Senjata Pamungkas Untuk Menangkap Djoko Tjandra: SEMA No 1/2012

Jum'at, 03 Juli 2020 - 07:00 WIB
Dalam putusan perkara ini suara MA tidak bulat, terdapat dua hakim anggota yang berbeda pendapat, yaitu Leopold Hutagalung (hakim ad hoc) dan Abbas Said yang berpendapat bahwa PK yang hanya dihadiri oleh penasihat hukum diperbolehkan.

Tak lama setelah perkara Tamzil Zein, pada tahun yang sama MA kembali memutus dengan putusan serupa, kali ini dengan suara bulat, yaitu dalam perkara Setia Budi. Dalam putusan ini sangat terlihat jelas bahwa alasan MA menyatakan tidak dapat menerima PK yang tidak dihadiri oleh terpidana/ahli warisnya adalah karena dikhawatirkan PK dimanfaatkan oleh terpidana yang sedang melarikan diri/bersembunyi seperti yang telah terjadi sebelumnya, seperti dalam kasus Tommy Soeharto.

Sebelum SEMA ini terbit memang terdapat inkonsistensi dalam putusan-putusan MA terkait masalah ini. Terdapat dua pandangan di dalam tubuh MA yang menafsirkan aturan-aturan mengenai PK dalam KUHAP, ada yang memandang kehadiran terpidana/ahli warisnya bersifat imperatif ada yang tidak.

Dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, MA yang tahu terpidana Tommmy Soeharto sedang melarikan diri mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh melalui kuasa hukumnya. Saat itu majelis PK yang mengabulkan permohonan PK tersebut dipimpin langsung oleh Ketua MA pada saat itu, Prof. Bagir Manan. Hukuman anak kesayangan penguasa Orde Baru Soeharto itu dikorting dari 15 tahun menjadi 10 tahun.

Latar belakang seperti itu sepertinya yang menjadi alasan mengapa MA merasa perlu menerbitkan SEMA No. 1 Tahun 2012 ini, untuk mengakhiri dualisme pendapat MA tersebut. Mengacu pada SEMA itu sesungguhnya pihak Kejaksaan tidak perlu repot menelusuri keberadaan Djoko. Tunggu saja dia di PN Jakarta Selatan sesuai jadwal sidang yang telah ditetapkan.

Masalahnya, MA sendiri tidak memegang teguh surat edaran yang diterbitkannnya sendiri. Buktinya dalam kasus terpidana korupsi Sujiono Timan dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang dinilai telah merugikan negara sebesar 120 juta dolar AS dan Rp98,7 juta itu di tingkat pertama, oleh PN Negeri Jakarta Selatan divonis bebas.

Jaksa tak menerima putusan itu karena dalam tuntutannya, jaksa meminta hakim memvonis Sudjiono 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, serta membayar uang pengganti Rp 1 triliun. Jaksa lantas mengajukan kasasi. Hingga tahap ini Kejaksaan belum dapat mengeksekusi Sudjiono. Sebab sejak 7 Desember 2004 keberadaan Sudjiono tidak diketahui rimbanya.

Di tingkat kasasi, MA mengabulkan permohonan Jaksa. Majelis Kasasi yang diketuai Bagir Manan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 50 juta kepada Sudjiono. Tak hanya itu, Majelis Kasasi juga meminta Sudjiono membayar uang pengganti sebanyak Rp369 miliar.

Namun, dari persembunyiannnya, Sudjiono diam-diam mengajukan PK pada 2012. Majelis PK yang diketuai Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta dua hakim ad hoc Tipikor Sri Murwahyuni dan Abdul Latif, mengabulkan PK Sudjiono. Perkara diketok pada 31 Juli 2013.

PK memang menjadi senjata pamungkas bagi koruptor. MA selaku benteng peradilan terakhir nyatanya juga belum bisa diandalkan dalam memberi efek jera buat koruptor. Ini tampak dari putusan Peninjauan Kembali sepanjang tahun lalu, MA mengkorting hukuman 6 terpidana kasus korupsi. Mulai dari pengurangan hukuman penjara, atau pun penghapusan uang pengganti.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More