Darurat Kekerasan Seksual, Susahnya Melindungi Alat Reproduksi
Sabtu, 04 Juli 2020 - 07:15 WIB
Selain itu RUU PKS juga kerap dikabarkan akan menjerumuskan banyak anak muda ke perbuatan zina jika disahkan. Diinformasikan bahwa ada pasal dalam rancangan tersebut yang memberikan justifikasi bagi kehidupan seks bebas karena pilihan seseorang untuk berhubungan seks dengan siapa saja akan dilindungi hukum.
Tak sampai di situ, dikabarkan juga bahwa RUU PKS ini memperjuangkan ketersediaan alat kontrasepsi bagi remaja sehingga mereka kian bebas menjalin hubungan di luar nikah. Puncaknya disampaikan bahwa RUU PKS merupakan produk undang-undang pesanan dari kaum feminis Barat yang punya agenda menghancurkan peradaban umat Islam.
Tak mengherankan jika upaya untuk menggagalkan RUU PKS begitu kencang dilakukan oleh berbagai pihak yang merasa terganggu dengan draf aturan ini. Berbagai aksi massa dilakukan untuk menolak RUU PKS ini. Aksi unjuk rasa, diskusi hingga forum tarbiah digunakan untuk menyampaikan informasi terkait bahaya ini. Pada 20 September 2019 misalnya muncul aksi unjuk rasa menolak RUU PKS di depan parlemen.
Para emak yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menolak RUU PKS ini menuntut DPR mencabut RUU tersebut. Gerakan masyarakat ini disambut oleh para politisi di parlemen sebagai upaya untuk mengalang kekuatan elektoral. Jadinya RUU PKS menjadi komoditas politik yang digunakan untuk menggalang simpati publik. (Baca juga: Modisnya Agnes Jennifer, Selebgram Tersangkut Kasus Nurhadi)
Di sisi lain pihak yang mendukung RUU PKS ini juga tak kalah kencang. Mereka menilai kehadiran RUU PKS sebagai upaya menghapus kekerasan seksual yang kerap terjadi di masyarakat. Dengan RUU ini menjadi jelas langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, langkah untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban serta menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual. Pendukung RUU PKS itu juga tak segan melakukan aksi massa dengan turun ke jalan. Mereka pun aktif mengalang kampanye di media sosial. Tak jarang mereka terlibat adu argumentasi via media sosial dengan mereka yang kontra dengan RUU PKS.
Pembelahan sikap di masyarakat ini juga tampak di parlemen. Sehari setelah usulan pencabutan RUU PKS dari Prolegnas oleh Komisi VIII DPR, beberapa fraksi di DPR meminta agar pembahasan RUU ini tetap dilanjutkan pada tahun ini. Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Diah Pitaloka mendesak agar domain pengusul RUU PKS tidak lagi Komisi VIII, tetapi langsung Baleg DPR.
“Saya sekalian mau klarifikasi yang Komisi VIII, ini berdasarkan surat pimpinan DPR kepada pimpinan Badan Legislasi tertanggal 5 Mei 2020, bahwa pembatalan RUU tentang PKS sebagai usul inisiatif Komisi VIII DPR. Sehubungan dengan hal itu rapat pimpinan DPR menyetujui RUU tentang PKS diserahkan dan dibahas di Baleg DPR,” ujar Diah Pitaloka.
Kemudian anggota Baleg dari Fraksi Nasdem meminta agar RUU PKS ini diubah menjadi usul inisiatif Fraksi Nasdem dan dia meminta agar RUU ini masuk Prolegnas Prioritas 2021 dan bisa segera dibahas setelah ditetapkan pada Oktober 2020 nanti. (Baca juga: Sehari Nikah, Pria Pakistan Jual Istrinya ke Pria Lain Rp26 Juta)
“Dalam rapat yang lalu sudah kita diskusikan masukan-masukan dari komisi-komisi yang memang dapat kita pahami pengurangan RUU di Prolegnas Prioritas ini agar RUU yang kita bahas dan hasilkan realistis dan kita juga harus pikirkan waktu yang sangat terbatas. Oleh karena itu kita bisa pahami pengurangan RUU dalam Prolegnas,” kata anggota Baleg DPR Fraksi Nasdem Taufik Basari.
