Penanganan Bank di Tengah Pandemik: Hindari Politisasi Perbankan
Selasa, 07 Juli 2020 - 07:20 WIB
Di tengah krisis pandemi Covid-19 ini, potensi bank mengalami kesulitan likuiditas sangat terbuka. Pendapatan rumah tangga dan dunia usaha turun, sementara belanja dan pengeluaran tetap berlangsung. Akibatnya, dana (simpanan) yang masuk ke bank berpotensi turun, sedangkan penarikan dana untuk belanja berpotensi meningkat. Bank bisa tertekan bila likuiditas berkurang. Terlebih bila di saat yang sama bank juga mengalami risiko kredit yang cukup tinggi. Karenanya, penanganan bank-bank yang berpotensi mengalami krisis likuiditas harus dilakukan secara cepat.
Dalam situasi krisis pandemik seperti ini, otoritas di industri keuangan memang harus sigap dalam mengambil langkah-langkah pengamanan ketika terdapat bank yang berpotensi mengalami kesulitan likuiditas. Saya berpendapat, berbagai langkah yang dilakukan OJK, yaitu mencarikan investor untuk memperkuat permodalan bank yang sedang membutuhkan dukungan likuiditas adalah langkah tepat dan patut dilakukan. Tujuannya, untuk mencegah terjadinya kesulitan likuiditas sekaligus mengembalikan kepercayaan pada bank tersebut.
Salah satunya yang kini dilakukan OJK dengan memperkuat dukungan dari investor bagi Bukopin. Dukungan penguatan pendanaan dari investor merupakan hal yang perlu dilakukan untuk memperkuat likuiditas dan menjaga kepercayaan pada Bukopin. Tentu OJK juga telah memikirkan investor Bukopin tersebut, terkait dengan komitmennya dalam jangka panjang dan alignment bisnisnya agar sustainability Bukopin diyakini dapat terus berkembang. Komitmen pada fokus bisnis Bukopin yang lebih banyak di segmen UMKM, ritel, dan koperasi tentunya telah dipertimbangkan OJK dalam menentukan investor.
Saya berpendapat, selain Bukopin masih terdapat bank-bank lain yang membutuhkan dukungan serupa. Bank-bank tersebut antara lain Bank Muamalat Indonesia (BMI). BMI juga perlu secepatnya memperoleh investor strategis untuk menjaga likuiditas sekaligus memperkuat bisnisnya. Terlebih, BMI merupakan bank syariah pertama di Indonesia sehingga eksistensinya perlu dijaga untuk menjaga reputasi dan kepercayaan publik terhadap industri keuangan syariah.
Belajar dari berbagai pengalaman sebelumnya, menghindari hiruk-pikuk "bank bermasalah" adalah langkah yang bijak bagi semua pihak, baik pemegang saham, industri, dan konsumen. Pengutamaan penyelesaian bank secara business to business (B-to-B) adalah solusi terbaik bagi stakeholders (terutama bagi pemegang saham). Win-win solution harus dikedepankan bagi kepentingan industri yang lebih besar, terlebih dalam situasi krisis saat ini. Jangan mengulang kasus pada krisis perbankan 1997/98 dan kasus Bank Century. Politisasi justru merugikan banyak pihak, termasuk pemegang saham. Terbukti, valuasi atau nilai bank semakin merosot.
Dalam situasi krisis pandemik seperti ini, otoritas di industri keuangan memang harus sigap dalam mengambil langkah-langkah pengamanan ketika terdapat bank yang berpotensi mengalami kesulitan likuiditas. Saya berpendapat, berbagai langkah yang dilakukan OJK, yaitu mencarikan investor untuk memperkuat permodalan bank yang sedang membutuhkan dukungan likuiditas adalah langkah tepat dan patut dilakukan. Tujuannya, untuk mencegah terjadinya kesulitan likuiditas sekaligus mengembalikan kepercayaan pada bank tersebut.
Salah satunya yang kini dilakukan OJK dengan memperkuat dukungan dari investor bagi Bukopin. Dukungan penguatan pendanaan dari investor merupakan hal yang perlu dilakukan untuk memperkuat likuiditas dan menjaga kepercayaan pada Bukopin. Tentu OJK juga telah memikirkan investor Bukopin tersebut, terkait dengan komitmennya dalam jangka panjang dan alignment bisnisnya agar sustainability Bukopin diyakini dapat terus berkembang. Komitmen pada fokus bisnis Bukopin yang lebih banyak di segmen UMKM, ritel, dan koperasi tentunya telah dipertimbangkan OJK dalam menentukan investor.
Saya berpendapat, selain Bukopin masih terdapat bank-bank lain yang membutuhkan dukungan serupa. Bank-bank tersebut antara lain Bank Muamalat Indonesia (BMI). BMI juga perlu secepatnya memperoleh investor strategis untuk menjaga likuiditas sekaligus memperkuat bisnisnya. Terlebih, BMI merupakan bank syariah pertama di Indonesia sehingga eksistensinya perlu dijaga untuk menjaga reputasi dan kepercayaan publik terhadap industri keuangan syariah.
Belajar dari berbagai pengalaman sebelumnya, menghindari hiruk-pikuk "bank bermasalah" adalah langkah yang bijak bagi semua pihak, baik pemegang saham, industri, dan konsumen. Pengutamaan penyelesaian bank secara business to business (B-to-B) adalah solusi terbaik bagi stakeholders (terutama bagi pemegang saham). Win-win solution harus dikedepankan bagi kepentingan industri yang lebih besar, terlebih dalam situasi krisis saat ini. Jangan mengulang kasus pada krisis perbankan 1997/98 dan kasus Bank Century. Politisasi justru merugikan banyak pihak, termasuk pemegang saham. Terbukti, valuasi atau nilai bank semakin merosot.
(ras)
tulis komentar anda