Darurat Kekerasan Seksual, Susahnya Melindungi Alat Reproduksi

Sabtu, 04 Juli 2020 - 07:15 WIB
loading...
Darurat Kekerasan Seksual, Susahnya Melindungi Alat Reproduksi
Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Alat reproduksi perempuan di negeri ini kerap kali masih menjadi bahan perisakan (buly). Digunjingkan, direndahkan, tapi juga dinikmati. Ironisnya upaya melindungi alat reproduksi kerap kali disalahartikan sebagai jalan menuju liberalisasi diri.

Awalnya adalah unggahan potongan video seorang netizen mengenai kasus pelecehan terhadap pelanggan Starbuck yang mencuat ke publik. Di potongan video tersebut tampak dua orang pegawai Starbuck sedang memelototi seorang pelanggan perempuan yang kebetulan hangout bersama kawannya.

Mengenakan t-shirt warna pink dan celana jeans pendek, perempuan dalam layar CCTV itu tampak santai ngobrol. Sesekali dia menyeruput kopi pesanannya. Sementara dari ruangan CCTV sambil tertawa cekikan dua pegawai mengarahkan kamera ke payudara sang perempuan. Tawa mereka keras terdengar saat mereka berhasil me-zoom bagian payudara perempuan tersebut. (Baca: Intip Payudara Pelanggan, Karyawan Starbucks Ditetapkan Tersangka)

Tak pelak aksi kedua pegawai Starbuck itu menuai kecaman dari para pengguna media sosial. Mereka menilai aksi tersebut tidak layak dilakukan oleh karyawan dari sebuah brand ternama.

Komnas Perempuan dengan tegas menyatakan tindakan pegawai starbuck tersebut merupakan bentuk pelecehan seksual. Mereka mempertontonkan secara verbal bagian tubuh perempuan yang bisa mempermalukan perempuan tersebut. Tindakan itu masuk kategori kekerasan seksual karena pegawai Starbuck menggunakan tubuh perempuan sebagai objek tanpa persetujuan yang bersangkutan.

“Pelecehan seksual itu termasuk kekerasan seksual. Karena mempertontonkan secara verbal tubuh perempuan yang bisa mempermalukan orang tersebut," ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin.

Pengintipan payudara pelanggan Starbuck ini hanya puncak gunung es dari berbagai kasus kekerasan seksual di Indonesia. Ironisnya upaya melindungi alat reproduksi ini melalui Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kerap menghadapi jalan terjal. Bahkan Komisi VII DPR RI mengusulkan untuk mencabut RUU PKS dari daftar Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.

Padahal pembahasan RUU PKS telah berlangsung bertahun silam, tetapi tak kunjung bisa disahkan. Para wakil rakyat beralasan bahwa pembahasan RUU ini sulit dilakukan karena tingginya polarisasi politik yang menyertai pembahasan rancangan beleid ini. Kondisi ini memang tidak terlepas dari miskinnya literasi dan sikap fanatisme keberagamaan yang menjangkiti sebagian masyarakat.

“Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebab pembahasannya agak sulit karena fraksi-fraksi tidak bisa bertemu," ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang dalam rapat bersama dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020). (Baca juga: Kapolri: Jangan Diberi Ruang, Tindak Tegas Bandar Narkoba)

Jika ditilik ke belakang, memang banyak isu berseliweran terkait RUU PKS ini. Draf regulasi ini banyak diisukan sebagai upaya pelegalan terhadap tindakan aborsi, dukungan terhadap kebebasan kaum LGBT hingga dukungan terhadap kebebasan berpakaian.

Selain itu RUU PKS juga kerap dikabarkan akan menjerumuskan banyak anak muda ke perbuatan zina jika disahkan. Diinformasikan bahwa ada pasal dalam rancangan tersebut yang memberikan justifikasi bagi kehidupan seks bebas karena pilihan seseorang untuk berhubungan seks dengan siapa saja akan dilindungi hukum.

Tak sampai di situ, dikabarkan juga bahwa RUU PKS ini memperjuangkan ketersediaan alat kontrasepsi bagi remaja sehingga mereka kian bebas menjalin hubungan di luar nikah. Puncaknya disampaikan bahwa RUU PKS merupakan produk undang-undang pesanan dari kaum feminis Barat yang punya agenda menghancurkan peradaban umat Islam.

Tak mengherankan jika upaya untuk menggagalkan RUU PKS begitu kencang dilakukan oleh berbagai pihak yang merasa terganggu dengan draf aturan ini. Berbagai aksi massa dilakukan untuk menolak RUU PKS ini. Aksi unjuk rasa, diskusi hingga forum tarbiah digunakan untuk menyampaikan informasi terkait bahaya ini. Pada 20 September 2019 misalnya muncul aksi unjuk rasa menolak RUU PKS di depan parlemen.