Pria yang akrab dengan sapaan Tobas itu melanjutkan, Baleg akan membahas kembali Prolegnas Prioritas 2021 pada Oktober mendatang sehingga RUU yang sudah dikeluarkan bisa dimasukkan kembali dan dibahas pada Oktober. “Itu catatan juga supaya kita teringat dan untuk publik karena publik menyaksikan rapat ini,” desaknya.
Tak sampai di situ, dikabarkan juga bahwa RUU PKS ini memperjuangkan ketersediaan alat kontrasepsi bagi remaja sehingga mereka kian bebas menjalin hubungan di luar nikah. Puncaknya disampaikan bahwa RUU PKS merupakan produk undang-undang pesanan dari kaum feminis Barat yang punya agenda menghancurkan peradaban umat Islam.
Tak mengherankan jika upaya untuk menggagalkan RUU PKS begitu kencang dilakukan oleh berbagai pihak yang merasa terganggu dengan draf aturan ini. Berbagai aksi massa dilakukan untuk menolak RUU PKS ini. Aksi unjuk rasa, diskusi hingga forum tarbiah digunakan untuk menyampaikan informasi terkait bahaya ini. Pada 20 September 2019 misalnya muncul aksi unjuk rasa menolak RUU PKS di depan parlemen.
Para emak yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menolak RUU PKS ini menuntut DPR mencabut RUU tersebut. Gerakan masyarakat ini disambut oleh para politisi di parlemen sebagai upaya untuk mengalang kekuatan elektoral. Jadinya RUU PKS menjadi komoditas politik yang digunakan untuk menggalang simpati publik. (Baca juga: Modisnya Agnes Jennifer, Selebgram Tersangkut Kasus Nurhadi)
Di sisi lain pihak yang mendukung RUU PKS ini juga tak kalah kencang. Mereka menilai kehadiran RUU PKS sebagai upaya menghapus kekerasan seksual yang kerap terjadi di masyarakat. Dengan RUU ini menjadi jelas langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, langkah untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban serta menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual. Pendukung RUU PKS itu juga tak segan melakukan aksi massa dengan turun ke jalan. Mereka pun aktif mengalang kampanye di media sosial. Tak jarang mereka terlibat adu argumentasi via media sosial dengan mereka yang kontra dengan RUU PKS.
Pembelahan sikap di masyarakat ini juga tampak di parlemen. Sehari setelah usulan pencabutan RUU PKS dari Prolegnas oleh Komisi VIII DPR, beberapa fraksi di DPR meminta agar pembahasan RUU ini tetap dilanjutkan pada tahun ini. Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Diah Pitaloka mendesak agar domain pengusul RUU PKS tidak lagi Komisi VIII, tetapi langsung Baleg DPR.
“Saya sekalian mau klarifikasi yang Komisi VIII, ini berdasarkan surat pimpinan DPR kepada pimpinan Badan Legislasi tertanggal 5 Mei 2020, bahwa pembatalan RUU tentang PKS sebagai usul inisiatif Komisi VIII DPR. Sehubungan dengan hal itu rapat pimpinan DPR menyetujui RUU tentang PKS diserahkan dan dibahas di Baleg DPR,” ujar Diah Pitaloka.
Kemudian anggota Baleg dari Fraksi Nasdem meminta agar RUU PKS ini diubah menjadi usul inisiatif Fraksi Nasdem dan dia meminta agar RUU ini masuk Prolegnas Prioritas 2021 dan bisa segera dibahas setelah ditetapkan pada Oktober 2020 nanti. (Baca juga: Sehari Nikah, Pria Pakistan Jual Istrinya ke Pria Lain Rp26 Juta)
“Dalam rapat yang lalu sudah kita diskusikan masukan-masukan dari komisi-komisi yang memang dapat kita pahami pengurangan RUU di Prolegnas Prioritas ini agar RUU yang kita bahas dan hasilkan realistis dan kita juga harus pikirkan waktu yang sangat terbatas. Oleh karena itu kita bisa pahami pengurangan RUU dalam Prolegnas,” kata anggota Baleg DPR Fraksi Nasdem Taufik Basari.
Pria yang akrab dengan sapaan Tobas itu melanjutkan, Baleg akan membahas kembali Prolegnas Prioritas 2021 pada Oktober mendatang sehingga RUU yang sudah dikeluarkan bisa dimasukkan kembali dan dibahas pada Oktober. “Itu catatan juga supaya kita teringat dan untuk publik karena publik menyaksikan rapat ini,” desaknya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda