Cara Menggapai Keadilan Substantif

Sabtu, 29 Oktober 2022 - 12:54 WIB
Kemala Atmojo. FOTO/DOK KORAN SINDO
Kemala Atmojo

Desen Pascasarjana Institute of Business Law and Management (IBLAM)

Kita sudah sering mendengar keluhan bahwa ketidakadilan sedang terjadi. Banyak putusan pengadilan yang dirasa tidak sesuai oleh para pencari keadilan. Baru-baru ini, upaya rekayasa –yang untungnya gagal– atas peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir Joshua juga terjadi.

Semua itu mengingatkan beberapa peristiwa tragis pada masa lalu. Ada peristiwa “Sum Kuning” yang membuat geger pada September 1970. Seorang gadis remaja diperkosa oleh beberapa pemuda gondrong dan cepak di dalam mobil dan dibuang di pinggir jalan.



Oleh oknum polisi yang memeriksanya dia malah disiksa, dilecehkan, dituduh PKI, dan dipaksa mengatakan bahwa apa yang dialaminya adalah dusta belaka. Sum Kuning dituduh dengan Pasal 14 Ayat 2 UU No 1/1946 juncto Pasal 61 KUHP. Sum memang akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta pada 1970 setelah perjuangan panjang.

Lalu ada kasus “Sengkon dan Karta” (1974) di Bekasi yang tak kalah hebohnya.Kedua pria tersebut dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap suami istri di Desa Bojongsari, Bekasi. Sengkon dan Karta ditangkap polisi. Keduanya disiksa oleh penyidik. Karena tidak tahan dengan siksaan polisi, mereka menyerah dan menandatangani Berita Aacara Pemeriksaan (BAP).

Hakim lebih percaya cerita polisi daripada bantahan Sengkon dan Karta di pengadilan. Pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, sedangkan Karta divonis lebih ringan, 7 tahun. Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

Di penjara, Sengkon dan Karta bertemu Gunel, yang masih keponakan Sengkon. Gunel sendiri sudah berada di Lapas Cipinang karena kasus pencurian. Di penjara itulah Gunel akhirnya mengungkap rahasia dan mengakui bahwa dialah yang merampok dan membunuh pasangan suami-istri di Bekasi itu. Pengakuan ini kemudian menjadi bukti baru. Pada Oktober 1980, Gunel akhirnya divonis 12 tahun penjara.

Kasus-kasus “sejenis” masih bisa diperpanjang daftarnya, tapi kali ini cukuplah dua kasus itu sebagai contoh bahwa penegakan hukum di Indonesia masih belum sempurna. Bahkan Anda sendiri mungkin pernah mengalami atau merasakan, bahwa sangat susah menggapai keadilan yang substantif di sini. Lalu bagaimana? Apa yang bisa kita lakukan?
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More