Pilkada saat Pandemi Covid-19, Ketua KPU Jelaskan Perbedaannya
Senin, 06 Juli 2020 - 13:28 WIB
JAKARTA - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 dalam kondisi pandemi Covid-19. Namun, apa yang berbeda dari pilkada dalam situasi normal sebelumnya?
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menjelaskan, regulasi yang dipakai dalam pilkada tidak ada yang berubah. “Jadi undang-undang 10 tahun 2016 masih dipakai, itu kan perubahan dari undang-undang 1 tahun 2015. Peraturan KPPU yang ada juga masih dipakai,” tegasnya dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha BNPB Jakarta, Senin (6/7/2020).
(Baca: Ketua KPU: Sejumlah Negara Laksanakan Pemilu di Tengah Pandemi Corona)
Saat ini, kata Arief, yang dilakukan KPU adalah menambahkan peraturan KPU baru untuk pendaftaran pasangan calon. “Nah, yang kita lakukan sekarang adalah menambahkan peraturan KPU baru. Menambahkan peraturan KPPU baru itu isinya adalah jadi misalnya pada saat administrasi pendaftaran calon.”
“Kami sudah mengatur karena undang-undang itu masih meminta calon itu harus ada, daftar sendiri, maka kami hanya memperbolehkan pasangan calon datang bersama 2 orang staf yang membantu membawa berkas. Kalau dulu kan pakai arak-arakan, rame-rame, seperti parade itu kita atur nggak boleh. Tapi menghilangkan sama sekali, karena Undang-undang masih minta harus daftar sendiri, ya udah tetap daftar tapi pasangan calon saja. Supaya mereka juga murah biayanya,” jelas Arief.
(Baca: Tiga Hal Ini Harus Diperhatikan dalam Pilkada Serentak 2020)
Kedua, soal kampanye yang harus mengatur kapasitas jumlah orang dan menjaga jarak secara fisik. “Sama, kampanye ini kami hanya ingin menghilangkan pertemuan fisiknya saja, semua diganti dengan daring saja. Tetapi nggak mungkin. Kalau ada yang keberatan pada kami karena undang-undangnya masih memperbolehkan, maka tetap kami perbolehkan tapi diatur. Misalnya, tidak boleh melebihi 40% dari kapasitas ruangan. Kalau pakai meja kursi harus diatur jaraknya satu meter, menggunakan masker, face shield dan seterusnya,” jelas Arief.
Ketiga, untuk pemungutan dan penghitungan suara. Arief mengatakan ada banyak masukan untuk menggunakan e-vote atau vote online. Namun, ia mengatakan berdasarkan pengalaman di banyak negara tidak bisa menghilangkan kultur pemungutan suara langsung.
(Baca: Pilkada 2020 Tanpa APD, Bawaslu Ingatkan Potensi Konflik)
“Ada banyak masukan supaya pakai online, vote online. Tapi KPU, berdasarkan pengalaman lihat pemilu di banyak negara kebetulan saya juga melihat sendiri, menurut saya kita jangan menghilangkan kultur pemungutan suara langsung. Itu tetap manual,” jelas Arief.
Namun, akan menggunakan teknologi informasi hanya pada saat merekap hasil suara. “Tetapi begitu pemungutan suara sudah selesai, sudah dihitung, semua orang menyaksikan di TPS itu kan betul-betul party ya. Nah waktu mau direkap, saat direkap itulah yang menggunakan teknologi informasi,” kata Arief.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menjelaskan, regulasi yang dipakai dalam pilkada tidak ada yang berubah. “Jadi undang-undang 10 tahun 2016 masih dipakai, itu kan perubahan dari undang-undang 1 tahun 2015. Peraturan KPPU yang ada juga masih dipakai,” tegasnya dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha BNPB Jakarta, Senin (6/7/2020).
(Baca: Ketua KPU: Sejumlah Negara Laksanakan Pemilu di Tengah Pandemi Corona)
Saat ini, kata Arief, yang dilakukan KPU adalah menambahkan peraturan KPU baru untuk pendaftaran pasangan calon. “Nah, yang kita lakukan sekarang adalah menambahkan peraturan KPU baru. Menambahkan peraturan KPPU baru itu isinya adalah jadi misalnya pada saat administrasi pendaftaran calon.”
“Kami sudah mengatur karena undang-undang itu masih meminta calon itu harus ada, daftar sendiri, maka kami hanya memperbolehkan pasangan calon datang bersama 2 orang staf yang membantu membawa berkas. Kalau dulu kan pakai arak-arakan, rame-rame, seperti parade itu kita atur nggak boleh. Tapi menghilangkan sama sekali, karena Undang-undang masih minta harus daftar sendiri, ya udah tetap daftar tapi pasangan calon saja. Supaya mereka juga murah biayanya,” jelas Arief.
(Baca: Tiga Hal Ini Harus Diperhatikan dalam Pilkada Serentak 2020)
Kedua, soal kampanye yang harus mengatur kapasitas jumlah orang dan menjaga jarak secara fisik. “Sama, kampanye ini kami hanya ingin menghilangkan pertemuan fisiknya saja, semua diganti dengan daring saja. Tetapi nggak mungkin. Kalau ada yang keberatan pada kami karena undang-undangnya masih memperbolehkan, maka tetap kami perbolehkan tapi diatur. Misalnya, tidak boleh melebihi 40% dari kapasitas ruangan. Kalau pakai meja kursi harus diatur jaraknya satu meter, menggunakan masker, face shield dan seterusnya,” jelas Arief.
Ketiga, untuk pemungutan dan penghitungan suara. Arief mengatakan ada banyak masukan untuk menggunakan e-vote atau vote online. Namun, ia mengatakan berdasarkan pengalaman di banyak negara tidak bisa menghilangkan kultur pemungutan suara langsung.
(Baca: Pilkada 2020 Tanpa APD, Bawaslu Ingatkan Potensi Konflik)
“Ada banyak masukan supaya pakai online, vote online. Tapi KPU, berdasarkan pengalaman lihat pemilu di banyak negara kebetulan saya juga melihat sendiri, menurut saya kita jangan menghilangkan kultur pemungutan suara langsung. Itu tetap manual,” jelas Arief.
Namun, akan menggunakan teknologi informasi hanya pada saat merekap hasil suara. “Tetapi begitu pemungutan suara sudah selesai, sudah dihitung, semua orang menyaksikan di TPS itu kan betul-betul party ya. Nah waktu mau direkap, saat direkap itulah yang menggunakan teknologi informasi,” kata Arief.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda