Senjata Pamungkas Untuk Menangkap Djoko Tjandra: SEMA No 1/2012
loading...
A
A
A
JAKARTA - Djoko Tjandra mungkin punya ilmu siluman. Saat hendak dieksekusi ia bisa mendadak hilang, begitu pula waktu mengajukan permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Dalam status buron, terpidana kasus cessie (hak tagih piutang) Bank Bali senilai Rp546 miliar yang sudah menjadi warga negara Papua Niugini itu bebas melenggang masuk ke Indonesia. Selanjutnya, kata pengacara Andi Putra Kusuma, taipan properti Grup Mulia itu mendaftarkan PK sendiri di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tanggal 8 Juni silam.
Publik pun geger. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin hanya bisa mengaku kecolongan. Sedangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengaku tidak tahu lewat pintu mana masuknya Djoko Tjandra. Alasannya, karena pintu-pintu Indonesia sangat luas bahkan ada juga pintu tikus. Lebih dari itu, ia menambahkan, menurut interpol sejak 2014, Djoko Tjandra sudah tidak lagi masuk dalam DPO atau red notice. “Jadi kalaupun seandainya Djoko Tjandra lewat pintu resmi, dia bisa melewatinya dengan santai bahkan sambal bersiul,” ucapnya.
Andi yang menggelar konfersensi pers di kantornya, Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (1/7) lalu, mengaku hanya bertemu kliennnya saat pendaftaran PK. Ia pun menyatakan tidak tahu jika kliennya sudah berada di Indonesia sejak 3 bulan lalu. "Intinya kami dari tim hukum menyampaikan bahwa pendaftarannya harus dilakukan oleh pemohon itu sendiri. Untuk itu bapak mohon untuk dapat hadir di pengadilan, kami tentukan tanggal 8, beliau hadir di pengadilan," katanya.
Mahkamah Agung jangan jilat air ludah sendiri
Kewajiban terpidana untuk hadir sendiri mendaftarkan PK diatur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomer 1 Tahun 2012 yang ditandatangani Ketua MA tanggal 28 Juni 2012. SEMA ini juga mengatur terpidana harus hadir dalam pemeriksaan permohonan PK di PN. Dalam SEMA tersebut, lembaga peradilan tertinggi juga menegaskan bahwa permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung (MA).
Seperti diketahui Djoko tidak hadir pada sidang perdana PK dengan alasan sakit. Sidang akan dijadwal ulang pada 6 Juli 2020, tapi Andi belum bisa memastikan kliennya bisa hadir atau tidak. "Mengenai kehadirannya Pak Djoko, terakhir kami konfirmasi, bahkan sebelum sidang tanggal 29 Juni Pak Djokoconfirmed untuk hadir. Cuma pada hari Kamis disampaikan beliau kesehatannya menurun dan dibuktikan juga surat dari dokter. Makanya sidangnya ditunda untuk menghadirkan beliau," katanya.
Sekadar informasi, Djoko Tjandra divonis bebas dari tuntutan oleh PN Jakarta Selatan pada Oktober 2008. Namun Kejaksaan Agung melakukan upaya hukum PK ke MA. Djoko lantas dihukum MA pidana 2 tahun penjara serta membayar denda Rp15 juta. Tidak hanya itu, MA juga memerintahkan uang Rp546 miliar di Bank Bali dirampas untuk negara. Djoko kabur ke Papua Nugini pada Juni 2009 atau sehari setelah putusan MA dijatuhkan.
Soal kaburnya Djoko yang hanya berselang satu hari setelah putusan PK juga patut dipertanyakan. Bagaimana bisa dia tahu perkaranya sudah diputus, padahal sidang berlangsung tertutup. Nyaris mustahil putusan PK sudah diterima oleh PN dalam tempo satu hari sejak diputus. Artinya, tidak tertutup kemungkinan ia sudah dibisiki oleh oknum di MA atau “orang-orang kepercayaannya” di Kejaksaan selaku pemohon PK.
Betul, SEMA itu tidak menjelaskan mengapa tiba-tiba MA memandang perlu untuk mengatur PK hanya dapat diajukan (dihadiri) oleh terpidana atau ahli warisnya secara langsung, dan tidak bisa hanya dihadiri oleh kuasa hukumnya semata. Namun jika ditelusuri isu ini sebenarnya telah mencuat sejak awal tahun 2010 yang lalu. Pada saat itu MA untuk pertama kalinya menyatakan tidak dapat menerima (niet onvanklijk verklaard/ N.O.) permohonan PK dengan terpidana korupsi Tazwin Zein dengan alasan permohonan PK tersebut tidak dihadiri oleh terpidana/ahli warisnya saat sidang pemeriksaan PK di PN. Sidang hanya dihadiri oleh Penasihat Hukum Tazwin.
Dalam putusan perkara ini suara MA tidak bulat, terdapat dua hakim anggota yang berbeda pendapat, yaitu Leopold Hutagalung (hakim ad hoc) dan Abbas Said yang berpendapat bahwa PK yang hanya dihadiri oleh penasihat hukum diperbolehkan.
Tak lama setelah perkara Tamzil Zein, pada tahun yang sama MA kembali memutus dengan putusan serupa, kali ini dengan suara bulat, yaitu dalam perkara Setia Budi. Dalam putusan ini sangat terlihat jelas bahwa alasan MA menyatakan tidak dapat menerima PK yang tidak dihadiri oleh terpidana/ahli warisnya adalah karena dikhawatirkan PK dimanfaatkan oleh terpidana yang sedang melarikan diri/bersembunyi seperti yang telah terjadi sebelumnya, seperti dalam kasus Tommy Soeharto.
Sebelum SEMA ini terbit memang terdapat inkonsistensi dalam putusan-putusan MA terkait masalah ini. Terdapat dua pandangan di dalam tubuh MA yang menafsirkan aturan-aturan mengenai PK dalam KUHAP, ada yang memandang kehadiran terpidana/ahli warisnya bersifat imperatif ada yang tidak.
Dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, MA yang tahu terpidana Tommmy Soeharto sedang melarikan diri mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh melalui kuasa hukumnya. Saat itu majelis PK yang mengabulkan permohonan PK tersebut dipimpin langsung oleh Ketua MA pada saat itu, Prof. Bagir Manan. Hukuman anak kesayangan penguasa Orde Baru Soeharto itu dikorting dari 15 tahun menjadi 10 tahun.
Latar belakang seperti itu sepertinya yang menjadi alasan mengapa MA merasa perlu menerbitkan SEMA No. 1 Tahun 2012 ini, untuk mengakhiri dualisme pendapat MA tersebut. Mengacu pada SEMA itu sesungguhnya pihak Kejaksaan tidak perlu repot menelusuri keberadaan Djoko. Tunggu saja dia di PN Jakarta Selatan sesuai jadwal sidang yang telah ditetapkan.
Masalahnya, MA sendiri tidak memegang teguh surat edaran yang diterbitkannnya sendiri. Buktinya dalam kasus terpidana korupsi Sujiono Timan dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang dinilai telah merugikan negara sebesar 120 juta dolar AS dan Rp98,7 juta itu di tingkat pertama, oleh PN Negeri Jakarta Selatan divonis bebas.
Jaksa tak menerima putusan itu karena dalam tuntutannya, jaksa meminta hakim memvonis Sudjiono 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, serta membayar uang pengganti Rp 1 triliun. Jaksa lantas mengajukan kasasi. Hingga tahap ini Kejaksaan belum dapat mengeksekusi Sudjiono. Sebab sejak 7 Desember 2004 keberadaan Sudjiono tidak diketahui rimbanya.
Di tingkat kasasi, MA mengabulkan permohonan Jaksa. Majelis Kasasi yang diketuai Bagir Manan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 50 juta kepada Sudjiono. Tak hanya itu, Majelis Kasasi juga meminta Sudjiono membayar uang pengganti sebanyak Rp369 miliar.
Namun, dari persembunyiannnya, Sudjiono diam-diam mengajukan PK pada 2012. Majelis PK yang diketuai Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta dua hakim ad hoc Tipikor Sri Murwahyuni dan Abdul Latif, mengabulkan PK Sudjiono. Perkara diketok pada 31 Juli 2013.
PK memang menjadi senjata pamungkas bagi koruptor. MA selaku benteng peradilan terakhir nyatanya juga belum bisa diandalkan dalam memberi efek jera buat koruptor. Ini tampak dari putusan Peninjauan Kembali sepanjang tahun lalu, MA mengkorting hukuman 6 terpidana kasus korupsi. Mulai dari pengurangan hukuman penjara, atau pun penghapusan uang pengganti.
Mereka yang mendapat diskon dari MA adalah bekas Ketua DPD Irman Gusman (hukuman 4 tahun 6 bulan didiskon jadi 3 tahun), adik mantan Menpora, Choel Mallarangeng (3 tahun 6 bulan jadi 3 tahun), bekas Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo (hukuman 7 tahun plus uang pengganti Rp 2,6 miliar jadi 7 tahun saja), mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi (4 tahun dan uang pengganti Rp 425.000.000 jadi 3 tahun), mantan Hakim MK Patrialis Akbar 8 tahun plus Rp425 juta jadi 3 tahun), bekas anggota DPRD DKI M. Sanusi (10 tahun plus Rp 10 miliar jadi 7 tahun).
Terlepas dari itu, sungguh menarik untuk ditunggu apakah Djoko Tjandra berani hadir di PN Jakarta Selatan tanggal 6 Juli nanti? Kalau berani, semestinya Kejaksaan Agung tidak sulit untuk mencokok sang buronan yang sudah kabur selama 11 tahun itu.
Apalagi Menkopolhukam Mahfud MD agaknya sudah tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya atas buruknya kinerja aparat negara di bidang hukum. “Saya tadi sudah bicara dengan Jaksa Agung supaya segera menangkap buronan Joko Tjandra. Ini adalah buronan yang masuk dalam DPO (daftar pencarian orang) oleh sebab itu Kejaksaan Agung maupun Kepolisian harus segera menangkapnya. Tidak ada alasan bagi orang yang DPO meskipun dia mau minta PK lalu dibiarkan berkeliaran,” tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterimaSINDOnews.
Seruan Mahfud mendapat dukungan dari Ketua Dewan Pimpinan Nasional Peradi (Persatyan Advokat Indonesia) Luhut Pangaribuan. “Karena SEMA menyatakan kehairan terpidana sebagai sebuah keharusan, MA jangan menjilat air ludahnya sendiri,” sahutnya kepada SINDOnews. “ Permohonan itu harus dinyatakan N.O. (niet onvanklijk verklaard), tidak dapat diterima.”
Publik pun geger. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin hanya bisa mengaku kecolongan. Sedangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengaku tidak tahu lewat pintu mana masuknya Djoko Tjandra. Alasannya, karena pintu-pintu Indonesia sangat luas bahkan ada juga pintu tikus. Lebih dari itu, ia menambahkan, menurut interpol sejak 2014, Djoko Tjandra sudah tidak lagi masuk dalam DPO atau red notice. “Jadi kalaupun seandainya Djoko Tjandra lewat pintu resmi, dia bisa melewatinya dengan santai bahkan sambal bersiul,” ucapnya.
Andi yang menggelar konfersensi pers di kantornya, Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (1/7) lalu, mengaku hanya bertemu kliennnya saat pendaftaran PK. Ia pun menyatakan tidak tahu jika kliennya sudah berada di Indonesia sejak 3 bulan lalu. "Intinya kami dari tim hukum menyampaikan bahwa pendaftarannya harus dilakukan oleh pemohon itu sendiri. Untuk itu bapak mohon untuk dapat hadir di pengadilan, kami tentukan tanggal 8, beliau hadir di pengadilan," katanya.
Mahkamah Agung jangan jilat air ludah sendiri
Kewajiban terpidana untuk hadir sendiri mendaftarkan PK diatur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomer 1 Tahun 2012 yang ditandatangani Ketua MA tanggal 28 Juni 2012. SEMA ini juga mengatur terpidana harus hadir dalam pemeriksaan permohonan PK di PN. Dalam SEMA tersebut, lembaga peradilan tertinggi juga menegaskan bahwa permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung (MA).
