Penanganan Bank di Tengah Pandemik: Hindari Politisasi Perbankan

Selasa, 07 Juli 2020 - 07:20 WIB
loading...
Penanganan Bank di Tengah...
Penanganan Bank di Tengah Pandemik: Hindari Politisasi Perbankan
A A A
Sunarsip
Ekonom Senior the Indonesia Economic Intelligence (IEI)

DI tengah krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini, menjaga stabilitas perbankan menjadi hal yang mutlak. Krisis ekonomi sangat mudah menyebabkan krisis di perbankan. Begitu pula sebaliknya, krisis perbankan akan semakin memperparah krisis ekonomi. Karenanya, penanganan bank pada saat krisis harus lebih hati-hati untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan kita.

Dalam sejarahnya, penanganan bank bermasalah melalui politik belum ada yang terbukti dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi bank tersebut. Contoh, ketika penanganan Bank Century. Dengan dalih menyelamatkan uang masyarakat dan dana bailout (talangan) , DPR membentuk panitia khusus (pansus) Bank Century. Hasilnya? Nilai valuasi Century semakin menurun, kinerjanya juga menurun. Sementara itu, uang masyarakat yang hilang akibat salah investasi (melalui reksa dana Antaboga) tetap tidak kembali, karena memang bukan kategori simpanan yang dapat ditanggung bank dan tidak termasuk yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Bahkan, LPS masih harus melakukan tambahan suntikan modal ke Bank Mutiara (berubah nama dari Bank Century) sebesar Rp1,24 triliun pada akhir 2013, meski sebelumnya telah menalangi bank tersebut Rp6,76 triliun selama 2008-2009. Total dana yang diinjeksi LPS ke Bank Century (Bank Mutiara) mencapai sekitar Rp8 triliun. Ketika Bank Mutiara dijual ke investor baru, hasilnya pun tidak maksimal, meskipun tetap merupakan hasil yang optimal bila melihat kinerja Bank Mutiara saat itu, di mana pada akhir 2013 merugi Rp1,14 triliun. Hasil yang diperoleh dari penjualan Bank Mutiara pada 2014 mencapai Rp4,45 triliun, atau recovery rate -nya sekitar 56% dari total dana injeksi yang disuntikkan LPS ke bank tersebut. Bila memasukan aspek time value of money, dapat diperkirakan recovery rate -nya hanya sekitar 50%.

Beberapa pemberitaan menyebutkan, kini terdapat sejumlah bank yang dikabarkan "bermasalah". Terminologi "bank bermasalah" ini adalah istilah yang dipahami masyarakat umum, bukan terminologi pada undang-undang. Namun, bila informasi tentang "bank bermasalah" ini terus diperdengarkan ke masyarakat, dampaknya bisa mengarah terjadinya "bank gagal" (failing bank ), seperti disebut dalam UU LPS. Dan bila sudah menjadi "bank gagal", pemulihannya akan lebih sulit. Nasabah pun bisa dirugikan karena belum tentu seluruh simpanannya bisa pulih lantaran ada batas maksimal penjaminan. Karenanya, penting bagi para pemangku kepentingan terkait (termasuk lembaga tinggi negara, seperti DPR dan BPK) agar berhati-hati dalam menginformasikan atau membahas kondisi suatu bank tertentu. Karena bila over expose, dampaknya bisa merugikan banyak pihak.

Bisnis bank adalah bisnis yang selalu melekat dengan risiko, terutama risiko kredit dan risiko likuiditas sehingga tidak mengherankan bila ada beberapa segmen bisnis yang dijalankan bank mengalami masalah. Sebagai contoh, bank yang mengalami kredit bermasalah (non-performing loan /NPL) yang tinggi tidak berarti bahwa secara keseluruhan bisnisnya bermasalah. Meskipun NPL-nya tinggi, bank tersebut tetap bisa merupakan bank sehat dan tetap membukukan laba. Bank dengan NPL tinggi tidak identik dengan bank gagal.

