Prasangka Buruk
Kamis, 08 September 2022 - 14:43 WIB
Itu adalah prasangka buruk. Itu ada dalam benak dan pikiran kita. Itu mengganggu kita dan orang-orang sekitar kita. Kita bisa enyahkan semua perasaan itu.
Itu adalah buaya dalam pikiran kita. Buaya besar yang mengganggu. Buaya yang harus kita hadapi, seperti Joko Pekik mengatasi ketakutan-ketakutannya atas pengalaman pahitnya selama menghadapi kebencian dan buruk sangka atas dirinya dan kawan-kawannya.
Joko Pekik mampu melampui itu dan membuang keinginan balas dendam, kesumat, kemarahan, dan diubah semua energi itu untuk berkarya. Karya itu menggambarkan pertarungan dalam diri pelukis. Buaya itu adalah diri kita yang berburuk sangka.
Buaya dalam lukisan itu bisa diubah menjadi lembu, kerbau, singa, atau apa saja. Buaya tidak perlu dipelihara. Umat lain, agama lain, mazhab lain, kelompok lain, dan tempat ibadah agama lain tidak ada niat jahat.
Mereka sama dengan kita. Mereka juga membutuhkan ibadah seperti kita. Kemanan tempat ibadah mereka adalah kemanan tempat ibadah kita.
Hak mendirikan tempat ibadah mereka juga sama dengan hak kita. Hak beribadah mereka juga hak beribadah kita. Iman mereka sama dengan iman kita haknya dalam sanubari kita masing-masing. Mari beri mereka ruang beribadah, sebagaimana juga kita berhak beribadah.
Buang buaya-buaya itu dalam diri kita, hadapi dengan keberanian. Prasangka-prasangka buruk dalam diri sendiri adalah musuh kita. Semua perbedaan iman, cara berdoa, tempat ibadah, komunitas, Jemaah, kongregasi, denominasi, kelompok pengajian mempunyai hak yang sama dengan kita.
Kita bukan buaya dalam lukisan Joko Pekik. Kita adalah manusia beriman yang memberi tempat pada mereka yang beriman berbeda.
Itu adalah buaya dalam pikiran kita. Buaya besar yang mengganggu. Buaya yang harus kita hadapi, seperti Joko Pekik mengatasi ketakutan-ketakutannya atas pengalaman pahitnya selama menghadapi kebencian dan buruk sangka atas dirinya dan kawan-kawannya.
Joko Pekik mampu melampui itu dan membuang keinginan balas dendam, kesumat, kemarahan, dan diubah semua energi itu untuk berkarya. Karya itu menggambarkan pertarungan dalam diri pelukis. Buaya itu adalah diri kita yang berburuk sangka.
Buaya dalam lukisan itu bisa diubah menjadi lembu, kerbau, singa, atau apa saja. Buaya tidak perlu dipelihara. Umat lain, agama lain, mazhab lain, kelompok lain, dan tempat ibadah agama lain tidak ada niat jahat.
Mereka sama dengan kita. Mereka juga membutuhkan ibadah seperti kita. Kemanan tempat ibadah mereka adalah kemanan tempat ibadah kita.
Hak mendirikan tempat ibadah mereka juga sama dengan hak kita. Hak beribadah mereka juga hak beribadah kita. Iman mereka sama dengan iman kita haknya dalam sanubari kita masing-masing. Mari beri mereka ruang beribadah, sebagaimana juga kita berhak beribadah.
Buang buaya-buaya itu dalam diri kita, hadapi dengan keberanian. Prasangka-prasangka buruk dalam diri sendiri adalah musuh kita. Semua perbedaan iman, cara berdoa, tempat ibadah, komunitas, Jemaah, kongregasi, denominasi, kelompok pengajian mempunyai hak yang sama dengan kita.
Kita bukan buaya dalam lukisan Joko Pekik. Kita adalah manusia beriman yang memberi tempat pada mereka yang beriman berbeda.
(poe)
tulis komentar anda