Ahli Masalah PBNU dan Gus Yahya: Seputar R20 yang Disalahpahami
Selasa, 08 November 2022 - 22:14 WIB
Ishaq Zubaedi Raqib
Jurnalis Senior dan Ketua LTN--Lembaga Infokom dan Publikasi PBNU
DALAM setahun terakhir, paling kurang, ada pihak yang mendadak jadi sangat "ahli" mengenai masalah-masalah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) masa khidmah 2022-2027. Teristimewa penguasaan "ilmunya" atas hal-hal yang terkait Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf. Figur dan langkah Gus Yahya--sapaan KH Yahya Staquf, ditelisik dan diberi beragam perspektif melampaui batas "normal" yang jamak diketahui masyarakat.
Ketika menyatakan siap maju dalam Muktamar NU pada akhir Desember 2021 lalu di Bandar Lampung lalu, Gus Yahya dihadang dengan sejumlah isu. Salah satunya dia dianggap tidak bisa memenuhi kualifikasi karena tidak berangkat dari organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan NU. Dianggap anak terbuang dan karenanya tidak berhak memperoleh kesempatan maju dalam kontestasi di Muktamar. Tapi, Gus Yahya tetap melenggang dan terbukti menang.
***
Tiga dekade silam, orang mengenal nama Hans Bague (HB) Jassin. Atau yang lebih junior, Pamusuk Eneste. Keduanya disebut kritikus karena penguasaan mereka atas leksikon tokoh-tokon sastra nasional. Dari Pamusuk, orang-orang bisa mengenal, Utuy Tatang Sontani, misalnya. Atau nama Pramoedya Ananta Toer. Atau Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail. Atau generasi di bawahnya seperti cerpenis Korrie Layun Rampai.
Penulis mengenal dua nama ini sejak kelas 2 tsanawiyah di pondok. Kritikus macam Pamusuk Eneste, sudah lama tidak terdeteksi analisis dan karyanya. Digantikan oleh pegiat survei politik seperti Denny JA, Saiful Mujani, Hanta Yudha, Yunarto Wijaya atau Hasanuddin Ali. Nah, yang belakangan adalah kritikus soal PBNU dan Gus Yahya. Demikian luas coverage "ilmunya" soal PBNU hingga nyaris setiap niat baik, program dan agenda, diberi catatan, kritik, bahkan kecaman.
Soal R20
Bahkan dalam sehari dua, kritiknya deras mengalir. Seperti air bah yang tiada pilih-pilih sasaran. Diterjang. Tidak tampak dari perspektif yang dibuat bertujuan untuk mendapat feedback positif demi pengayaan apalagi untuk memberi perspektif. Sudut pandang yang digunakan, sering berangkat dari kaca mata politik. Tepatnya politik praktis dan politik kekuasaan. Dari sejumlah kritiknya, belum ditemui adanya diskursus yang memancing terjadinya dialektika. Termasuk masalah R20.
Jurnalis Senior dan Ketua LTN--Lembaga Infokom dan Publikasi PBNU
DALAM setahun terakhir, paling kurang, ada pihak yang mendadak jadi sangat "ahli" mengenai masalah-masalah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) masa khidmah 2022-2027. Teristimewa penguasaan "ilmunya" atas hal-hal yang terkait Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf. Figur dan langkah Gus Yahya--sapaan KH Yahya Staquf, ditelisik dan diberi beragam perspektif melampaui batas "normal" yang jamak diketahui masyarakat.
Ketika menyatakan siap maju dalam Muktamar NU pada akhir Desember 2021 lalu di Bandar Lampung lalu, Gus Yahya dihadang dengan sejumlah isu. Salah satunya dia dianggap tidak bisa memenuhi kualifikasi karena tidak berangkat dari organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan NU. Dianggap anak terbuang dan karenanya tidak berhak memperoleh kesempatan maju dalam kontestasi di Muktamar. Tapi, Gus Yahya tetap melenggang dan terbukti menang.
***
Tiga dekade silam, orang mengenal nama Hans Bague (HB) Jassin. Atau yang lebih junior, Pamusuk Eneste. Keduanya disebut kritikus karena penguasaan mereka atas leksikon tokoh-tokon sastra nasional. Dari Pamusuk, orang-orang bisa mengenal, Utuy Tatang Sontani, misalnya. Atau nama Pramoedya Ananta Toer. Atau Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail. Atau generasi di bawahnya seperti cerpenis Korrie Layun Rampai.
Penulis mengenal dua nama ini sejak kelas 2 tsanawiyah di pondok. Kritikus macam Pamusuk Eneste, sudah lama tidak terdeteksi analisis dan karyanya. Digantikan oleh pegiat survei politik seperti Denny JA, Saiful Mujani, Hanta Yudha, Yunarto Wijaya atau Hasanuddin Ali. Nah, yang belakangan adalah kritikus soal PBNU dan Gus Yahya. Demikian luas coverage "ilmunya" soal PBNU hingga nyaris setiap niat baik, program dan agenda, diberi catatan, kritik, bahkan kecaman.
Soal R20
Bahkan dalam sehari dua, kritiknya deras mengalir. Seperti air bah yang tiada pilih-pilih sasaran. Diterjang. Tidak tampak dari perspektif yang dibuat bertujuan untuk mendapat feedback positif demi pengayaan apalagi untuk memberi perspektif. Sudut pandang yang digunakan, sering berangkat dari kaca mata politik. Tepatnya politik praktis dan politik kekuasaan. Dari sejumlah kritiknya, belum ditemui adanya diskursus yang memancing terjadinya dialektika. Termasuk masalah R20.
tulis komentar anda