Ahli Masalah PBNU dan Gus Yahya: Seputar R20 yang Disalahpahami
Selasa, 08 November 2022 - 22:14 WIB
Ketika menggagas penyelenggaraan forum para agamawan di Bali dan Yogyakarta itu, Gus Yahya dalam sekian tahun menemui banyak tokoh. Dalam dan luar negeri. Dari Eropa ke Amerika Serikat. Dari Asia Timur hingga negara-negara Gurun Sahara. Dari tokoh garis keras seperti David Saperstein hingga cendekiawan moderat seperti Ahmet T Kuru. Dari Partai Demokrat dan Republik di AS hingga Rabithah Alam Islami di KSA.
Dari rihlahnya itu, Gus Yahya sampai pada sejumlah postulat mengenai pentingnya segera dibangun pola pikir baru untuk mendapatkan cara-cara paling mendekati kebutuhan esesial manusia di abad ini. Sudut pandang yang digunakan, antara lain, adalah sejarah peperangan di masa Khilafah Umawiyah, Abasiyah, dan Utsmaniyah. Perang Eropa, Perang Dunia Pertama, dan Kedua. Hingga perang modern seperti Rusia melawan Ukraina.
Pada perang-perang tersebut, di manakah gerangan para agamawan berada? Atas dasar kepentingan politik dan kekuasaan, sejumlah agamawan berdiri bersama para penguasa. Lewat sejumlah ortodoksi yang ditafsir dari firman Tuhan, para oligarkh dan penguasa memetik rente politik. Semua upaya mempertahankan posisi politik dan kekuasaan, memperoleh justifikasi teologis. Banyak ulama fikih lahir di zaman perang, di era kekhilafahan itu.
Sebagaimana juga tidak sedikit daftar para pendeta, pastur, biksu menjadi bagian dari peperangan yang sama. Bahkan, Paus Urbanus II dicatat sejarah, mengambil peran besar dalam rangkaian Perang Salib. Penggunaan diktum jihad, misalnya, mendapati istidlalnya lewat ijtihad ulama fikih di zaman perang. Situasi saat ini, sudah jauh berbeda. Atas dasar itu, maka diktum-diktum tersebut butuh tafsir ulang.
Sebab, tujuan akhir semua pranata sosial dan sistem kemasyarakatan adalah demi menjaga dan melindungi jiwa manusia; satu di antara sejumlah "maqashidus syari'ah." Jika pada era perang, perbudakan merupakan suatu keniscayaan, maka dalam negara modern, hal itu dianggap tabu dan bertentangan dengan konsensus internasional. Terhadap ortodoksi semacam itu, semua partisipan dan delegasi di forum R20, sepakat mengafirmasi.
Pengakuan
Tunjukkan di mana pada masa-masa tertentu dalam sejarah peradaban manusia, ada sejumlah agamawan dengan puluhan hingga ratusan juta pengikut di belakang mereka, bertemu untuk duduk bersama. Bersama para agamawan dari agama-agama yang sepanjang tarikh kehidupan, selalu berhadap-hadapan atas dasar bisikan ayat dan firman suci. PBNU, sebagai inisiator, sudah menyiapkan semua.
Kecuali sesi tanya jawab antarpartisipan. Salah besar jika ada yang menduga akan ada kesempatan saling debat apalagi baku uji masing-masing ajaran. Forum R20 adalah mihrab pengakuan bagi para petinggi agama-agama. Selama dua hari, dari pagi hingga petang hari, satu satu berdiri di mihrab. Berbicara dari atas mimbar. Menyatakan pengakuan bahwa ada sejumlah masalah dalam doktrin agama hingga bisa menjelma dogma.
Permohonan maaf dan pertobatan seseorang, hanya mungkin bermakna jika didahului dengan pengakuan. Atas segala tindakan, penafsiran, dan pemaknaan yang bias mengenai ajaran tertentu dari agama. Pengakuan atas klaim dan merasa paling benar menangkap pesan dan kehendak Tuhan. Situasi kejiwaan semacam ini, terbukti paling kuat menghuni ruang-ruang batin terdalam kaum agama. Mematut diri sebagai wakil Tuhan dan juru bicara-Nya.
