Konflik di Laut China Selatan

Jum'at, 03 Juli 2020 - 07:00 WIB
Asrudin Azwar
Asrudin Azwar

Peneliti, pendiri The Asrudian Center



SEPERTI
pada tahun-tahun sebelumnya, sampai Juni 2020 ini ketegangan di kawasan Laut China Selatan (LCS) belum juga menunjukkan peredaan. Grafiknya justru terus meningkat di tengah mewabahnya virus korona.

Pada Januari 2020 lalu, misalnya, China diketahui melakukan klaim sepihak atas Laut Natuna yang menjadi wilayah Indonesia. China juga dikabarkan telah menenggelamkan kapal Vietnam di Kepulauan Paracel pada April 2020. Dan masih segar dalam pemberitaan adalah terjadinya insiden West Capella bulan lalu di perairan Malaysia. Di tengah pengeboran lepas laut, yang dilakukan kapal West Capella, China, dikabarkan mengirimkan kapal survei dan coast guard untuk melakukan pemindaian. Menyikapi langkah provokatif China itu, Malaysia mengirim kapal angkatan lautnya ke lokasi tersebut.



Dalam insiden itu Amerika diketahui ikut terlibat. Dengan kapal perangnya Amerika mengawal kapal Angkatan Laut Malaysia dan menegaskan dukungan kepada negara-negara ASEAN lainnya. Amerika menyebut dukungannya itu sebagai presence operation sekaligus memperingatkan China untuk tidak menciptakan ketidakamanan di LCS. Untuk menunjukkan ketegasan atas China, militer Amerika Serikat kemudian mengerahkan tiga kapal induk andalannya, yaitu USS Ronald Reagan, USS Theodore Roosevelt yang berpatroli di Samudera Pasifik bagian barat, dan kapal induk USS Nimitz yang bergerak di sisi timur. Setiap kapal induk mengangkut 60 pesawat. Ini merupakan pengerahan kapal induk terbesar di Samudera Pasifik sejak 2017.

Para pejabat Angkatan Laut AS mengatakan operasi tersebut dilakukan guna menunjukkan komitmen terhadap kawasan dan demi mengamankan kepentingannya di LCS. Amerika merasa berhak melakukan ini karena pengadilan internasional sendiri, pada 2016, telah memutuskan klaim China di LCS tidak memiliki dasar hukum --tumpang tindih dengan klaim Vietnam, Malaysia, Brunei, Taiwan, dan Filipina. Itu artinya ada dua masalah krusial di LCS. Pertama, ketegangan yang dipicu oleh masalah klasik dalam hubungan internasional, yakni klaim kedaulatan. Kedua, keadaan yang diperkeruh oleh kepentingan Amerika Serikat di LCS. Dalam konteks inilah Indonesia perlu mengambil sikap.

Penyebab Konflik

Istilah konflik di LCS sebetulnya merujuk pada gugusan kepulauan Paracels yang masih dipersengketakan oleh tiga negara (China, Vietnam, dan Taiwan) dan Kepulauan Spratly yang dipersengketakan oleh enam negara (China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei). Namun Kepulauan Spratly merupakan titik api yang paling potensial untuk berkembang menjadi wilayah konflik militer di masa depan, tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan keenam negara, tetapi juga karena adanya kepentingan negara-negara besar (Jepang, AS, Rusia) di perairan LCS (Usman & Sukma, 1997) atas jalur perdagangan, cadangan minyak, dan gas alam.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More