Seperti diketahui Djoko tidak hadir pada sidang perdana PK dengan alasan sakit. Sidang akan dijadwal ulang pada 6 Juli 2020, tapi Andi belum bisa memastikan kliennya bisa hadir atau tidak. "Mengenai kehadirannya Pak Djoko, terakhir kami konfirmasi, bahkan sebelum sidang tanggal 29 Juni Pak Djokoconfirmed untuk hadir. Cuma pada hari Kamis disampaikan beliau kesehatannya menurun dan dibuktikan juga surat dari dokter. Makanya sidangnya ditunda untuk menghadirkan beliau," katanya.
Sekadar informasi, Djoko Tjandra divonis bebas dari tuntutan oleh PN Jakarta Selatan pada Oktober 2008. Namun Kejaksaan Agung melakukan upaya hukum PK ke MA. Djoko lantas dihukum MA pidana 2 tahun penjara serta membayar denda Rp15 juta. Tidak hanya itu, MA juga memerintahkan uang Rp546 miliar di Bank Bali dirampas untuk negara. Djoko kabur ke Papua Nugini pada Juni 2009 atau sehari setelah putusan MA dijatuhkan.
Soal kaburnya Djoko yang hanya berselang satu hari setelah putusan PK juga patut dipertanyakan. Bagaimana bisa dia tahu perkaranya sudah diputus, padahal sidang berlangsung tertutup. Nyaris mustahil putusan PK sudah diterima oleh PN dalam tempo satu hari sejak diputus. Artinya, tidak tertutup kemungkinan ia sudah dibisiki oleh oknum di MA atau “orang-orang kepercayaannya” di Kejaksaan selaku pemohon PK.
Betul, SEMA itu tidak menjelaskan mengapa tiba-tiba MA memandang perlu untuk mengatur PK hanya dapat diajukan (dihadiri) oleh terpidana atau ahli warisnya secara langsung, dan tidak bisa hanya dihadiri oleh kuasa hukumnya semata. Namun jika ditelusuri isu ini sebenarnya telah mencuat sejak awal tahun 2010 yang lalu. Pada saat itu MA untuk pertama kalinya menyatakan tidak dapat menerima (niet onvanklijk verklaard/ N.O.) permohonan PK dengan terpidana korupsi Tazwin Zein dengan alasan permohonan PK tersebut tidak dihadiri oleh terpidana/ahli warisnya saat sidang pemeriksaan PK di PN. Sidang hanya dihadiri oleh Penasihat Hukum Tazwin.
Dalam putusan perkara ini suara MA tidak bulat, terdapat dua hakim anggota yang berbeda pendapat, yaitu Leopold Hutagalung (hakim ad hoc) dan Abbas Said yang berpendapat bahwa PK yang hanya dihadiri oleh penasihat hukum diperbolehkan.
Tak lama setelah perkara Tamzil Zein, pada tahun yang sama MA kembali memutus dengan putusan serupa, kali ini dengan suara bulat, yaitu dalam perkara Setia Budi. Dalam putusan ini sangat terlihat jelas bahwa alasan MA menyatakan tidak dapat menerima PK yang tidak dihadiri oleh terpidana/ahli warisnya adalah karena dikhawatirkan PK dimanfaatkan oleh terpidana yang sedang melarikan diri/bersembunyi seperti yang telah terjadi sebelumnya, seperti dalam kasus Tommy Soeharto.
Sebelum SEMA ini terbit memang terdapat inkonsistensi dalam putusan-putusan MA terkait masalah ini. Terdapat dua pandangan di dalam tubuh MA yang menafsirkan aturan-aturan mengenai PK dalam KUHAP, ada yang memandang kehadiran terpidana/ahli warisnya bersifat imperatif ada yang tidak.
Dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, MA yang tahu terpidana Tommmy Soeharto sedang melarikan diri mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh melalui kuasa hukumnya. Saat itu majelis PK yang mengabulkan permohonan PK tersebut dipimpin langsung oleh Ketua MA pada saat itu, Prof. Bagir Manan. Hukuman anak kesayangan penguasa Orde Baru Soeharto itu dikorting dari 15 tahun menjadi 10 tahun.
