Ketidakpastian Ekonomi dan Bauran Kebijakan
Senin, 10 Oktober 2022 - 08:03 WIB
Lebih lanjut menurut UNCTD, negara-negara yang terdampak tajam adalah negara berkembang di Amerika Latin dan negara pendapatan lemah di Afrika. Ironisnya, berdasarkan data UNCTAD, Indonesia akan menjadi negara kedua di negara G20 yang paling rugi dalam hal kehilangan potensi ekonomi akibat resesi global.
Resesi di berbagai negara menyebabkan terjadinya penurunan laju ekspor Indonesia karena adanya penurunan permintaan yang secara otomatis dapat melemahkan harga komoditas. Saat ini, sejatinya harga komoditas masih tinggi sehingga mampu memberikan keuntungan bagi nilai ekspor Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif atau pada periode Januari—Agustus 2022 mencapai USD34,9 miliar. Nilai ekspor secara kumulatif pada periode tersebut tercatat USD194,6 miliar. Pada Agustus 2022, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD27,91 miliar, tumbuh 30,15% year on year (yoy) atau 9,17% secara month to month (mtm).
Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi dalam sejarah ekonomi Indonesia. Peningkatan ekspor didorong oleh ekspor migas yang naik 64,46% (yoy) dan ekspor non migas tumbuh 28,39% (yoy). Meski demikian, ancaman resesi dan fluktuasi yang terus terjadi pada harga komoditas dunia akan menjadi ancaman bagi ekspor dan ekonomi Indonesia ke depan, terutama melihat tren pelemahan harga komiditas karena krisis domestik serta kekhawatiran terhadap kondisi resesi ekonomi global.
Dampak Perubahan Suku Bunga
Inflasi yang tinggi saat ini, disikapi oleh bank sentral di berbagai negara dengan menaikkan tingkat suku bunga dan memperketat likuiditas. Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dan Bank Sentral Inggris (BoE) menaikkan suku bunga masing-masing 75 bps dan 50 bps ke tingkat 3,25% dan 2,25%. Keduanya mengambil langkah tersebut untuk menekan inflasi yang masih tinggi pada level 8,3% yoy (AS) dan 9,9% yoy (Inggris).
Bagi AS, ini merupakan kenaikan suku bunga kelima sepanjang 2022, dengan total 300 bps. Sementara itu, Inggris sudah tujuh kali melakukan kenaikan suku bunga dengan total 200 bps.
Begitu juga dengan Bank Indonesia (BI), memasuki paruh kedua tahun ini, suku bunga acuan BI 7- Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) kembali dinaikkan sebesar 50 bps menjadi 4,25%. BI juga menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility sebesar 50 bps, masing-masing menjadi 3,50% dan 5,00%. Kebijakan kenaikan suku bunga dilakukan untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3,0?1%.
Akibat kenaikan tingkat suku bunga tersebut, peredaran uang di Indonesia mulai mengalami perlambatan. BI mencatat pada Agustus 2022, nilai M2 tumbuh melambat 9,5% (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya 9,6% (yoy). Kondisi ini mempengaruhi capaian inflasi yang diperkirakan 6,2%, ternyata mampu di kontrol menjadi 5,95% (September). Bagi dunia perbankan, perlu terus berhati-hati dalam mendorong lending untuk pembiayaan sektor riil dan menjaga produksi tetap berjalan dan berkembang.
Sektor Riil Jadi Kunci
Resesi di berbagai negara menyebabkan terjadinya penurunan laju ekspor Indonesia karena adanya penurunan permintaan yang secara otomatis dapat melemahkan harga komoditas. Saat ini, sejatinya harga komoditas masih tinggi sehingga mampu memberikan keuntungan bagi nilai ekspor Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif atau pada periode Januari—Agustus 2022 mencapai USD34,9 miliar. Nilai ekspor secara kumulatif pada periode tersebut tercatat USD194,6 miliar. Pada Agustus 2022, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD27,91 miliar, tumbuh 30,15% year on year (yoy) atau 9,17% secara month to month (mtm).
Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi dalam sejarah ekonomi Indonesia. Peningkatan ekspor didorong oleh ekspor migas yang naik 64,46% (yoy) dan ekspor non migas tumbuh 28,39% (yoy). Meski demikian, ancaman resesi dan fluktuasi yang terus terjadi pada harga komoditas dunia akan menjadi ancaman bagi ekspor dan ekonomi Indonesia ke depan, terutama melihat tren pelemahan harga komiditas karena krisis domestik serta kekhawatiran terhadap kondisi resesi ekonomi global.
Dampak Perubahan Suku Bunga
Inflasi yang tinggi saat ini, disikapi oleh bank sentral di berbagai negara dengan menaikkan tingkat suku bunga dan memperketat likuiditas. Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dan Bank Sentral Inggris (BoE) menaikkan suku bunga masing-masing 75 bps dan 50 bps ke tingkat 3,25% dan 2,25%. Keduanya mengambil langkah tersebut untuk menekan inflasi yang masih tinggi pada level 8,3% yoy (AS) dan 9,9% yoy (Inggris).
Bagi AS, ini merupakan kenaikan suku bunga kelima sepanjang 2022, dengan total 300 bps. Sementara itu, Inggris sudah tujuh kali melakukan kenaikan suku bunga dengan total 200 bps.
Begitu juga dengan Bank Indonesia (BI), memasuki paruh kedua tahun ini, suku bunga acuan BI 7- Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) kembali dinaikkan sebesar 50 bps menjadi 4,25%. BI juga menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility sebesar 50 bps, masing-masing menjadi 3,50% dan 5,00%. Kebijakan kenaikan suku bunga dilakukan untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3,0?1%.
Akibat kenaikan tingkat suku bunga tersebut, peredaran uang di Indonesia mulai mengalami perlambatan. BI mencatat pada Agustus 2022, nilai M2 tumbuh melambat 9,5% (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya 9,6% (yoy). Kondisi ini mempengaruhi capaian inflasi yang diperkirakan 6,2%, ternyata mampu di kontrol menjadi 5,95% (September). Bagi dunia perbankan, perlu terus berhati-hati dalam mendorong lending untuk pembiayaan sektor riil dan menjaga produksi tetap berjalan dan berkembang.
Sektor Riil Jadi Kunci
tulis komentar anda