Reshuffle Kabinet, Wacana Lumrah yang Tak Pernah Mudah
Kamis, 02 Juli 2020 - 06:00 WIB
Jokowi sendiri pernah merasakan alotnya mengganti menteri di periode pertamanya. Sebut saja saat pemerintahan Jokowi-JK berjalan 10 bulan, empat posisi menteri dan jabatan setingkat di kabinet diganti. Salah satunya adalah Sofyan Djalil yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dicopot digantikan Darmin Nasution.
Tapi Sofyan Djalil yang merupakan dianggap sebagai orang Jusuf Kalla itu tidak hilang, hanya digeser sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas menggantikan Andrinof Chaniago. Begitu juga Luhut Binsar Panjaitan digeser dari Kepala Staf Kepresidenan menjadi Menko Polhukam, sedangkan posisinya diisi Teten Masduki.
Syamsuddin Haris, peneliti LIPI yang kini menjabat Dewan Pengawas KPK dalam sebuah artikel pernah menuliskan bahwa masalah tarik ulur reshuffle kabinet SBY bukan semata-mata terletak pada fakta bahwa memang ada sejumlah menteri yang berkinerja buruk.
”Problem reshuffle kabinet juga tidak sekadar mengganti menteri yang diduga tersangkut kasus hukum.Problematik tuntutan perombakan kabinet yang dihadapi Presiden SBY justru terletak pada format KIB II itu sendiri serta tarik-ulur keberanian SBY dalam mengambil keputusan untuk memberhentikan menteri kabinetnya,” tulis Syamsuddin Haris (Seputar Indonesia, 20 September 2011).
(Baca: Semprot Menteri Soal Kinerja, Jokowi Ancam Bubarkan Lembaga Sampai Reshuffle)
Bagaimana dengan Jokowi? Semestinya di periode kedua ini Jokowi lebih mudah mengganti menteri karena konstitusi tidak membiarkan dia berkuasa untuk ketiga kalinya. Akan tetapi, bagaimana pun Jokowi tetap harus bertahan hingga akhir periode kekuasaannya.
Karena itulah, Anang Sujoko berpendapat bahwa Jokowi pun tidak akan mudah dalam melakukan pergantian menteri. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu harus berkompromi dengan partai politik pendukungnya.
“Kalau harus kompromi, benar-benar bicara kualitas SDM. Kredibilitas dan kualitas itu harus menjadi poin kesatu. Partai politik di pemerintahan sudah waktunya berpikiran tentang kepentingan masyarakat bukankeberlangsungan kadernya yang masuk di situ (kabinet),” pungkasnya.
Tapi Sofyan Djalil yang merupakan dianggap sebagai orang Jusuf Kalla itu tidak hilang, hanya digeser sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas menggantikan Andrinof Chaniago. Begitu juga Luhut Binsar Panjaitan digeser dari Kepala Staf Kepresidenan menjadi Menko Polhukam, sedangkan posisinya diisi Teten Masduki.
Syamsuddin Haris, peneliti LIPI yang kini menjabat Dewan Pengawas KPK dalam sebuah artikel pernah menuliskan bahwa masalah tarik ulur reshuffle kabinet SBY bukan semata-mata terletak pada fakta bahwa memang ada sejumlah menteri yang berkinerja buruk.
”Problem reshuffle kabinet juga tidak sekadar mengganti menteri yang diduga tersangkut kasus hukum.Problematik tuntutan perombakan kabinet yang dihadapi Presiden SBY justru terletak pada format KIB II itu sendiri serta tarik-ulur keberanian SBY dalam mengambil keputusan untuk memberhentikan menteri kabinetnya,” tulis Syamsuddin Haris (Seputar Indonesia, 20 September 2011).
(Baca: Semprot Menteri Soal Kinerja, Jokowi Ancam Bubarkan Lembaga Sampai Reshuffle)
Bagaimana dengan Jokowi? Semestinya di periode kedua ini Jokowi lebih mudah mengganti menteri karena konstitusi tidak membiarkan dia berkuasa untuk ketiga kalinya. Akan tetapi, bagaimana pun Jokowi tetap harus bertahan hingga akhir periode kekuasaannya.
Karena itulah, Anang Sujoko berpendapat bahwa Jokowi pun tidak akan mudah dalam melakukan pergantian menteri. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu harus berkompromi dengan partai politik pendukungnya.
“Kalau harus kompromi, benar-benar bicara kualitas SDM. Kredibilitas dan kualitas itu harus menjadi poin kesatu. Partai politik di pemerintahan sudah waktunya berpikiran tentang kepentingan masyarakat bukankeberlangsungan kadernya yang masuk di situ (kabinet),” pungkasnya.
(muh)
tulis komentar anda