Namun, bila isu "bank bermasalah" ini tidak dikelola dengan baik, apalagi bila politik sudah masuk, bank yang sehat pun bisa menjadi bank yang tidak sehat, bahkan dapat menjadi bank gagal. Masyarakat pada umumnya tidak memiliki pemahaman kontekstual dan utuh terkait isu "bank bermasalah". Logika sederhana masyarakat bilang bahwa bila suatu bank disebut bermasalah, mereka harus mengamankan dananya di bank tersebut. Hiruk-pikuk publikasi "bank bermasalah" justru dapat mendorong kepanikan dan ketidakpercayaan publik pada bank. Penarikan dana secara massal (rush ) bisa terjadi dan bank bisa mengalami kesulitan likuiditas. Dan bila kesulitan likuiditas terjadi, potensi risiko penurunan kesehatan bank menjadi lebih terbuka.

Ingat krisis perbankan pada 1997/98 yang berlanjut hingga 2000. Krisis ini bermula pada krisis di bank-bank kecil. Lantas berkembang menjadi ketidakpercayaan masyarakat pada sistem perbankan secara keseluruhan dan menimbulkan rush di hampir seluruh bank (termasuk bank besar). Bisa dibayangkan, krisis bank kecil saja dapat berdampak sistemik, apalagi bila krisis dimulai dari bank dengan skala yang lebih besar. Terlebih, dalam situasi krisis saat ini pendapatan masyarakat mulai berkurang sehingga keamanan simpanan mereka di bank menjadi hal yang sangat penting. Simpanan tersebut menjadi bantalan (backbone) pengeluaran agar tetap mampu bertahan.

Di tengah krisis pandemi Covid-19 ini, potensi bank mengalami kesulitan likuiditas sangat terbuka. Pendapatan rumah tangga dan dunia usaha turun, sementara belanja dan pengeluaran tetap berlangsung. Akibatnya, dana (simpanan) yang masuk ke bank berpotensi turun, sedangkan penarikan dana untuk belanja berpotensi meningkat. Bank bisa tertekan bila likuiditas berkurang. Terlebih bila di saat yang sama bank juga mengalami risiko kredit yang cukup tinggi. Karenanya, penanganan bank-bank yang berpotensi mengalami krisis likuiditas harus dilakukan secara cepat.

Dalam situasi krisis pandemik seperti ini, otoritas di industri keuangan memang harus sigap dalam mengambil langkah-langkah pengamanan ketika terdapat bank yang berpotensi mengalami kesulitan likuiditas. Saya berpendapat, berbagai langkah yang dilakukan OJK, yaitu mencarikan investor untuk memperkuat permodalan bank yang sedang membutuhkan dukungan likuiditas adalah langkah tepat dan patut dilakukan. Tujuannya, untuk mencegah terjadinya kesulitan likuiditas sekaligus mengembalikan kepercayaan pada bank tersebut.

Salah satunya yang kini dilakukan OJK dengan memperkuat dukungan dari investor bagi Bukopin. Dukungan penguatan pendanaan dari investor merupakan hal yang perlu dilakukan untuk memperkuat likuiditas dan menjaga kepercayaan pada Bukopin. Tentu OJK juga telah memikirkan investor Bukopin tersebut, terkait dengan komitmennya dalam jangka panjang dan alignment bisnisnya agar sustainability Bukopin diyakini dapat terus berkembang. Komitmen pada fokus bisnis Bukopin yang lebih banyak di segmen UMKM, ritel, dan koperasi tentunya telah dipertimbangkan OJK dalam menentukan investor.

Saya berpendapat, selain Bukopin masih terdapat bank-bank lain yang membutuhkan dukungan serupa. Bank-bank tersebut antara lain Bank Muamalat Indonesia (BMI). BMI juga perlu secepatnya memperoleh investor strategis untuk menjaga likuiditas sekaligus memperkuat bisnisnya. Terlebih, BMI merupakan bank syariah pertama di Indonesia sehingga eksistensinya perlu dijaga untuk menjaga reputasi dan kepercayaan publik terhadap industri keuangan syariah.

Belajar dari berbagai pengalaman sebelumnya, menghindari hiruk-pikuk "bank bermasalah" adalah langkah yang bijak bagi semua pihak, baik pemegang saham, industri, dan konsumen. Pengutamaan penyelesaian bank secara business to business (B-to-B) adalah solusi terbaik bagi stakeholders (terutama bagi pemegang saham). Win-win solution harus dikedepankan bagi kepentingan industri yang lebih besar, terlebih dalam situasi krisis saat ini. Jangan mengulang kasus pada krisis perbankan 1997/98 dan kasus Bank Century. Politisasi justru merugikan banyak pihak, termasuk pemegang saham. Terbukti, valuasi atau nilai bank semakin merosot.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0631 seconds (0.1#10.140)