Kanjuruhan dan Refleksi Manajemen Pengamanan
Rabu, 12 Oktober 2022 - 14:15 WIB
Pemerintah bersama DPR perlu bekerja cepat menyiapkan rancangan undang-undang. Ini tidak berlebihan karena Indonesia memiliki penduduk yang besar dengan mayoritas kalangan muda dan fanatisme kuat.
Selain pentingnya regulasi, infrastruktur seperti stadion, hall, gedung, GOR dan lain sebagainya perlu dibuat dengan standar yang aman jika terjadi kekacauan. Jika memang ada pihak yang menyelenggarakan acara besar dan tetap tak mengindahkan standar lokasi, maka bisa dibatalkan atau dibubarkan. Ketegasan aparat penting ketimbang akan menyesal kemudian karena hilangnya nyawa atau timbulnya celaka dan luka.
Untuk meminimalisasi kerusuhan atau jatuhnya korban, sumber daya tenaga pengamanan juga harus bekerja lebih profesional dan berkualitas. Menghadapi massa yang berpotensi beringas, dibutuhkan aparat keamanan cerdik yang bisa membuat situasi tidak kian panas. Petugas yang diterjunkan tak sekadar kekar dan siap berhadap-hadapan fisik, namun juga memiliki kemampuan komunikasi yang apik.
Mereka juga terlatih dalam memanajemen isu agar potensi konflik tidak membesar. Laga Arema dan Persebaya di Kanjuruhan, 1 Oktober lalu sebenarnya sudah terdeteksi rawan. Mestinya dengan pola komunikasi dan manajemen isu yang baik, fanatisme suporter bisa diarahkan. Kalaupun harus melakukan tindakan yang keras, tetap terukur dan tidak membahayakan jiwa dan raga.
Tragedi di Kanjuruhan menjadi bukti kuat bahwa petugas sangat ceroboh dalam penggunaan alat pendukung berupa gas air mata. Selain tampak membabi buta, gas air mata yang ditembakkan ke penonton justru sudah kedaluwarsa. Apapun dalihnya, barang yang tidak layak pakai pasti berdampak tak baik terhadqp objeknya.
Selain dorongan agar semua pihak yang terlibat dalam tragedi Kanjuruhan harus bertanggungjawab, peristiwa ini harus menjadi momentum untuk perbaikan pengelolaan manajemen pengamanan di masa mendatang.
Selain pentingnya regulasi, infrastruktur seperti stadion, hall, gedung, GOR dan lain sebagainya perlu dibuat dengan standar yang aman jika terjadi kekacauan. Jika memang ada pihak yang menyelenggarakan acara besar dan tetap tak mengindahkan standar lokasi, maka bisa dibatalkan atau dibubarkan. Ketegasan aparat penting ketimbang akan menyesal kemudian karena hilangnya nyawa atau timbulnya celaka dan luka.
Untuk meminimalisasi kerusuhan atau jatuhnya korban, sumber daya tenaga pengamanan juga harus bekerja lebih profesional dan berkualitas. Menghadapi massa yang berpotensi beringas, dibutuhkan aparat keamanan cerdik yang bisa membuat situasi tidak kian panas. Petugas yang diterjunkan tak sekadar kekar dan siap berhadap-hadapan fisik, namun juga memiliki kemampuan komunikasi yang apik.
Mereka juga terlatih dalam memanajemen isu agar potensi konflik tidak membesar. Laga Arema dan Persebaya di Kanjuruhan, 1 Oktober lalu sebenarnya sudah terdeteksi rawan. Mestinya dengan pola komunikasi dan manajemen isu yang baik, fanatisme suporter bisa diarahkan. Kalaupun harus melakukan tindakan yang keras, tetap terukur dan tidak membahayakan jiwa dan raga.
Tragedi di Kanjuruhan menjadi bukti kuat bahwa petugas sangat ceroboh dalam penggunaan alat pendukung berupa gas air mata. Selain tampak membabi buta, gas air mata yang ditembakkan ke penonton justru sudah kedaluwarsa. Apapun dalihnya, barang yang tidak layak pakai pasti berdampak tak baik terhadqp objeknya.
Selain dorongan agar semua pihak yang terlibat dalam tragedi Kanjuruhan harus bertanggungjawab, peristiwa ini harus menjadi momentum untuk perbaikan pengelolaan manajemen pengamanan di masa mendatang.
(bmm)
tulis komentar anda