Latar belakang seperti itu sepertinya yang menjadi alasan mengapa MA merasa perlu menerbitkan SEMA No. 1 Tahun 2012 ini, untuk mengakhiri dualisme pendapat MA tersebut. Mengacu pada SEMA itu sesungguhnya pihak Kejaksaan tidak perlu repot menelusuri keberadaan Djoko. Tunggu saja dia di PN Jakarta Selatan sesuai jadwal sidang yang telah ditetapkan.
Masalahnya, MA sendiri tidak memegang teguh surat edaran yang diterbitkannnya sendiri. Buktinya dalam kasus terpidana korupsi Sujiono Timan dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang dinilai telah merugikan negara sebesar 120 juta dolar AS dan Rp98,7 juta itu di tingkat pertama, oleh PN Negeri Jakarta Selatan divonis bebas.
Jaksa tak menerima putusan itu karena dalam tuntutannya, jaksa meminta hakim memvonis Sudjiono 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, serta membayar uang pengganti Rp 1 triliun. Jaksa lantas mengajukan kasasi. Hingga tahap ini Kejaksaan belum dapat mengeksekusi Sudjiono. Sebab sejak 7 Desember 2004 keberadaan Sudjiono tidak diketahui rimbanya.
Di tingkat kasasi, MA mengabulkan permohonan Jaksa. Majelis Kasasi yang diketuai Bagir Manan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 50 juta kepada Sudjiono. Tak hanya itu, Majelis Kasasi juga meminta Sudjiono membayar uang pengganti sebanyak Rp369 miliar.
Namun, dari persembunyiannnya, Sudjiono diam-diam mengajukan PK pada 2012. Majelis PK yang diketuai Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta dua hakim ad hoc Tipikor Sri Murwahyuni dan Abdul Latif, mengabulkan PK Sudjiono. Perkara diketok pada 31 Juli 2013.
PK memang menjadi senjata pamungkas bagi koruptor. MA selaku benteng peradilan terakhir nyatanya juga belum bisa diandalkan dalam memberi efek jera buat koruptor. Ini tampak dari putusan Peninjauan Kembali sepanjang tahun lalu, MA mengkorting hukuman 6 terpidana kasus korupsi. Mulai dari pengurangan hukuman penjara, atau pun penghapusan uang pengganti.
Mereka yang mendapat diskon dari MA adalah bekas Ketua DPD Irman Gusman (hukuman 4 tahun 6 bulan didiskon jadi 3 tahun), adik mantan Menpora, Choel Mallarangeng (3 tahun 6 bulan jadi 3 tahun), bekas Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo (hukuman 7 tahun plus uang pengganti Rp 2,6 miliar jadi 7 tahun saja), mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi (4 tahun dan uang pengganti Rp 425.000.000 jadi 3 tahun), mantan Hakim MK Patrialis Akbar 8 tahun plus Rp425 juta jadi 3 tahun), bekas anggota DPRD DKI M. Sanusi (10 tahun plus Rp 10 miliar jadi 7 tahun).
Terlepas dari itu, sungguh menarik untuk ditunggu apakah Djoko Tjandra berani hadir di PN Jakarta Selatan tanggal 6 Juli nanti? Kalau berani, semestinya Kejaksaan Agung tidak sulit untuk mencokok sang buronan yang sudah kabur selama 11 tahun itu.
Apalagi Menkopolhukam Mahfud MD agaknya sudah tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya atas buruknya kinerja aparat negara di bidang hukum. “Saya tadi sudah bicara dengan Jaksa Agung supaya segera menangkap buronan Joko Tjandra. Ini adalah buronan yang masuk dalam DPO (daftar pencarian orang) oleh sebab itu Kejaksaan Agung maupun Kepolisian harus segera menangkapnya. Tidak ada alasan bagi orang yang DPO meskipun dia mau minta PK lalu dibiarkan berkeliaran,” tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterimaSINDOnews.
Seruan Mahfud mendapat dukungan dari Ketua Dewan Pimpinan Nasional Peradi (Persatyan Advokat Indonesia) Luhut Pangaribuan. “Karena SEMA menyatakan kehairan terpidana sebagai sebuah keharusan, MA jangan menjilat air ludahnya sendiri,” sahutnya kepada SINDOnews. “ Permohonan itu harus dinyatakan N.O. (niet onvanklijk verklaard), tidak dapat diterima.”
(rza)