Prasangka Buruk

Kamis, 08 September 2022 - 14:43 WIB
loading...
Prasangka Buruk
Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

UNTUK melihat keadaan saat ini, prasangka-prasangku buruk mengitari kita, sebaiknya kita berefleksi melalui karya seni. Karya seni bisa menghibur karena mewakili perasaan kita.

Karya seni menggambarkan kita semua, pikiran dan keluh kesah. Seni dibuat oleh hati dan rasa, dan itu memantulkan jiwa. Jiwa yang menderita melahirkan karya melankolis, sedangkan jiwa yang riang menuntun pada senyuman dan humor.

Saat ini sepertinya kita terlalu banyak dipenuhi oleh prasangka-prasangka buruk. Kita bisa saling curiga; kita bisa tidak saling percaya; kita merasa tidak nyaman dan saling tidak menyamankan; kita merasa takut dan terancam dengan orang lain dan kelompok lain dengan prasangka-prasangka buruk dalam diri kita sendiri.

Karena ketakutan tadi, kita beranggapan bahwa jangan-jangan kelompok itu, atau oran itu, sedang merencanakan niat jahat. Bisika prasangka buruk kita: Siapa tahu semua mereka akan menghalangi kita.

Ini adalah prasangka buruk dalam hati. Mungkin karena dipengaruhi berita media yang hingar bingar, media sosial yang biral, perbincangan yang seru, dan perkembangan yang memanas dalam politik, sosial yang sudah rentan dengan kecurigaan dan hilangnya kepercayaan pada sesama, dan mungkin pemahaman agama kita yang tidak tepat.

Ya itulah Indonesia, agama selalu dijadikan bahan, apakah untuk mengagumi dan mencintai sesama atau dengan jargon agama bisa juga untuk memojokkan atau menghakimi orang lain.

Saya menemukan satu lukisan yang menggambarkan perasaan ini. Karya Go to Hell Crocodile oleh sang maestro Joko Pekik.

Sebulan lalu kunjungan saya ke ruang penyimpanan di rumah pelukis senior, masyhur, dan maestro, Joko Pekik kebetulan melihat lukisan besar itu. Bulan Maret tahun 2022 yang lalu Joko Pekik juga pameran di Bentara Budaya Yogyakarta dalam merespons pandemi ini.

Setelah itu juga mengikuti para seniman dalam Artjog 2022. Namun, bagi saya, tetap penting silaturahim ke seniman besar ini untuk mendengar pengalaman pahit, getir, dan berbagi kebahagiaan dalam kisah lukisan dan kehidupan sang maestro itu.

Saya amati lukisan buaya melingkar itu. Dominasi warna merah dan khas warna Joko Pekik kecoklatan, burnt amber dan burnt sienna. Tentu ini mengingatkan kita pada jargon presiden Sukarno Go to Hell with your Aid, pada Amerika. Sukarno waktu itu menolak bantuan dan campur tangan asing, karena jiwa patriotisme dan nasionalismenya.

Sukarno sedang tidak mulus relasinya dengan Barat, dan matanya mengarah pada Timur, Uni Soviet dan China. Pidato-pidatonya yang berapi-api mengingatkan pada era penjajahan sebelumnya. Kemandirian bangsa selalu ditekankan untuk menolak kontrol Barat atas Timur. Enyahlan buaya.

Tetapi bagi saya, lukisan Joko Pekik tentang buaya yang melingkar lebih dimaknai saat ini sebagai prasangka buruk. Buaya itu adalah prasangka kita sendiri, bukan unsur asing atau Barat.

Buaya itu adalah prasangka dalam diri kita pada kelompok lain. Terus terang, akhir-akhir ini kita menikmati berita buruk terlalu berlebihan, sehingga kita terbawa arus pikiran sendir bahwa komunitas lain, kelompok lain, grup lain, atau kongregasi lain akan berbuat jahat pada kelompok kita.

Buaya dalam lukisan Joko Pekik menjulurkan lidah merah, sedangkan orang-orang di hadapanya termasuk Joko Pekik sendiri dalam self-portrait siap menghadapinya. Lukisan ini menunjukkan keberanian juga. Ada banyak prasangka buruk dalam masyarakat dan diri kita.

Keberanian adalah kuncinya, untuk menghadapinya. Enyahkan, atau lupakan prasangka buruk. Belum tentu dan seringkali tidak benar, kelompok lain akan berbuat jahat. Kejahatan itu ada dalam pikiran kita. Joko Pekik dan kumpulan orang-orang dalam lukisan itu menunjukkkan keberanian menghadapi buaya itu.

Apa saja bisa kita jadikan untuk berburuk sangka. Iman kita yang tidak sempurna juga bisa. Keyakinan kita, tafsir kita atas agama juga bisa. Atas nama agama kita bisa saja memendam curiga pada kelompok keagamaan lain bahwa mereka mempunyai misi untuk mengubah iman anak-anak kita.

Mereka itu yang beribadah dengan cara lain itu akan mengubah iman tetangga-tetangga kita. Mereka itu yang percaya pada Kitab lain dan memahami Tuhan dengan cara lain mempunyai tujuan untuk menghalangi agama dan iman kita.

Itu adalah prasangka buruk. Itu ada dalam benak dan pikiran kita. Itu mengganggu kita dan orang-orang sekitar kita. Kita bisa enyahkan semua perasaan itu.

Itu adalah buaya dalam pikiran kita. Buaya besar yang mengganggu. Buaya yang harus kita hadapi, seperti Joko Pekik mengatasi ketakutan-ketakutannya atas pengalaman pahitnya selama menghadapi kebencian dan buruk sangka atas dirinya dan kawan-kawannya.

Joko Pekik mampu melampui itu dan membuang keinginan balas dendam, kesumat, kemarahan, dan diubah semua energi itu untuk berkarya. Karya itu menggambarkan pertarungan dalam diri pelukis. Buaya itu adalah diri kita yang berburuk sangka.

Buaya dalam lukisan itu bisa diubah menjadi lembu, kerbau, singa, atau apa saja. Buaya tidak perlu dipelihara. Umat lain, agama lain, mazhab lain, kelompok lain, dan tempat ibadah agama lain tidak ada niat jahat.

Mereka sama dengan kita. Mereka juga membutuhkan ibadah seperti kita. Kemanan tempat ibadah mereka adalah kemanan tempat ibadah kita.

Hak mendirikan tempat ibadah mereka juga sama dengan hak kita. Hak beribadah mereka juga hak beribadah kita. Iman mereka sama dengan iman kita haknya dalam sanubari kita masing-masing. Mari beri mereka ruang beribadah, sebagaimana juga kita berhak beribadah.

Buang buaya-buaya itu dalam diri kita, hadapi dengan keberanian. Prasangka-prasangka buruk dalam diri sendiri adalah musuh kita. Semua perbedaan iman, cara berdoa, tempat ibadah, komunitas, Jemaah, kongregasi, denominasi, kelompok pengajian mempunyai hak yang sama dengan kita.

Kita bukan buaya dalam lukisan Joko Pekik. Kita adalah manusia beriman yang memberi tempat pada mereka yang beriman berbeda.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1673 seconds (0.1#10.140)