Para emak yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menolak RUU PKS ini menuntut DPR mencabut RUU tersebut. Gerakan masyarakat ini disambut oleh para politisi di parlemen sebagai upaya untuk mengalang kekuatan elektoral. Jadinya RUU PKS menjadi komoditas politik yang digunakan untuk menggalang simpati publik. (Baca juga: Modisnya Agnes Jennifer, Selebgram Tersangkut Kasus Nurhadi)

Di sisi lain pihak yang mendukung RUU PKS ini juga tak kalah kencang. Mereka menilai kehadiran RUU PKS sebagai upaya menghapus kekerasan seksual yang kerap terjadi di masyarakat. Dengan RUU ini menjadi jelas langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, langkah untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban serta menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual. Pendukung RUU PKS itu juga tak segan melakukan aksi massa dengan turun ke jalan. Mereka pun aktif mengalang kampanye di media sosial. Tak jarang mereka terlibat adu argumentasi via media sosial dengan mereka yang kontra dengan RUU PKS.

Pembelahan sikap di masyarakat ini juga tampak di parlemen. Sehari setelah usulan pencabutan RUU PKS dari Prolegnas oleh Komisi VIII DPR, beberapa fraksi di DPR meminta agar pembahasan RUU ini tetap dilanjutkan pada tahun ini. Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Diah Pitaloka mendesak agar domain pengusul RUU PKS tidak lagi Komisi VIII, tetapi langsung Baleg DPR.

“Saya sekalian mau klarifikasi yang Komisi VIII, ini berdasarkan surat pimpinan DPR kepada pimpinan Badan Legislasi tertanggal 5 Mei 2020, bahwa pembatalan RUU tentang PKS sebagai usul inisiatif Komisi VIII DPR. Sehubungan dengan hal itu rapat pimpinan DPR menyetujui RUU tentang PKS diserahkan dan dibahas di Baleg DPR,” ujar Diah Pitaloka.

Kemudian anggota Baleg dari Fraksi Nasdem meminta agar RUU PKS ini diubah menjadi usul inisiatif Fraksi Nasdem dan dia meminta agar RUU ini masuk Prolegnas Prioritas 2021 dan bisa segera dibahas setelah ditetapkan pada Oktober 2020 nanti. (Baca juga: Sehari Nikah, Pria Pakistan Jual Istrinya ke Pria Lain Rp26 Juta)

“Dalam rapat yang lalu sudah kita diskusikan masukan-masukan dari komisi-komisi yang memang dapat kita pahami pengurangan RUU di Prolegnas Prioritas ini agar RUU yang kita bahas dan hasilkan realistis dan kita juga harus pikirkan waktu yang sangat terbatas. Oleh karena itu kita bisa pahami pengurangan RUU dalam Prolegnas,” kata anggota Baleg DPR Fraksi Nasdem Taufik Basari.

Pria yang akrab dengan sapaan Tobas itu melanjutkan, Baleg akan membahas kembali Prolegnas Prioritas 2021 pada Oktober mendatang sehingga RUU yang sudah dikeluarkan bisa dimasukkan kembali dan dibahas pada Oktober. “Itu catatan juga supaya kita teringat dan untuk publik karena publik menyaksikan rapat ini,” desaknya.

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan sikap DPR yang menunda pembahasan RUU PKS. Penundaan berulang ini dinilai dapat menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar anggota parlemen belum memahami dan merasakan situasi genting persoalan kekerasan seksual.

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah memahami kepentingan DPR untuk mengurangi target legislasi dalam pelaksanaan Prolegnas RUU Prioritas 2020 akibat Covid-19. Namun pihaknya menilai RUU PKS merupakan program prioritas legislasi nasional sejak 2014. Bahkan saat itu RUU tersebut menjadi janji yang digadang-gadang semua calon presiden, partai pengusung maupun sejumlah calon anggota parlemen di tingkat nasional maupun daerah. (Lihat videonya: Modus Baru Napi Asimilasi Masuk Hotel Incar HP)

“Komnas Perempuan mendorong agar DPR RI melaksanakan komitmennya untuk sungguh-sungguh membahas RUU PKS ini di tahun 2021 bagi kepentingan terbaik korban kekerasan seksual, khususnya perempuan,” sebut Alimatul, Kamis (2/7). (Nono Suwarno/Kiswondari/SINDOnews)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1471 seconds (0.1#10.140)