Prasangka Buruk
Kamis, 08 September 2022 - 14:43 WIB
Sebulan lalu kunjungan saya ke ruang penyimpanan di rumah pelukis senior, masyhur, dan maestro, Joko Pekik kebetulan melihat lukisan besar itu. Bulan Maret tahun 2022 yang lalu Joko Pekik juga pameran di Bentara Budaya Yogyakarta dalam merespons pandemi ini.
Setelah itu juga mengikuti para seniman dalam Artjog 2022. Namun, bagi saya, tetap penting silaturahim ke seniman besar ini untuk mendengar pengalaman pahit, getir, dan berbagi kebahagiaan dalam kisah lukisan dan kehidupan sang maestro itu.
Saya amati lukisan buaya melingkar itu. Dominasi warna merah dan khas warna Joko Pekik kecoklatan, burnt amber dan burnt sienna. Tentu ini mengingatkan kita pada jargon presiden Sukarno Go to Hell with your Aid, pada Amerika. Sukarno waktu itu menolak bantuan dan campur tangan asing, karena jiwa patriotisme dan nasionalismenya.
Sukarno sedang tidak mulus relasinya dengan Barat, dan matanya mengarah pada Timur, Uni Soviet dan China. Pidato-pidatonya yang berapi-api mengingatkan pada era penjajahan sebelumnya. Kemandirian bangsa selalu ditekankan untuk menolak kontrol Barat atas Timur. Enyahlan buaya.
Tetapi bagi saya, lukisan Joko Pekik tentang buaya yang melingkar lebih dimaknai saat ini sebagai prasangka buruk. Buaya itu adalah prasangka kita sendiri, bukan unsur asing atau Barat.
Buaya itu adalah prasangka dalam diri kita pada kelompok lain. Terus terang, akhir-akhir ini kita menikmati berita buruk terlalu berlebihan, sehingga kita terbawa arus pikiran sendir bahwa komunitas lain, kelompok lain, grup lain, atau kongregasi lain akan berbuat jahat pada kelompok kita.
Buaya dalam lukisan Joko Pekik menjulurkan lidah merah, sedangkan orang-orang di hadapanya termasuk Joko Pekik sendiri dalam self-portrait siap menghadapinya. Lukisan ini menunjukkan keberanian juga. Ada banyak prasangka buruk dalam masyarakat dan diri kita.
Keberanian adalah kuncinya, untuk menghadapinya. Enyahkan, atau lupakan prasangka buruk. Belum tentu dan seringkali tidak benar, kelompok lain akan berbuat jahat. Kejahatan itu ada dalam pikiran kita. Joko Pekik dan kumpulan orang-orang dalam lukisan itu menunjukkkan keberanian menghadapi buaya itu.
Apa saja bisa kita jadikan untuk berburuk sangka. Iman kita yang tidak sempurna juga bisa. Keyakinan kita, tafsir kita atas agama juga bisa. Atas nama agama kita bisa saja memendam curiga pada kelompok keagamaan lain bahwa mereka mempunyai misi untuk mengubah iman anak-anak kita.
Mereka itu yang beribadah dengan cara lain itu akan mengubah iman tetangga-tetangga kita. Mereka itu yang percaya pada Kitab lain dan memahami Tuhan dengan cara lain mempunyai tujuan untuk menghalangi agama dan iman kita.
Setelah itu juga mengikuti para seniman dalam Artjog 2022. Namun, bagi saya, tetap penting silaturahim ke seniman besar ini untuk mendengar pengalaman pahit, getir, dan berbagi kebahagiaan dalam kisah lukisan dan kehidupan sang maestro itu.
Saya amati lukisan buaya melingkar itu. Dominasi warna merah dan khas warna Joko Pekik kecoklatan, burnt amber dan burnt sienna. Tentu ini mengingatkan kita pada jargon presiden Sukarno Go to Hell with your Aid, pada Amerika. Sukarno waktu itu menolak bantuan dan campur tangan asing, karena jiwa patriotisme dan nasionalismenya.
Sukarno sedang tidak mulus relasinya dengan Barat, dan matanya mengarah pada Timur, Uni Soviet dan China. Pidato-pidatonya yang berapi-api mengingatkan pada era penjajahan sebelumnya. Kemandirian bangsa selalu ditekankan untuk menolak kontrol Barat atas Timur. Enyahlan buaya.
Tetapi bagi saya, lukisan Joko Pekik tentang buaya yang melingkar lebih dimaknai saat ini sebagai prasangka buruk. Buaya itu adalah prasangka kita sendiri, bukan unsur asing atau Barat.
Buaya itu adalah prasangka dalam diri kita pada kelompok lain. Terus terang, akhir-akhir ini kita menikmati berita buruk terlalu berlebihan, sehingga kita terbawa arus pikiran sendir bahwa komunitas lain, kelompok lain, grup lain, atau kongregasi lain akan berbuat jahat pada kelompok kita.
Buaya dalam lukisan Joko Pekik menjulurkan lidah merah, sedangkan orang-orang di hadapanya termasuk Joko Pekik sendiri dalam self-portrait siap menghadapinya. Lukisan ini menunjukkan keberanian juga. Ada banyak prasangka buruk dalam masyarakat dan diri kita.
Keberanian adalah kuncinya, untuk menghadapinya. Enyahkan, atau lupakan prasangka buruk. Belum tentu dan seringkali tidak benar, kelompok lain akan berbuat jahat. Kejahatan itu ada dalam pikiran kita. Joko Pekik dan kumpulan orang-orang dalam lukisan itu menunjukkkan keberanian menghadapi buaya itu.
Apa saja bisa kita jadikan untuk berburuk sangka. Iman kita yang tidak sempurna juga bisa. Keyakinan kita, tafsir kita atas agama juga bisa. Atas nama agama kita bisa saja memendam curiga pada kelompok keagamaan lain bahwa mereka mempunyai misi untuk mengubah iman anak-anak kita.
Mereka itu yang beribadah dengan cara lain itu akan mengubah iman tetangga-tetangga kita. Mereka itu yang percaya pada Kitab lain dan memahami Tuhan dengan cara lain mempunyai tujuan untuk menghalangi agama dan iman kita.
tulis komentar anda