Apakah kaum agamawan terbebas dari salah dan ambisi? Apakah ajaran hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan, tak ada dalilnya dalam agama? Penaklukan wilayah oleh penguasa beragama tertentu atas wilayah beragama lain, selalu atas nama pesan agama. Pesan hasil penafsiran kaum agamawan pada masanya dan dijadikan landasan para penguasa politik, yang sudah tidak kampatipel di zaman sesudahnya.
Dari rihlahnya itu, Gus Yahya sampai pada sejumlah postulat mengenai pentingnya segera dibangun pola pikir baru untuk mendapatkan cara-cara paling mendekati kebutuhan esesial manusia di abad ini. Sudut pandang yang digunakan, antara lain, adalah sejarah peperangan di masa Khilafah Umawiyah, Abasiyah, dan Utsmaniyah. Perang Eropa, Perang Dunia Pertama, dan Kedua. Hingga perang modern seperti Rusia melawan Ukraina.
Pada perang-perang tersebut, di manakah gerangan para agamawan berada? Atas dasar kepentingan politik dan kekuasaan, sejumlah agamawan berdiri bersama para penguasa. Lewat sejumlah ortodoksi yang ditafsir dari firman Tuhan, para oligarkh dan penguasa memetik rente politik. Semua upaya mempertahankan posisi politik dan kekuasaan, memperoleh justifikasi teologis. Banyak ulama fikih lahir di zaman perang, di era kekhilafahan itu.
Sebagaimana juga tidak sedikit daftar para pendeta, pastur, biksu menjadi bagian dari peperangan yang sama. Bahkan, Paus Urbanus II dicatat sejarah, mengambil peran besar dalam rangkaian Perang Salib. Penggunaan diktum jihad, misalnya, mendapati istidlalnya lewat ijtihad ulama fikih di zaman perang. Situasi saat ini, sudah jauh berbeda. Atas dasar itu, maka diktum-diktum tersebut butuh tafsir ulang.
Sebab, tujuan akhir semua pranata sosial dan sistem kemasyarakatan adalah demi menjaga dan melindungi jiwa manusia; satu di antara sejumlah "maqashidus syari'ah." Jika pada era perang, perbudakan merupakan suatu keniscayaan, maka dalam negara modern, hal itu dianggap tabu dan bertentangan dengan konsensus internasional. Terhadap ortodoksi semacam itu, semua partisipan dan delegasi di forum R20, sepakat mengafirmasi.
Pengakuan
Tunjukkan di mana pada masa-masa tertentu dalam sejarah peradaban manusia, ada sejumlah agamawan dengan puluhan hingga ratusan juta pengikut di belakang mereka, bertemu untuk duduk bersama. Bersama para agamawan dari agama-agama yang sepanjang tarikh kehidupan, selalu berhadap-hadapan atas dasar bisikan ayat dan firman suci. PBNU, sebagai inisiator, sudah menyiapkan semua.
Kecuali sesi tanya jawab antarpartisipan. Salah besar jika ada yang menduga akan ada kesempatan saling debat apalagi baku uji masing-masing ajaran. Forum R20 adalah mihrab pengakuan bagi para petinggi agama-agama. Selama dua hari, dari pagi hingga petang hari, satu satu berdiri di mihrab. Berbicara dari atas mimbar. Menyatakan pengakuan bahwa ada sejumlah masalah dalam doktrin agama hingga bisa menjelma dogma.
Permohonan maaf dan pertobatan seseorang, hanya mungkin bermakna jika didahului dengan pengakuan. Atas segala tindakan, penafsiran, dan pemaknaan yang bias mengenai ajaran tertentu dari agama. Pengakuan atas klaim dan merasa paling benar menangkap pesan dan kehendak Tuhan. Situasi kejiwaan semacam ini, terbukti paling kuat menghuni ruang-ruang batin terdalam kaum agama. Mematut diri sebagai wakil Tuhan dan juru bicara-Nya.
Apakah kaum agamawan terbebas dari salah dan ambisi? Apakah ajaran hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan, tak ada dalilnya dalam agama? Penaklukan wilayah oleh penguasa beragama tertentu atas wilayah beragama lain, selalu atas nama pesan agama. Pesan hasil penafsiran kaum agamawan pada masanya dan dijadikan landasan para penguasa politik, yang sudah tidak kampatipel di zaman sesudahnya.
tulis komentar anda