Kanjuruhan dan Refleksi Manajemen Pengamanan

Rabu, 12 Oktober 2022 - 14:15 WIB
loading...
Kanjuruhan dan Refleksi Manajemen Pengamanan
Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan suporter Arema FC harus menjadi pelajaran sekaligus momentum untuk perbaikan pengelolaan manajemen pengamanan di masa mendatang. (KORAN SINDO/Wawan Bastian)
A A A
TRAGEDI memilukan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang telah terlewati hampir dua pekan. Namun, meski sudah belasan hari berselang, masih menjadi bayang-bayang mengenai apa sebenarnya yang menjadi penyebab kematian 132 orang dan melukai lebih dari 500 tersebut.

Bahkan belakangan, mengenai penyebab tragedi terkesan terjadi saling tuding atau menyalahkan oleh beberapa pihak. Koalisi Masyarakat Sipil misalnya menilai, tembakan gas air mata menjadi pemicu utama kematian korban. Namun ini cepat-cepat dibantah oleh kepolisian dengan menyatakan bahwa zat kimia pada gas air mata tidak menyebabkan kematian.

Baca Juga: koran-sindo.com

Di tengah polemik yang tak berujung itu, juga muncul dugaan penyebab lain, yakni faktor pintu stadion yang terkunci atau tak maksimal dibuka saat terjadi kerusuhan. Bahkan soal pintu ini juga menjadi perhatian besar Presiden Joko Widodo saat melihat langsung kondisi di Stadion Kanjuruhan, Rabu (5/10). Selain pintu, tangga di Stadion Kanjuruhan juga dinilai terlalu tajam sehingga berbahaya jika terjadi penumpukan dan lain sebagainya.

Begitu memilukannya tragedi Kanjuruhan itu, tepat kiranya arahan Presiden Jokowi yang meminta pentingnya evaluasi total terhadap tata kelola persepakbolaan Tanah Air. Sangat mungkin Jokowi menduga, kerusuhan Kanjuruhan hakikatnya adalah muara semata dari rangkaian panjang masalah persepakbolaan Indonesia. Dengan kata lain, tragedi ini bisa saja akibat sistem pertandingan yang tak fair, fanatisme tak rasional para penonton, infrastruktur stadion tak sesuai standar hingga model pengamanan yang acakadut.

Keinginan Jokowi yang mengevaluasi total tata kelola persepakbolaan nasional ini patut diapresiasi. Dan, evaluasi itu adalah sebuah keniscayaan, apalagi melihat tragedi ini yang merenggut sangat banyak korban jiwa itu. Bisa saja, dari evaluasi ini muncul kesimpulan bahwa memang ada yang salah atau kurang sempurna dalam penyelenggaraan pertandingan bola selama ini.

Namun, lebih sekadar bola, tragedi Kanjuruhan ini seyogianya menjadi titik balik Indonesia untuk membenahi tata kelola pengamanan kegiatan yang mendatangkan orang banyak. Cukup banyak event di luar sepakbola yang turut menyimpan potensi bahaya, seperti konser musik, pertunjukan budaya, kampanye politik, rapat besar, kongres atau pameran akbar.

Pada event konser musik misalnya, sering kita lihat tawuran antarpenonton tak terelakkan. Bahkan pada ruang yang lebih kecil, kongres pemuda atau mahasiswa di sebuah gedung misalnya, berulangkali jadi ajang adu fisik.

Potensi bahaya yang rutin terjadi ini tak boleh dianggap enteng. Saatnya Indonesia memiliki regulasi yang lebih kuat dalam hal kegiatan yang mendatangkan massa melimpah. Jika saat ini regulasi masih tergolong lemah seperti hanya cukup mengantongi izin kepolisian atau izin gangguan, alangkah baiknya untuk ditinjau ulang.

Pemerintah bersama DPR perlu bekerja cepat menyiapkan rancangan undang-undang. Ini tidak berlebihan karena Indonesia memiliki penduduk yang besar dengan mayoritas kalangan muda dan fanatisme kuat.

Selain pentingnya regulasi, infrastruktur seperti stadion, hall, gedung, GOR dan lain sebagainya perlu dibuat dengan standar yang aman jika terjadi kekacauan. Jika memang ada pihak yang menyelenggarakan acara besar dan tetap tak mengindahkan standar lokasi, maka bisa dibatalkan atau dibubarkan. Ketegasan aparat penting ketimbang akan menyesal kemudian karena hilangnya nyawa atau timbulnya celaka dan luka.

Untuk meminimalisasi kerusuhan atau jatuhnya korban, sumber daya tenaga pengamanan juga harus bekerja lebih profesional dan berkualitas. Menghadapi massa yang berpotensi beringas, dibutuhkan aparat keamanan cerdik yang bisa membuat situasi tidak kian panas. Petugas yang diterjunkan tak sekadar kekar dan siap berhadap-hadapan fisik, namun juga memiliki kemampuan komunikasi yang apik.

Mereka juga terlatih dalam memanajemen isu agar potensi konflik tidak membesar. Laga Arema dan Persebaya di Kanjuruhan, 1 Oktober lalu sebenarnya sudah terdeteksi rawan. Mestinya dengan pola komunikasi dan manajemen isu yang baik, fanatisme suporter bisa diarahkan. Kalaupun harus melakukan tindakan yang keras, tetap terukur dan tidak membahayakan jiwa dan raga.

Tragedi di Kanjuruhan menjadi bukti kuat bahwa petugas sangat ceroboh dalam penggunaan alat pendukung berupa gas air mata. Selain tampak membabi buta, gas air mata yang ditembakkan ke penonton justru sudah kedaluwarsa. Apapun dalihnya, barang yang tidak layak pakai pasti berdampak tak baik terhadqp objeknya.

Selain dorongan agar semua pihak yang terlibat dalam tragedi Kanjuruhan harus bertanggungjawab, peristiwa ini harus menjadi momentum untuk perbaikan pengelolaan manajemen pengamanan di masa mendatang.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2188 seconds (0.1#10.140)