mereka sedang rawan. Konteksnya adalah kondisi sebagian besar penduduk yang belum memperoleh booster. Apalagi, anak-anak berusia di bawah 6 tahun belum boleh divaksin sama sekali.
"Vaksin booster masih menjadi PR karena belum terlaksana memadai, mentok di 27%. Ini berbahaya. Terutama risiko pada kelompok-kelompok rawan," kata Dicky dalam keterangan tertulis, Kamis (10/11/2022).
Dia menilai booster harus digenjot. Sebab, subvarian XBB muncul di tengah modal imunitas yang semakin tergerus. Dia menduga naiknya angka kematian kemungkinan besar dipicu kasus XBB. Subvarian ini memiliki kemampuan menulari dan menerobos pertahanan tubuh yang telah terbentuk oleh vaksinasi maupun infeksi sebelumnya.
Kekhawatirannya bertambah karena subvarian ini menyerang kalangan muda, bahkan yang sempat tertular COVID-19 hingga dua kali. Kalau sudah begitu, kondisi mereka lebih rawan karena sudah seperti komorbid atau lansia yang daya tahan tubuhnya berkurang. "Ketika modal imunitas yang dicapai dengan booster terlambat dilakukan, kemungkinan angka kematian bisa lebih tinggi," ujarnya.
Untuk itu, Dicky berpesan pemerintah dan masyarakat perlu waspada. Metode 3 T harus kembali digalakkan: testing (menemukan kasus infeksi), tracing (menelusuri kasus), dan treatment (menindaklanjuti yang tertular). Masyarakat juga harus kembali menjalankan prosedur kesehatan secara ketat. Alhasil, jika ingin pandemi cepat selesai, perlu penanganan konsisten serta respons setara bagi semua daerah. Jika tidak demikian, virus niscaya leluasa menginfeksi dan cepat beradaptasi dengan penanganan yang telah dilakukan.
"Karena adanya subvarian baru ini akan sangat bergantung pada seberapa besar cakupan vaksinasi (booster) yang protektif di masyarakat," ujarnya. "Tapi, jika tetap abai dan prosedur kesehatan malah melonggar dan modal imunitas tak tercapai, akhir pandemi bisa mundur. Bahkan bisa saja muncul hal buruk, lahirnya varian lain," katanya.
Berdasarkan data yang dirilis pemerintha, sejak akhir Oktober 2022, Pada 31 Oktober, angka penularan 2.457, lalu terkerek menjadi 4.707 sehari berselang. Kenaikan tidak berhenti hingga 4 November dan mencapai level 5.303. Kelegaan hanya berlangsung dua hari setelah kasus turun hingga mencapai 3.662. Namun, pada 8 November, kasus pun menanjak jadi 6.601, dan kemarin jadi 6.186.
Hingga saat ini belum dapat dipastikan apakah subvarian XBB memberi sumbangsih pada lonjakan kasus. Namun menurut Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), berkaca pada kasus di Singapura, subvarian XBB banyak menyerang kaum muda dengan rentang usia 20-39. Tidak hanya itu, mereka yang belum pernah terpapar Covid-19 justru lebih berisiko terinfeksi.
Epidemiolog dan peneliti dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman menjelaskan, subvarian XBB membahayakan karena menginfeksi masyarakat ketika kondisi mereka sedang rawan. Konteksnya adalah kondisi sebagian besar penduduk yang belum memperoleh booster. Apalagi, anak-anak berusia di bawah 6 tahun belum boleh divaksin sama sekali.
"Vaksin booster masih menjadi PR karena belum terlaksana memadai, mentok di 27%. Ini berbahaya. Terutama risiko pada kelompok-kelompok rawan," kata Dicky dalam keterangan tertulis, Kamis (10/11/2022).
Dia menilai booster harus digenjot. Sebab, subvarian XBB muncul di tengah modal imunitas yang semakin tergerus. Dia menduga naiknya angka kematian kemungkinan besar dipicu kasus XBB. Subvarian ini memiliki kemampuan menulari dan menerobos pertahanan tubuh yang telah terbentuk oleh vaksinasi maupun infeksi sebelumnya.
Kekhawatirannya bertambah karena subvarian ini menyerang kalangan muda, bahkan yang sempat tertular COVID-19 hingga dua kali. Kalau sudah begitu, kondisi mereka lebih rawan karena sudah seperti komorbid atau lansia yang daya tahan tubuhnya berkurang. "Ketika modal imunitas yang dicapai dengan booster terlambat dilakukan, kemungkinan angka kematian bisa lebih tinggi," ujarnya.
Untuk itu, Dicky berpesan pemerintah dan masyarakat perlu waspada. Metode 3 T harus kembali digalakkan: testing (menemukan kasus infeksi), tracing (menelusuri kasus), dan treatment (menindaklanjuti yang tertular). Masyarakat juga harus kembali menjalankan prosedur kesehatan secara ketat. Alhasil, jika ingin pandemi cepat selesai, perlu penanganan konsisten serta respons setara bagi semua daerah. Jika tidak demikian, virus niscaya leluasa menginfeksi dan cepat beradaptasi dengan penanganan yang telah dilakukan.
"Karena adanya subvarian baru ini akan sangat bergantung pada seberapa besar cakupan vaksinasi (booster) yang protektif di masyarakat," ujarnya. "Tapi, jika tetap abai dan prosedur kesehatan malah melonggar dan modal imunitas tak tercapai, akhir pandemi bisa mundur. Bahkan bisa saja muncul hal buruk, lahirnya varian lain," katanya.
tulis komentar anda