Suksesi Kepemimpinan dan Pelembagaan Parpol
Kamis, 15 September 2022 - 12:29 WIB
Namun demikian, suksesi akan berubah dari hal lumrah menjadi masalah besar jika justru memberi dampak buruk bagi keberlangsungan organisasi, misalnya dengan munculnya friksi dan konflik yang dapat memecah belah persatuan internal. Sebab itu, setiap parpol perlu untuk merencanakan dan mendesain suksesi kepemimpinannya secara baik agar pelaksanaannya akan selalu menciptakan stabilitas dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik, bukan sebaliknya yaitu menghadirkan perpecahan dan krisis.
Sayangnya, apa yang terjadi di hampir semua parpol di Indonesia, pelaksanaan suksesi kepemimpinan nyaris selalu berujung pada perpecahan. Sebagian parpol bahkan harus terpecah menjadi beberapa bagian karena beberapa pengurus yang terlibat konflik memutuskan keluar dan mendirikan partai baru.
Padahal menurut Monica dan Jean Charlet, pelaksanaan suksesi kepemimpin merupakan salah satu indikator penting untuk menilai pelembagaan sebuah organisasi. Suatu organisasi yang tidak mampu meletakkan dasar pengaturan suksesi yang dapat diakui dan dipercaya oleh anggotanya sehingga pelaksanaan pergantian kepemimpinan selalu menimbulkan krisis, merupakan sinyal kuat bahwa pelembagaan organisasi tersebut masih bermasalah dan belum dapat dikatakan kuat.
Dalam konteks ini, memang benar semua ahli ketatanegaraan bersepakat bahwa pembangunan demokrasi mutlak membutuhkan kehadiran partai politik. Namun yang perlu disadari adalah tidak semua parpol dapat mengemban amanah dengan baik sebagai pilar demokrasi. Hanya partai yang modern dan terinstitusionalisasi secara kuat sajalah yang kehadirannya dapat diharapkan mampu mengembangkan kehidupan demokrasi yang lebih beradab.
Partai tanpa kualifikasi sebagaimana tersebut di atas hanya akan menjadi beban dan benalu bagi demokrasi. Sebab itu, yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan demokrasi di Indonesia bukan hanya sekadar ada parpol, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah kehadiran parpol yang berkualitas, solid, modern dan dikelola secara demokratis.
Kelemahan Aturan Suksesi
Secara aturan, masing-masing parpol – termasuk PPP – telah mengatur soal suksesi kepemimpinan dalam AD/ART nya. Pada pokoknya ditentukan bahwa mekanisme suksesi dilakukan melalui Muktamar/Kongres/Munas. Dalam kondisi tertentu (darurat), dapat diselenggarakan Muktamar/Kongres/Munas Luar Biasa.
Namun demikian, pelaksanaan atas berbagai ketentuan yang ada di dalam konstitusi parpol, pada praktiknya selama ini sangat bergantung pada kesukarelaan para elite partai untuk mematuhinya. Tidak terdapat instrumen yang kuat untuk memaksa agar setiap anggota, terutama para elite parpol untuk senantiasisa taat pada aturan partai.
Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya ketentuan sanksi dan lemahnya penegakan hukum atas berbagai pelanggaran yang ada sehingga seringkali untuk memenuhi ambisi kekuasaan, sebagian elit parpol akan dengan mudah menyimpangi dan mengabaikannya begitu saja.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa pelanggaran atas norma AD/ART parpol yang paling sering terjadi selama ini adalah soal aturan suksesi kepemimpinan. Tidak bila semua parpol yang pernah terlibat konflik mengenai posisi ketua umumnya, hampir selalu dimulai dari pelanggaran atas AD/ART.
Sayangnya, apa yang terjadi di hampir semua parpol di Indonesia, pelaksanaan suksesi kepemimpinan nyaris selalu berujung pada perpecahan. Sebagian parpol bahkan harus terpecah menjadi beberapa bagian karena beberapa pengurus yang terlibat konflik memutuskan keluar dan mendirikan partai baru.
Padahal menurut Monica dan Jean Charlet, pelaksanaan suksesi kepemimpin merupakan salah satu indikator penting untuk menilai pelembagaan sebuah organisasi. Suatu organisasi yang tidak mampu meletakkan dasar pengaturan suksesi yang dapat diakui dan dipercaya oleh anggotanya sehingga pelaksanaan pergantian kepemimpinan selalu menimbulkan krisis, merupakan sinyal kuat bahwa pelembagaan organisasi tersebut masih bermasalah dan belum dapat dikatakan kuat.
Dalam konteks ini, memang benar semua ahli ketatanegaraan bersepakat bahwa pembangunan demokrasi mutlak membutuhkan kehadiran partai politik. Namun yang perlu disadari adalah tidak semua parpol dapat mengemban amanah dengan baik sebagai pilar demokrasi. Hanya partai yang modern dan terinstitusionalisasi secara kuat sajalah yang kehadirannya dapat diharapkan mampu mengembangkan kehidupan demokrasi yang lebih beradab.
Partai tanpa kualifikasi sebagaimana tersebut di atas hanya akan menjadi beban dan benalu bagi demokrasi. Sebab itu, yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan demokrasi di Indonesia bukan hanya sekadar ada parpol, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah kehadiran parpol yang berkualitas, solid, modern dan dikelola secara demokratis.
Kelemahan Aturan Suksesi
Secara aturan, masing-masing parpol – termasuk PPP – telah mengatur soal suksesi kepemimpinan dalam AD/ART nya. Pada pokoknya ditentukan bahwa mekanisme suksesi dilakukan melalui Muktamar/Kongres/Munas. Dalam kondisi tertentu (darurat), dapat diselenggarakan Muktamar/Kongres/Munas Luar Biasa.
Namun demikian, pelaksanaan atas berbagai ketentuan yang ada di dalam konstitusi parpol, pada praktiknya selama ini sangat bergantung pada kesukarelaan para elite partai untuk mematuhinya. Tidak terdapat instrumen yang kuat untuk memaksa agar setiap anggota, terutama para elite parpol untuk senantiasisa taat pada aturan partai.
Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya ketentuan sanksi dan lemahnya penegakan hukum atas berbagai pelanggaran yang ada sehingga seringkali untuk memenuhi ambisi kekuasaan, sebagian elit parpol akan dengan mudah menyimpangi dan mengabaikannya begitu saja.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa pelanggaran atas norma AD/ART parpol yang paling sering terjadi selama ini adalah soal aturan suksesi kepemimpinan. Tidak bila semua parpol yang pernah terlibat konflik mengenai posisi ketua umumnya, hampir selalu dimulai dari pelanggaran atas AD/ART.
tulis komentar anda