Senjata Pamungkas Untuk Menangkap Djoko Tjandra: SEMA No 1/2012
Jum'at, 03 Juli 2020 - 07:00 WIB
JAKARTA - Djoko Tjandra mungkin punya ilmu siluman. Saat hendak dieksekusi ia bisa mendadak hilang, begitu pula waktu mengajukan permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Dalam status buron, terpidana kasus cessie (hak tagih piutang) Bank Bali senilai Rp546 miliar yang sudah menjadi warga negara Papua Niugini itu bebas melenggang masuk ke Indonesia. Selanjutnya, kata pengacara Andi Putra Kusuma, taipan properti Grup Mulia itu mendaftarkan PK sendiri di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tanggal 8 Juni silam.
Publik pun geger. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin hanya bisa mengaku kecolongan. Sedangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengaku tidak tahu lewat pintu mana masuknya Djoko Tjandra. Alasannya, karena pintu-pintu Indonesia sangat luas bahkan ada juga pintu tikus. Lebih dari itu, ia menambahkan, menurut interpol sejak 2014, Djoko Tjandra sudah tidak lagi masuk dalam DPO atau red notice. “Jadi kalaupun seandainya Djoko Tjandra lewat pintu resmi, dia bisa melewatinya dengan santai bahkan sambal bersiul,” ucapnya.
Andi yang menggelar konfersensi pers di kantornya, Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (1/7) lalu, mengaku hanya bertemu kliennnya saat pendaftaran PK. Ia pun menyatakan tidak tahu jika kliennya sudah berada di Indonesia sejak 3 bulan lalu. "Intinya kami dari tim hukum menyampaikan bahwa pendaftarannya harus dilakukan oleh pemohon itu sendiri. Untuk itu bapak mohon untuk dapat hadir di pengadilan, kami tentukan tanggal 8, beliau hadir di pengadilan," katanya.
Mahkamah Agung jangan jilat air ludah sendiri
Kewajiban terpidana untuk hadir sendiri mendaftarkan PK diatur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomer 1 Tahun 2012 yang ditandatangani Ketua MA tanggal 28 Juni 2012. SEMA ini juga mengatur terpidana harus hadir dalam pemeriksaan permohonan PK di PN. Dalam SEMA tersebut, lembaga peradilan tertinggi juga menegaskan bahwa permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung (MA).
Seperti diketahui Djoko tidak hadir pada sidang perdana PK dengan alasan sakit. Sidang akan dijadwal ulang pada 6 Juli 2020, tapi Andi belum bisa memastikan kliennya bisa hadir atau tidak. "Mengenai kehadirannya Pak Djoko, terakhir kami konfirmasi, bahkan sebelum sidang tanggal 29 Juni Pak Djokoconfirmed untuk hadir. Cuma pada hari Kamis disampaikan beliau kesehatannya menurun dan dibuktikan juga surat dari dokter. Makanya sidangnya ditunda untuk menghadirkan beliau," katanya.
Sekadar informasi, Djoko Tjandra divonis bebas dari tuntutan oleh PN Jakarta Selatan pada Oktober 2008. Namun Kejaksaan Agung melakukan upaya hukum PK ke MA. Djoko lantas dihukum MA pidana 2 tahun penjara serta membayar denda Rp15 juta. Tidak hanya itu, MA juga memerintahkan uang Rp546 miliar di Bank Bali dirampas untuk negara. Djoko kabur ke Papua Nugini pada Juni 2009 atau sehari setelah putusan MA dijatuhkan.
Soal kaburnya Djoko yang hanya berselang satu hari setelah putusan PK juga patut dipertanyakan. Bagaimana bisa dia tahu perkaranya sudah diputus, padahal sidang berlangsung tertutup. Nyaris mustahil putusan PK sudah diterima oleh PN dalam tempo satu hari sejak diputus. Artinya, tidak tertutup kemungkinan ia sudah dibisiki oleh oknum di MA atau “orang-orang kepercayaannya” di Kejaksaan selaku pemohon PK.
Betul, SEMA itu tidak menjelaskan mengapa tiba-tiba MA memandang perlu untuk mengatur PK hanya dapat diajukan (dihadiri) oleh terpidana atau ahli warisnya secara langsung, dan tidak bisa hanya dihadiri oleh kuasa hukumnya semata. Namun jika ditelusuri isu ini sebenarnya telah mencuat sejak awal tahun 2010 yang lalu. Pada saat itu MA untuk pertama kalinya menyatakan tidak dapat menerima (niet onvanklijk verklaard/ N.O.) permohonan PK dengan terpidana korupsi Tazwin Zein dengan alasan permohonan PK tersebut tidak dihadiri oleh terpidana/ahli warisnya saat sidang pemeriksaan PK di PN. Sidang hanya dihadiri oleh Penasihat Hukum Tazwin.
