Tunda RUU PKS Lagi, DPR Dinilai Tak Peka Korban Kekerasan
Jum'at, 03 Juli 2020 - 14:02 WIB
Penuntasan masalah kekerasan seksual kembali menemui titik buntu. Sejak 2014 hingga kini, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) hanya menjadi wacana setelah DPR kembali mencabut beleid itu dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 dan mengalihkan pembahasan ke 2021.
Lembaga pusat riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menyesalkan sikap DPR tersebut. Digesernya waktu pembahasan RUU PKS ke 2021 menunjukkan ketidakseriusan wakil rakyat dalam menjawab aspirasi publik, terutama korban kekerasan seksual.
“Ini tetap patut disayangkan, mengingat justru kasus kekerasan seksual yang terus meningkat. Belum lagi, masalah masih rendahnya kesadaran dan kepekaan gender serta keberpihakan kepada korban dan rehabilitasi korban oleh aparat hukum,” kata Direktur Eksekutif TII Adinda Tenriangke Muchtar saat dihubungi SINDOnews, Jumat (3/7/2020).
(Baca: Pimpinan DPR Jelaskan Alasan RUU PKS Ditarik dari Prolegnas 2020)
Tak hanya itu, ia menganggap DPR telah gagal dalam menjalankan fungsi representasinya lantaran tidak fokus untuk memprioritaskan suara rakyat. Parlemen juga dinilai tidak menunjukkan kepekaan terhadap korban kekerasan seksual.
“Ketika alasannya sulit untuk dibahas atau tidak cukup waktu, buat saya sangat tidak masuk akal. Alasan yang hanya meributkan urusan judul dan hal-hal normatif lainnya, justru menghambat kemajuan pembahasan RUU PKS,” celetuknya.
Adinda menganggap proses panjang RUU PKS dalam bahasan Prolegnas hingga tergeser ke 2021 menunjukkan ketidakmampuan dan tidak adanya kemauan politik yang kuat dari DPR dan pemerintah untuk melawan kekerasan seksual. Menurut dia, kedua pihak tersebut harus belajar untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat.
Dirinya juga menyoroti mekanisme rapat dengar pendapat (RDP) atau lainnya yang acap kali digelar oleh DPR. Padahal, pertemuan itu memungkinkan adanya partisipasi publik, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, dan lainnya. Momen tersebut seharusnya bisa menjadi sumber daya pendukung untuk DPR menuntaskan RUU PKS.
(Baca: RUU PKS Dihapus, Ini Fakta Kasus Kekerasan Seksual pada Perempuan)
“Terutama untuk DPR, bukan kali ini saja DPR melawan arus dari aspirasi rakyat. Ini justru harus jadi momentum sekaligus legacy bagi DPR untuk memperbaiki kinerjanya sebagai wakil rakyat, terutama dalam mendorong upaya untuk menghapus kekerasan seksual di Indonesia,” tukas dia.
Ia juga mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Hukum dan HAM, serta lembaga pemerintah terkait lainnya, agar lebih tegas dan ikut menyegerakan pembahasan serta pengesahan RUU PKS ke depannya.
Lembaga pusat riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menyesalkan sikap DPR tersebut. Digesernya waktu pembahasan RUU PKS ke 2021 menunjukkan ketidakseriusan wakil rakyat dalam menjawab aspirasi publik, terutama korban kekerasan seksual.
“Ini tetap patut disayangkan, mengingat justru kasus kekerasan seksual yang terus meningkat. Belum lagi, masalah masih rendahnya kesadaran dan kepekaan gender serta keberpihakan kepada korban dan rehabilitasi korban oleh aparat hukum,” kata Direktur Eksekutif TII Adinda Tenriangke Muchtar saat dihubungi SINDOnews, Jumat (3/7/2020).
(Baca: Pimpinan DPR Jelaskan Alasan RUU PKS Ditarik dari Prolegnas 2020)
Tak hanya itu, ia menganggap DPR telah gagal dalam menjalankan fungsi representasinya lantaran tidak fokus untuk memprioritaskan suara rakyat. Parlemen juga dinilai tidak menunjukkan kepekaan terhadap korban kekerasan seksual.
“Ketika alasannya sulit untuk dibahas atau tidak cukup waktu, buat saya sangat tidak masuk akal. Alasan yang hanya meributkan urusan judul dan hal-hal normatif lainnya, justru menghambat kemajuan pembahasan RUU PKS,” celetuknya.
Adinda menganggap proses panjang RUU PKS dalam bahasan Prolegnas hingga tergeser ke 2021 menunjukkan ketidakmampuan dan tidak adanya kemauan politik yang kuat dari DPR dan pemerintah untuk melawan kekerasan seksual. Menurut dia, kedua pihak tersebut harus belajar untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat.
Dirinya juga menyoroti mekanisme rapat dengar pendapat (RDP) atau lainnya yang acap kali digelar oleh DPR. Padahal, pertemuan itu memungkinkan adanya partisipasi publik, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, dan lainnya. Momen tersebut seharusnya bisa menjadi sumber daya pendukung untuk DPR menuntaskan RUU PKS.
(Baca: RUU PKS Dihapus, Ini Fakta Kasus Kekerasan Seksual pada Perempuan)
“Terutama untuk DPR, bukan kali ini saja DPR melawan arus dari aspirasi rakyat. Ini justru harus jadi momentum sekaligus legacy bagi DPR untuk memperbaiki kinerjanya sebagai wakil rakyat, terutama dalam mendorong upaya untuk menghapus kekerasan seksual di Indonesia,” tukas dia.
Ia juga mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Hukum dan HAM, serta lembaga pemerintah terkait lainnya, agar lebih tegas dan ikut menyegerakan pembahasan serta pengesahan RUU PKS ke depannya.
(muh)
tulis komentar anda