Publik pun geger. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin hanya bisa mengaku kecolongan. Sedangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengaku tidak tahu lewat pintu mana masuknya Djoko Tjandra. Alasannya, karena pintu-pintu Indonesia sangat luas bahkan ada juga pintu tikus. Lebih dari itu, ia menambahkan, menurut interpol sejak 2014, Djoko Tjandra sudah tidak lagi masuk dalam DPO atau red notice. “Jadi kalaupun seandainya Djoko Tjandra lewat pintu resmi, dia bisa melewatinya dengan santai bahkan sambal bersiul,” ucapnya.
Andi yang menggelar konfersensi pers di kantornya, Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (1/7) lalu, mengaku hanya bertemu kliennnya saat pendaftaran PK. Ia pun menyatakan tidak tahu jika kliennya sudah berada di Indonesia sejak 3 bulan lalu. "Intinya kami dari tim hukum menyampaikan bahwa pendaftarannya harus dilakukan oleh pemohon itu sendiri. Untuk itu bapak mohon untuk dapat hadir di pengadilan, kami tentukan tanggal 8, beliau hadir di pengadilan," katanya.
Mahkamah Agung jangan jilat air ludah sendiri
Kewajiban terpidana untuk hadir sendiri mendaftarkan PK diatur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomer 1 Tahun 2012 yang ditandatangani Ketua MA tanggal 28 Juni 2012. SEMA ini juga mengatur terpidana harus hadir dalam pemeriksaan permohonan PK di PN. Dalam SEMA tersebut, lembaga peradilan tertinggi juga menegaskan bahwa permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung (MA).
Seperti diketahui Djoko tidak hadir pada sidang perdana PK dengan alasan sakit. Sidang akan dijadwal ulang pada 6 Juli 2020, tapi Andi belum bisa memastikan kliennya bisa hadir atau tidak. "Mengenai kehadirannya Pak Djoko, terakhir kami konfirmasi, bahkan sebelum sidang tanggal 29 Juni Pak Djokoconfirmed untuk hadir. Cuma pada hari Kamis disampaikan beliau kesehatannya menurun dan dibuktikan juga surat dari dokter. Makanya sidangnya ditunda untuk menghadirkan beliau," katanya.
Sekadar informasi, Djoko Tjandra divonis bebas dari tuntutan oleh PN Jakarta Selatan pada Oktober 2008. Namun Kejaksaan Agung melakukan upaya hukum PK ke MA. Djoko lantas dihukum MA pidana 2 tahun penjara serta membayar denda Rp15 juta. Tidak hanya itu, MA juga memerintahkan uang Rp546 miliar di Bank Bali dirampas untuk negara. Djoko kabur ke Papua Nugini pada Juni 2009 atau sehari setelah putusan MA dijatuhkan.
Soal kaburnya Djoko yang hanya berselang satu hari setelah putusan PK juga patut dipertanyakan. Bagaimana bisa dia tahu perkaranya sudah diputus, padahal sidang berlangsung tertutup. Nyaris mustahil putusan PK sudah diterima oleh PN dalam tempo satu hari sejak diputus. Artinya, tidak tertutup kemungkinan ia sudah dibisiki oleh oknum di MA atau “orang-orang kepercayaannya” di Kejaksaan selaku pemohon PK.
Betul, SEMA itu tidak menjelaskan mengapa tiba-tiba MA memandang perlu untuk mengatur PK hanya dapat diajukan (dihadiri) oleh terpidana atau ahli warisnya secara langsung, dan tidak bisa hanya dihadiri oleh kuasa hukumnya semata. Namun jika ditelusuri isu ini sebenarnya telah mencuat sejak awal tahun 2010 yang lalu. Pada saat itu MA untuk pertama kalinya menyatakan tidak dapat menerima (niet onvanklijk verklaard/ N.O.) permohonan PK dengan terpidana korupsi Tazwin Zein dengan alasan permohonan PK tersebut tidak dihadiri oleh terpidana/ahli warisnya saat sidang pemeriksaan PK di PN. Sidang hanya dihadiri oleh Penasihat Hukum Tazwin.
tulis komentar anda